CERITA UTUH KKN di Desa Penari Bagian 4, Siapa Pemilik Suara Lembut Pelantun Kidung Jawa dan Tingkah Aneh Nur

10 Mei 2022, 06:44 WIB
Salah satu cuplikan adegan Film KKN di Desa Penari /Instagram.com/@pichousefilms

KALBAR TERKINI - Tanpa terasa, hari sudah siang, Ayu dan Widya sudah memetakan semua yang Pak Prabu tunjukkan.

Memberinya sampel warna merah sampai biru, dari yang paling diutamakan sampai yang paling akhir dikerjakan.

Namun, tetap saja, selama perjalanan, Widya banyak menemukan keganjilan.

Baca Juga: CERITA UTUH KKN di Desa Penari Bagian 3, Sosok Pak Prabu yang Misterius dan Nisan Makam Ditutup Kain Hitam

Keganjilan yang paling mencolok adalah, tidak satu atau dua kali, namun berkali-kali, ia melihat banyak sesajen yang diletakkan di atas tempeh.

Sesajen itu lengkap dengan bunga dan makanan yang diletakkan di sana, ditambah bau kemenyan, membuat Widya tidak tenang.

Setiap kali mau bertanya, hati kecilnya selalu mengatakan bahwa itu bukan hal yang bagus.

Nur, setelah dari sinden, ia ijin kembali ke rumah, karena badannya tidak enak, dengan sukarela Bima yang mengantarkannya.

Baca Juga: CERITA UTUH KKN Desa Penari Bagian 2, Ibu Widya Tak Merestui KKN di Desa yang Terkenal Angker Itu

Jadi, observasi hanya di lakukan oleh 4 orang saja.

Kemudian, sampailah di titik paling menakutkan.

"Tipak talas." Kalau kata pak Prabu, sebuah batas di mana rombongan anak-anak dilarang keras melintasi sebuah setapak jalan yang dibuat serampangan, di kiri kanan, ada kain merah lengkap diikat oleh janur kuning layaknya pernikahan.

"Kenapa tidak boleh Pak?" tanya Ayu penasaran.

Pak Prabu diam lama, seperti sudah mempersiapkan jawaban namun ia enggan mengatakannya.

Baca Juga: CERITA UTUH KKN Desa Penari Bagian 1, Tugas Akhir Kuliah yang Berakhir Tragis dan Hubungan Cinta Terlarang

"Iku ngunu Alas D****** , gak onok opo-opo'ne, wedine, nek sampeyan niki nekat, kalau hilang, lalu tersesat bagaimana (itu adalah hutan belantara, gak ada apa-apanya, hanya mempertimbangkan, takutnya kalau kalian ke sana, hilang, tersesat, lalu bagaimana)?"

Sekali lagi, jawaban itu cukup membuat Widya yakin itu bukan yang sebenarnya. Namun, perasaan merinding melihat jalanan setapak itu, nyata.

Lanjut gak??

Jadi cuma ngasih tau. Cerita ini sangat panjang, karena gw harus menulis sedetail mungkin setiap kejadian selama 6 minggu itu. gw gak mau kehilangan setiap detail pengalaman si pencerita.

Btw, waktu denger ini, gw itu lemes tiap ingat waktu diceritain lebaran lalu

Observasi berakhir ketika Pak Prabu mengantar rombongan kembali ke rumah beliau.

Ketika kembali, Wahyu dan Anton bertanya, di mana kamar mandi, ia tidak menemukan tempat itu di tempat mereka menginap, rupanya, setiap rumah di desa ini tidak ada satupun yang punya kamar mandi.

Alasan kenapa tidak ada satupun rumah yang memiliki kamar mandi adalah karena sulitnya akses air.

Tapi, Pak Prabu menjelaskan, di bagian selatan sinden, samping sungai, ada sebuah bilik dengan kendi besar di dalamnya, di sana, bisa di gunakan untuk mandi.

