CERITA UTUH KKN di Desa Penari Bagian 8, Bungkusan Isi Kepala Monyet dan Nur yang Tiba-tiba Bertingkah Aneh

10 Mei 2022, 12:27 WIB
Mana yang Lebih Seram, Cerita KKN di Desa Penari Versi Nur atau Versi Widya? Simak Ceritanya Disini / Instagram / @kknmovie /


KALBAR TERKINI - Sesampainya di kampung, Wahyu pergi mengembalikan motor.

Sedangkan Widya sudah ditunggu oleh semua anak, mereka khawatir, berdiri menunggu di teras rumah.

"Tekan ndi seh? Kok suwe'ne (dari mana sih? kok lama sekali)," kata Ayu.

Baca Juga: CERITA UTUH KKN di Desa Mandiri Bagian 7, Motor Wahyu Mogok di Tengah Hutan dan Kampung Misterius dengan Pesta

"Tekan Kota, belonjo keperluan kene (dari kota belanja keperluan kita)."

Nur membuang muka melihat Widya. Sudah biasa, kadang Nur memang seperti itu, setelah dia menceritakan kejadian kemarin, ia tidak lagi mau membicarakan itu.

Sekarang, dia sedikit menjauhi Widya, dan ia merasakan itu, sangat terasa.

Baca Juga: CERITA UTUH KKN di Desa Penari Bagian 6, Bapak Misterius Masuk Rumah dan Sosok Penunggu Watu Item Kali

Di suasana tegang itu, hanya Bima yang mencoba mencairkan suasana.

"Wes ta lah, kok kaku ngene seh (sudahlah, kok canggung gini)."

Bima menggandeng Widya, menyuruhnya masuk rumah.

"Awakmu pegel, kan (kamu pasti capek kan)."

Baca Juga: CERITA UTUH KKN di Desa Mandiri Bagian 5, Cerita Mistis Mbah Buyut dan Widya yang Muntah Gumpalan Rambut

Tidak beberapa lama, Wahyu sudah datang, ia masuk ke rumah tanpa membuang-buang waktu, alih-alih ia istirahat.

Wahyu dengan suara menggebu-gebu bercerita kalau baru saja mengalami kejadian tidak mengenakan atas insiden motor, sampai dibantu, orang kampung.

Tidak lupa, ia bercerita tentang penari yang ia temui, kecantikannya, ia ceritakan semua.

Bukan sambutan yang Wahyu dapat, tapi tatapan kebingunganlah yang pertama Wahyu lihat.

Baca Juga: CERITA UTUH KKN di Desa Penari Bagian 4, Siapa Pemilik Suara Lembut Pelantun Kidung Jawa dan Tingkah Aneh Nur

"Ra onok deso maneh nang kene (tidak ada desa lagi di sini)," kata Bima. Wahyu yang mendengar itu tidak terima.

"Eroh tekan ndi awakmu (tahu darimana kamu)?"

"Aku wes sering nang kota (aku sudah sering ke kota)."

"Prokerku onok hubungane ambek program hasil alam, dadi sering melu nang kota mabek wong kene (Prokerku berhubungan sama program hasil alam, jadi sering ikut ke kota sama orang sini).

Baca Juga: CERITA UTUH KKN di Desa Penari Bagian 3, Sosok Pak Prabu yang Misterius dan Nisan Makam Ditutup Kain Hitam

"Sampe sak iki, aku rong eroh onok deso maneh nang kene (sampai sekarang, aku belum nemuin satu lagi kampung di dekat sini)."

"Ngomong opo, mbujuk (bicara apa, nipu)," kata Wahyu geram.

"Mas," kata Nur, "pancen ra onok deso maneh nang kene, kan wes tau dibahas (Mas, memang gak ada lagi desa di sini, kan sudah pernah dibahas dulu)."

"Koen kabeh nek ra percoyo, tak dudui bukti, nek aku ketemu wong deso liane (kalian kalau gak percaya tak kasih bukti kalau ada desa lain di sekitar sini)."

Widya yang sedari tadi diam, tiba-tiba ditarik oleh Wahyu.

"Takono ambek Widya nek ra percoyo (tanya sama Widya kalau tidak percaya)."

Widya masih diam lama. Sementara yang lain menunggu Widya berbicara, hal yang membuat Widya bingung adalah, kopi.

Sadar atau tidak, Widya sempat merasakan aroma kopi yang manis itu di jajanan yang ia cicipi, rasanya sama persis.

Karena tidak sabar, Wahyu membuka paksa tas Widya dan mengambil bingkisan itu, bukan koran lagi yang Wahyu temuin, namun, daun pisang yang terbungkus di jajanan pemberian bapak tua itu. Tepat ketika Wahyu membuka bingkisan itu.

Semua orang melihat isi di dalam bingkisan itu, berlendir, dan aromanya sangat amis, tidak salah lagi.

Di dalam bingkisan itu adalah kepala monyet yang masih segar dengan darah di daun pisangnya.

