Pasukan Junta Kaget! Warga Pedalaman Melawan dengan Senapan Tradisional

6 April 2021, 20:13 WIB
WARGA PEDALAMAN - Warga pedalaman di Kalay, kota terpencil di Myanmar angkat senjata melawan pasukan junta. Mereka menggunakan senapan berburu tradisonal melawan persenjataan lengkap pasukan rezim./MYANMAR NOW/ /KALBAR TERKINI/OKTAVIANUS CORNELIS

KALBAR TERKINI -  Gunakan senapan  berburu tradisional, warga pedalaman Myanmar  terlibat kontak senjata dengan pasukan junta. Hingga  Selasa, 6 April 2021, pertempuran terus berlangsung di sepanjang desa-desa dari ibu kota hingga Kota Kalay.

Mengangkat senjata sejak Minggu, 28 Maret 2021, warga Kalay menggunakan Tumi, sejenis senapan rakitan tradisional, yang berhasil menewaskan  dua perwira  Junta Myanmar.

Senjata berburu ini  dikeluarkan dari rumah-rumah karena warga tak mau menambah daftar panjang 550 warga Myanmar yang sudah dibunuh oleh pihak junta sejak terjadinya kudeta terhadap kepemimpinan Aung San Suu Kyii, 1 Februari 2021.

Baca Juga: Seorang Kakek Tega Tikam Mati Istrinya

Baca Juga: Cari Korban Hilang di Balik Bebatuan, 128 Orang Dilaporkan Hilang di NTT dan NTB

Baca Juga: Jenazah ABK Tersangkut Jaring: Laka Laut Terjadi di Sejumlah Perairan Indonesia

Kotapraja Kalay sendiri  membentang dari utara-selatan di sepanjang Lembah Kale yang dibelah oleh Sungai Neyinzaya dan Sungai Myittha yang mengalir ke utaraa. Wilayah baratnya dibatasi oleh kaki Perbukitan Chin, dan di timur oleh Pegunungan Mwegyi. Luas kotapraja ini adalah 2.337.74 kilometer persegi.

David dan Goliath

Dikutip Kalbar-Terkini.com dari Myanmar Now, Selasa, 6 April 2021, pertempuran pertama terjadi pada 28 Maret 2021 malam. Kota terpencil Kalay di wilayah Sagaing ini berubah menjadi pertempuran sengit. Ibarat perjuangan David melawan Goliath, warga bertempur melawan tentara dan polisi yang menggunakan senapan sniper, senapan mesin, dan granat tangan.

Warga terus bertarung,  walaupun harus menghadapi rentetan tembakan mematikan dalam hidup mereka. Empat dari mereka tewas malam itu, begitu pula dengan jumlah yang sama dari pihak junta, termasuk dua perwira.

Para pengunjuk rasa berhasil melukai 17 aparat bersenjata berat, suatu peristiwa yang benar-benar mengejutkan banyak orang. Setelah dua bulan perang melawan rakyat sendiri, baru kali pertama inilah pasukan pihak rezim menderita kerugian yang signifikan.  

Jika di hampir seluruh wilayah Myanmar, pihak rezim leluasa membunuh pengunjuk rasa, maka lain halnya dengan di Kalay.

“Memang benar senjata kami ini  tidak bisa dibandingkan dengan senjata mereka. Kami hanya pengunjuk rasa damai, yang membela apa yang kami yakini. Tetapi jika mereka datang dan menyerang kami, kami akan melawan dengan apa yang kami miliki, " tegas seorang warga.

Garis Pertahanan Terakhir

Medan pertempuran utama di Kalay pada 28 Maret 2021 adalah kamp di Jalan Bogyoke. Meskipun kamp itu dihancurkan malam itu, kamp tersbeut berhasil dibangun kembali esok harinya.

Lebih sepekan kemudian, kamp ini berdiri sebagai kubu gerakan protes lokal.

Namun,  pertahanan warga Kalay tidak terbatas pada kubu tersebut. Penduduk di desa-desa sepanjang perjalanan dari kota ke Kalay, juga memainkan peran kunci dalam melindungi mereka dari serangan junta yang bertekad untuk menghancurkan semua yang menentang.

