ASTAGANAGA! Pengungsi Ilegal Ukraina di Inggris Dideportasi ke Rwanda: Negeri Berdarah yang Banyak Gorila!

25 Juni 2022, 07:26 WIB
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson /Youtube/Reuters

KALBAR TERKINI - Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dianggap kejam lewat ancamannya bahwa pengungsi Ukraina ilegal di negaranya akan dideportasi ke Rwanda.

Pernyataan ini mendulang kemarahan dari Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (ECHR) dan kalangan oposisi di Inggris menilai pernyataan itu memalukan dna juga kejam karena terlontar dari seorang perdana menteri..

Ancaman ini dinyatakan oleh Johnson selama kunjungannya ke Kigali, Ibukota Rwanda, Kamis, 23 Juni 2022.

Baca Juga: China Pastikan Caplok Taiwan jika Perang Ukraina Meletus, Boris Johnson: Kejutan Terdengar di Seluruh Dunia

Menurut laporan Russia Today, Jumat, 24 Juni 2022, tokoh Partai Buruh ini menyatakan bahwa ancamannya itu penting.

“Datang se Inggris secara ilegal, berarti mereka merusak rute aman dan legal yang kami miliki,” tegas Johnson.

Inggris telah mengeluarkan sekitar 130.000 visa untuk warga negara Ukraina di tengah konflik dengan Rusia.

"Dan, mereka memiliki setidaknya dua rute yang sangat baik untuk datang ke Inggris," kata perdana menteri.

Media mengungkapkan kelemahan utama dalam rencana perumahan Inggris untuk pengungsi Ukraina

“Tetapi jika Anda datang ke sini secara ilegal, Anda merusak semua orang yang datang ke sini secara legal. Dan, itu gila. Jadi, saya khawatir jawabannya adalah, saya kira, ya, secara teori itu bisa terjadi," lanjutnya.

Namun, Johnson menambahkan bahwa 'sangat tidak mungkin' bahwa ada orang Ukraina yang benar-benar mau dipaksa untuk melakukan perjalanan sejauh 4.000 mil dari Inggris ke Afrika Tengah.

Pernyataan itu mewakili penyimpangan dari klaim Jonhson sebelumnya pada Mei 2022 di mana dia menyatakandeportasi para migran yang datang dari Ukraina 'tidak akan terjadi'.

Adapun skema kontroversial untuk mendeportasi migran ilegal ke Rwanda telah diproses dan diumumkan oleh Pemerintah Inggris pada April 2022, dan akan menelan biaya total 147,2 juta dolar AS.

Johnson bersikeras bahwa strategi itu ampuh karena akan merusak model bisnis pedagang manusia, yang mengangkut orang ke Inggris secara ilegal.

Namun, proyek tersebut telah mendapat banyak kritik dari kalangan oposisi dan kelompok hak asasi manusia.

Bahkan, penerbangan perdana ke Rwanda dibatalkan sebagai akibat dari keputusan menit terakhir oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (ECHR).

Menteri Dalam Negeri Bayangan Inggris, Yvette Cooper mengecam Johnson atas komentar terbarunya.

Copper menyatakan, memalukan bahwa perdana menteri berpikir bahwa tidak apa-apa mengirim orang Ukraina yang melarikan diri dari perang ke Inggris tanpa surat-surat, harus dikirim ribuan mil ke Rwanda.

“Kami telah berulang kali memperingatkan bahwa kebijakan ini tidak dapat dijalankan, tidak etis, sangat mahal," tegas Cooper.

"Ini juga berisiko memperburuk perdagangan orang. Perdana menteri harus meninggalkan ini sekarang,” kecam politikus Partai Buruh itu.

Rwanda, dahulu disebut Ruanda, adalah sebuah negara di Afrika Tengah, yang terletak beberapa derajat di bawah garis khatulistiwa, dan berbatasan dengan Uganda, Tanzania, Burundi, serta Republik Demokratik Kongo.

Semua wilayah Rwanda berada pada elevasi tinggi, dengan didominasi oleh pegunungan di bagian barat, sabana di bagian timur, dan berbagai danau tersebar di seluruh negeri.

Iklimnya hangat hingga subtropis, dengan dua musim hujan dan musim kemarau per tahun.

Penduduk Rwanda relatif muda, dan masih didominasi pedesaan, sementara kepadatan penduduknya merupakan salah satu yang tertinggi di Afrika.

Di Rwanda, terdapat tiga kelompok: Hutu, Tutsi, dan Twa. Twa adalah pigmi, yang tinggal di hutan, dan merupakan keturunan dari penduduk paling pertama Rwanda.

Tetapi, para ahli masih belum sepakat mengenai asal usul dan perbedaan antara Hutu dan Tutsi.

Beberapa meyakini bahwa keduanya merupakan kasta sosial, sementara yang lain memandangnya sebagai ras atau suku.

Kekristenan adalah agama mayoritas di Rwanda, dan bahasa utamanya adalah Bahasa Kinyarwanda, yang dituturkan oleh sebagian besar penduduk Rwanda.

Sistem pemerintahan di Rwanda adalah sistem presidensial, dan Presiden Rwanda adalah Paul Kagame dari Partai Front Patriotik Rwanda (FPR), yang mulai berkuasa pada 2000.

Rwanda memiliki tingkat korupsi yang rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangganya.

Tetapi, organisasi-organisasi kemanusiaan menyatakan adanya penindasan terhadap golongan oposisi, intimidasi, dan pelarangan dalam kebabasan berpendapat.

Negara ini telah diperintah oleh pemerintah administrasi hierarki yang ketat sejak masa pra-kolonial.

Kerajaan Rwanda mendominasi dari masa pertengahan abad ke-18, dengan raja-raja Tutsi yang menguasai yang lain secara militer, memusatkan kekuasaan, kemudian mengesahkan kebijakan anti-Hutu.

Jerman menjajah Rwanda pada 1884, diikuti Belgia, yang menginvasi pada 1916 saat Perang Dunia I. Kedua negara Eropa tersebut memerintah melalui raja-raja dan menetapkan kebijakan pro-Tutsi.

Penduduk Hutu memberontak pada 1959, membantai Suku Tutsi dalam jumlah besar, dan akhirnya mendirikan negara bebas yang didominasi oleh Hutu pada 1962.

Front Patriotik Rwanda yang dipimpin oleh Tutsi melancarkan Perang Saudara Rwanda pada 1990, diikuti oleh Genosida Rwanda 1994.

Dalam peristiwa tersebut, ekstremis Hutu diperkirakan membunuh sekitar 500.000 sampai satu juta Tutsi dan kaum Hutu moderat.

Ekonomi Rwanda mengalami kekacauan selama Genosida Rwanda 1994, tetapi setelah itu menguat. Ekonominya didasarkan terutama pada sektor agrikultur.

Kopi dan teh merupakan komoditas ekspor yang menjadi sumber devisa utama.

Pariwisata merupakan sektor yang berkembang pesat dan kini merupakan sumber devisa utama; di negara ini gorila pegunungan dapat dikunjungi dengan aman, dan wisatawan siap membayar mahal untuk memperoleh izin melacak gorila.

Musik dan tari merupakan bagian penting dalam budaya Rwanda, terutama drum dan tari intore. Seni dan kerajinan tradisional juga dibuat di seluruh negeri, seperti imigongo, seni kotoran sapi yang unik.***

Sumber: Russia Today, Wikipedia

 

Editor: Arthurio Oktavianus Arthadiputra

Sumber: Russia Today

Tags

Terkini

Terpopuler