Tidak berhenti di situ, Pak Prabu mengatakan bahwa mulai hari ini, kendi di dalam bilik akan diusahakan selalu terisi penuh, terutama untuk mandi anak-anak perempuan.

Untuk laki-laki, bisa mengisi air di kendi dengan cara menimba air dari sungai.

Semua anak tampak paham, meski muka Wahyu dan Anton tampak keberatan, namun mereka tidak dapat melakukan apa-apa.

Sekembalinya ke penginapan, Widya melihat Nur tengah tidur, hari itu diakhiri rapat dengan semua anak, lalu kembali ke kamar untuk mengerjakan laporan.

Sore menjelang malam Nur sudah bangun. Saat itu juga, Widya memintanya untuk mengantarkan dirinya pergi ke kamar mandi di bilik samping sinden.

Awalnya Nur tampak tidak mau, tapi karena dipaksa, akhirnya ia pun ikut dengan catatan, Nur adalah yang pertama masuk bilik.

Widya setuju. Ia gak berpikir aneh-aneh.

Selama perjalanan, ia melihat setiap rumah yang dilewati, rata-rata sama, semua rumah tepan (tembok di depan) kiri-kanan dari gedek (bambu dianyam), langit sudah merah, dan setelah menempuh jarak lumayan, akhirnya mereka sampai di sinden.

Bangunan sinden itu menyerupai candi kecil. Bedanya, kolamnya persegi 4 dengan air yang jernih tapi berlumut.

Setelah mencari-cari dari sinden, ketemulah bilik itu tepat di samping pohon asem, yang besar sekali, rindang, tapi mengerikan.

Sempat ragu, tapi Widya bilang lanjut. Rupanya benar, ada kendi besar di dalam bilik itu.

Air juga sudah penuh di dalam kendi, Nur pun masuk, sementara Widya menunggu di depan bilik, matanya tidak bisa melepaskan diri dari bangunan sinden yang entah kenapa seolah menarik perhatiannya, di sampingnya, ada sesajen itu.

Dari dalam bilik, terdengar suara air bilasan dari Nur, setelah mencoba mengalihkan perhatian dari sinden, Widya baru sadar, ada aroma kemenyan di dekat tempatnya berdiri, di telusurilah wewangian itu, benar saja, di samping pohon asem itu pun ada sesajennya.

Yang lebih parah, bara dari kemenyan baru saja dibakar.

Antara takut dan kaget, Widya kembali ke pintu bilik, dan dari dalam, sudah tidak terdengar suara air bilasan.

"Nur, Nur," teriak Widya sembari menggedor pintu kayu, anehnya, hening, tidak ada jawaban dari dalam.

Masih berusaha memanggil, terdengar sayup suara lirih, lirih sekali sampai Widya harus menempelkan telinganya di pintu bilik.

Suara orang sedang berkidung.

Kidungnya sendiri menyerupai kidung jawa, suaranya sangat lembut, lembut sekali seperti seorang biduan.

"Nur, buka Nur!! Buka!" spontan Widya menggedor pintu dengan keras, dan ketika pintu terbuka, Nur melihat Widya dengan ekspresi wajah panik.

"Nyapo to, Wid (kenapa sih Wid)?"

Ekspresi ganjil Widya membuat Nur kebingungan, terlebih mimik wajahnya mencuri pandang bagian dalam bilik.

"Ayo ndang adus, gantian, aku sing gok jobo (ayo cepat mandi, ganti biar aku yang jaga di luar)."

Kaget, Widya sudah ragu, melihat samping bilik ada sesajen, Widya tidak tahu apa harus cerita ke Nur soal itu, namun dengan ragu, Widya akhirnya bergegas masuk bilik, menutup pintu.

Bagian dalam bilik sangat lembab, kayu bagian dalamnya sudah berlumut hitam, di depannya ada kendi besar, setengah airnya sudah terpakai.