Setelah kejadian malam itu, Wahyu mengurung diri dalam kamar 3 hari lamanya.

Kadang, ia masih tidak percaya dengan hal itu.

Namun, bila mengingat bagaimana kepala-kepala monyet itu jatuh dari tangannya, rasa mualnya akan kembali membuat Wahyu harus memuntahkan isi perutnya.

Widya hanya mengulang kalimat mbah Buyut, jangan menolak pemberian tuan rumah.

Sejatinya, Wahyu dan Widya sudah benar, meski ia tahu semua itu ganjil, namun mereka harus tetap mencicipinya, yang jadi masalahnya, hanya Widya yang sadar, bahwa yang menemani mereka bukanlah manusia.

Seandainya saja, Widya mengatakan keganjilan itu kepada Wahyu, menolak pertolongan mereka, menolak pemberian mereka.

Mungkin jalan cerita semua ini akan benar-benar berbeda, bisa saja. Justru, penolakan seperti itu akan mendatangkan bala (bencana) bagi mereka.

Apapun itu, Widya sudah mengerti satu hal, ada hubungan yang secara tidak langsung tentang dirinya dan sang penari.

Malam itu, Widya baru selesai melihat prokernya yang dibantu beberapa warga desa.

Ketika langit sudah gelap gulita, Widya menyusuri jalan setapak desa.

Seperti biasa, suara binatang malam mulai terdengar, ia terus berjalan sampai melihat rumah tempat mereka menginap.

Seharusnya yang lain sudah ada di rumah, entah mencicil laporan proker atau mungkin sejenak beristirahat.

Namun anehnya, lampu petromax yang seharusnya menyala di depan rumah, mati, membuat rumah itu terlihat lebih sunyi, kelam, dan mengerikan. Seolah rumah itu memanggil namanya.

Wes biasa, batin Widya, memantapkan hatinya. Rumah ini memang masih terbilang baru bagi Widya dan yang lainnya.

Namun, tempo hari, mendengar bahwa ada penunggu di belakang rumah, membuat Widya kadang tidak tenang, dan beberapa kejadian ganjil hampir pernah Widya alami.

Hanya saja apa yang Widya alami, apakah juga mereka alami, hanya saja mereka menutupi dan lebih memilih diam.

Kini, Widya sudah ada di depan pintu, mengetuknya, mengucap salam, dan kemudian melangkah masuk.

Dilihatnya ruang tengah, tempat biasa Ayu ada di sana, menulis laporan.

Sayangnya tidak ada Ayu di sana. hanya ruangan kosong.

Di teras rumah pun sama, seharusnya Wahyu dan Anto ada di sana, sedang bercanda seputar apa yang mereka lakukan hari ini di temani asap rokok dari mulut mereka, atau suara Nur yang sedang mengaji dan Bima yang entah apa yang ia lakukan.

Selama tinggal di rumah ini, hanya Bima, yang masih terasa asing bagi Widya.

Sayangnya, malam itu, tak ditemui satupun penghuni rumah ini.

Apakah Widya terlalu sore untuk pulang, sedangkan yang lain masih sibuk mengurus proker mereka masing-masing bersama warga.

Entahlah. Widya bersiap masuk ke kamar. Saat, sekelebat perasaan tak nyaman itu muncul.

Perasaan seolah ada yang mengawasi entah darimana, dan menimbulkan rasa berdebar di dada.

Ketika, suara tawa ringkik terdengar dari pawon (dapur) rumah, saat itulah, Widya yakin, sesuatu ada di sana.

Sesuatu yang bukan lagi hal baru, ia harus memeriksanya.

Ketika Widya menyibak tirai, ia melihat Nur, duduk di sebuah kursi kayu, matanya menatap lurus tempat Widya berdiri.

Ia masih mengenakan mukena putihnya seolah-olah, ia baru menunaikan sholat dan belum menanggalkan mukenanya, hanya saja, kenapa ia duduk diam seperti itu.

"Nur, ngapain?" kata Widya.

Nur masih diam, matanya seperti mata orang yang kosong.

Saat itulah, Widya melihat Nur menundukkan kepalanya dengan posisi duduk itu, seakan-akan ia tertidur di atas kursi kayunya. Membuat Widya panik, mendekatinya.

Widya menggoyang badannya, namun Nur tidak bergeming, saat Widya mencoba menyentuh kulit wajahnya yang dingin, Nur terbangun dan melotot melihat Widya.

Tatapannya, seperti orang yang sangat marah.

"Cah Ayu (anak cantik)."

Hal itulah yang pertama Widya dengar dari Nur. Hanya saja, suaranya, itu bukan suara Nur.

Suaranya menyerupai wanita uzur. Melengking, membuat bulu kuduk Widya seketika berdiri.*** (Bersambung...)

 

Editor: Slamet Bowo SBS

Sumber: Twitter @SimpleM81378523

Tags

Terkini

Terpopuler