Sebelum mencapai Kalay, pasukan rezim harus melewati desa-desa di sepanjang jalan raya utama dari Myanmar tengah. Di antaranya, Hnan Khar, Hantharwady, Taung Khin Yan, dan Myaunt Khin di wilayah Magway, dan Nat Chaung dan Nat Myaung, dekat Kalay di wilayah Sagaing.

Di masing-masing desa, warga yang hanya bersenjatakan senjata api tradisional yang sama dengan pengunjuk rasa di Kalay, bertempur melawan pasukan militer yang bersenjata lengkap. 

“Desa-desa ini melakukan apa yang mereka bisa untuk mencegah militer menyerang Kalay. Tanpa mereka, seluruh kota akan mati sekarang, ”kata seorang warga Kalay. 

Pada Selasa, 30 Maret 20201, dua personel dari pasukan rezim tewas di dekat sebuah jembatan di Taung Khin Yan, sebuah desa sekitar dua jam perjalanan ke selatan Kalay.

Keesokan harinya, militer melaporkan bahwa penduduk setempat dengan senjata Tumi telah melukai lima lagi anggota pasukannya. 

Militer juga mengklaim bahwa mereka telah diserang oleh ranjau rakitan bahkan petasan yang dibantah oleh penduduk desa. 

“Mereka mungkin membuat ranjau itu sendiri supaya mereka bisa menuduh kita. Kami bahkan tidak memiliki cukup bubuk mesiu untuk senjata kami sekarang, apalagi tambahan untuk membuat ranjau, ”kata seorang penduduk desa.

Sejak awal April 2021, korban jatuh dari pihak pengunjuk rasa. Menurut laporan media lokal yang berbasis di negara bagian Chin, lima warga sipil tewas pada Kamis, 1 April 2021 di Desa Nat Myaung, Nat Chaung, dan Chaung Gwa setelah penduduk setempat baku tembak dengan angkatan bersenjata junta. 

Tak heran, situasi di kawasan itu menjadi sangat mencekam. Militer mengancam akan menyerang rumah-rumah di semua desa yang telah menolak kendali mereka untuk mencari dan menyita senjata. 

Namun, dalam kebanyakan kasus, militer  mungkin akan menemukan rumah-rumah yang kosong. Ribuan penduduk setempat, termasuk anak-anak kecil dan orang tua, telah melarikan diri untuk mengantisipasi pembalasan tentara.

“Tidak ada yang tersisa di desa sekarang, hanya anjing dan ayam,” kata seorang penduduk dari salah satu desa yang terkena dampak. "Semua orang bersembunyi di hutan." 

Bagi warga yang ingin melanjutkan perlawanan bersenjata, harapan terbaik saat ini adalah membawa kelompok bersenjata yang sudah mapan ke dalam konflik.

Namun, Front Nasional Chin, tentara etnis yang beroperasi paling dekat dengan Kalay, tidak dimiliterisasi secara ketat, dan lamban berbicara menentang kudeta.

Untuk saat ini, yang tersisa hanya pengunjuk rasa lokal dengan senjata Tumi, yang jauh dari ideal sebagai senjata perang.

Itu hanya senjata rakitan. "Setiap kali menembak satu, harus memuatnya kembali, ”seorang pengunjuk rasa muda. "Seluruh proses yang melibatkan pengisian laras dengan bubuk mesiu, membutuhkan waktu sekitar tiga menit. Jangkauan senjata itu sekitar 50 sampai  100 kaki," tambahnya. 

“Senjata-senjata ini milik museum, seperti mainan bagi militer, yang akan menekan kita dengan satu atau lain cara, "katanya, bersumpah untuk terus bertempur bahkan jika tentara bergerak untuk menghentikan protes dengan unjuk kekuatan besar-besaran. 

“Jika ada kelompok yang bisa memberi kami pelatihan militer serta senjata, kami akan terus berjuang. Kami tidak dapat mentolerir situasi ini lagi. Kita harus mengikuti jalan kita sendiri, ”katanya.***

 

Sumber: Myanmar Now

 Mari bedonasi bagi jurnalis-jurnalis independen Myanmar Now:

Editor: Oktavianus Cornelis

Tags

Terkini

Terpopuler