Ia bergegas meraih gayung yang terbuat dari batok kelapa dengan gagang kayu jati yang diikat dengan sulur, Widya mulai membuka bajunya perlahan.

Masih terbayang nyanyian kidung tadi, Widya mencuri pandang, ia tidak sendiri.

Suasananya seperti ada sosok yg melihat dan mengamatinya, dari ujung rambut hingga ujung kaki, sosok itu seperti wajah seorang wanita nan cantik jelita, masalahnya, Widya tidak tau siapa pemilik wajah.

Ia berdiri di depan kendi, bajunya sudah tertanggal, meraih air pertama yang membasuh badannya, Widya merasakan dingin air itu membilas badannya.

Sunyi, sepi, Nur tidak bersuara di luar bilik, memberikan sensasi kesendirian yang membuat bulu kuduk merinding.

Setiap siraman air di kepalanya, membuat Widya memejamkan matanya dan setiap ia memejamkan mata, terbayang wajah cantik nan jelita itu sedang tersenyum memandanginya.

Siapa pemilik wajah cantik itu?

Kemudian, kidung itu terdengar lagi, Widya berbalik, mengamati suaranya dari luar bilik, tempat Nur berdiri seorang diri. Apakah Nur yang sedang berkidung?

Pertanyaan itu, menancap keras di kepala Widya. Usai sudah acara mandi di sore itu, di perjalanan pulang, Widya mencuri pandang pada Nur, matanya mengawasi, seakan tidak percaya, kemudian ia bertanya.

"Nur, awakmu isok kidung jawa ya (Nur, kamu bisa bersenandung lagu jawa ya)?"

Nur mengamati Widya, kemudian, ia diam.

Nur pergi tanpa menjawab sepatah katapun dari pertanyaan Widya. Ia seperti membawa rahasianya sendiri, tanpa mau membagi rahasia itu.

Listrik di desa ini menggunakan tenaga genset, jadi ketika jam menunjukkan pukul 9 lampu sudah mati, diganti dengan petromak.

Nur sudah pergi tidur, hanya tinggal Widya dan Ayu yang masih menyelesaikan progres untuk proker esok hari.

Widya masih teringat kejadian sore tadi.

Sebenarnya Widya mau cerita, namun bila melihat respon Ayu kemarin, sepertinya ia bakal disemprot dan berujung pada pidato tengah malam.

Di tengah keheningan mereka menggarap progres, tiba-tiba Ayu mengatakan sesuatu yang membuat Widya tertarik.

"Mau aku ambek Bima, ngecek progres gawe pembuangan, pas muter deso, iling gak ambek Tapak talas, tibakne, gak adoh tekan kunu, onok omah sanggar.

(tadi aku sama Bima, mengecek progres untuk pembuangan, ketika memutari desa, ingat tidak sama Tapak Tilas, ternyata, gak jauh dari sana, ada sebuah bangunan tua menyerupai sanggar)

Widya terdiam beberapa saat, memproses kalimat Ayu

"Loh, awakmu kan wes reti nek gak oleh mrunu (Loh, bukanya kamu sudah mengerti dilarang berada di sana)!!"

"Bukan aku," bela Ayu, "Iku ngunu Bima sing ngajak (yang mengajak Bima). Jarene, onok wedon ayu mlaku mrunu, pas di tut'i, ra onok tibak ne (katanya ada perempuan cantik, pas diikuti ternyata gak ada)."

"Lah trus, awakmu tetep ae mrunu (lah terus kamu tetap ke sana)?"

"Cah iki, yo kan aku ngejar Bima, opo di umbarke ae cah kui ngilang (anak ini, kan saya mengejar Bima, apa dibiarkan saja anak itu nanti hilang)?"

Perdebatan mereka berhenti sampai di sana, namun perasaan Widya semakin tidak enak. Sejak menginjak desa ini, semuanya terasa seperti kacau-balau.

Karena malam semakin larut, Widya pun beranjak pergi ke kamar, di sana ia melihat Nur, sudah terlelap dalam tidurnya. Ayu pun menyusul kemudian, berharap malam ini segera berlalu.

Tiba-tiba terdengar langkah kaki saat Widya melihat apa yang terjadi, bayangan Nur melangkah keluar.

Ragu, apakah mau membangunkan Ayu, Widya pun beranjak dari tempatnya tidur, berjalan, mengejar Nur.

Rumah sudah gelap gulita, sang pemilik rumah tampaknya sudah terlelap di dalam kamarnya, di depan Widya, pintu rumah sudah terbuka lebar, dengan perlahan, Widya melangkah ke sana.

Malam itu sangat gelap, lebih gelap dari perkiraan Widya. Bayangan pohon tampak lebih besar dari biasanya dan sayup-sayup terdengar suara binatang malam, sangat sunyi, sangat sepi.

Di lihatnya ke sana-kemari mencari di mana keberadaan Nur, Widya terpaku melihat Nur, di depannya.

Nur berdiri di tanah lapang depan rumah, dia menari dengan sangat anggun, tanpa alas kaki, Nur berlenggak-lenggok layaknya penari profesional.

Widya, termangu mematung melihat temannya seperti itu. Ragu, Widya mendekatinya. Tak pernah terpikirkan Nur bisa menari seperti ini.

"Nur," panggil Widya, tapi sosok Nur seperti tidak mendengarkannya, ia masih berlenggak-lenggok, sorot matanya beberapa kali melirik Widya, ngeri, tiba-tiba bulu kuduk terasa berdiri ketika memandangnya.

Dari jauh, sayup-sayup, kendang terdengar lagi, Widya semakin dibuat takut, tabuhan gamelan sahut menyahut, campur aduk dengan tarian Nur yang seperti mengikuti alunan itu.

Kaki seperti ingin lari dan melangkah masuk rumah, tapi Nur semakin menggila, ia masih menari dengan senyuman ganjil di bibirnya.

Sampai akhirnya Widya memaksa Nur menghentikan tariannya. Ia berteriak meminta temannya agar berhenti bersikap aneh.

Dan saat itulah, wajah Nur berubah menjadi wajah yang sangat menakutkan.

Sorot matanya tajam, dengan mata nyaris hitam semua. Widya menjerit sejadi-jadinya.

Kali berikutnya, seseorang memegang Widya kuat sekali, menggoyangkannya sembari memanggil namanya, Wahyu.

Widya melihat Wahyu yang menatapnya dengan tatapan bingung plus takut.

"Bengi-bengi lapo As* nari-nari gak jelas nang kene (malam-malam ngapain anji*g!! nari sendirian di sini seorang diri)!!"

Jeritan Widya rupanya membangunkan semua orang, termasuk si pemilik rumah.

Widya melihat sorot mata semua orang memandangnya, tak terkecuali Nur yang rupanya baru saja keluar dari dalam rumah.

"Onok opo to ndok (ada apa sih nak)?" kalimat itulah yang pertama kali Widya dengar.

Si pemilik rumah tampak khawatir, namun Widya lebih tertuju pada Nur, ia juga memandang dirinya, mereka sama-sama termangu memandang satu sama lain.

Kejadian itu, diakhiri dengan cerita Wahyu.

Wahyu menceritakan semuanya, awalnya ia hanya ingin mengisap rokok sembari duduk di teras posyandu.

Kemudian ia tidak sengaja melihat seseorang, sendirian, menari-nari di tanah lapang, karena penasaran, Wahyu mendekat, sampai Wahyu baru sadar bila yang menari itu adalah Widya.***

 

Editor: Slamet Bowo SBS

Sumber: Berbagai Sumber Twitter @SimpleM81378523

Tags

Terkini

Terpopuler