Kisah Pertemuan Badui Arab dengan Nabi Muhammad SAW dan Zikir Ya Karim yang Mengguncang Arsy Allah SWT

- 28 Juli 2022, 16:23 WIB
Beginilah Kehidupan Orang Arab Badui di Gurun Pasir, TKI: Walau Dikasih Gaji Rp20 Juta, Tetap Gak Mau Saya
Beginilah Kehidupan Orang Arab Badui di Gurun Pasir, TKI: Walau Dikasih Gaji Rp20 Juta, Tetap Gak Mau Saya /Youtube Alman Mulyana/

KALBAR TERKINI - Andai jiwa manusia diibaratkan seperti wadah, maka imanlah isinya.

Sehingga apabila seseorang hidup tanpa iman, maka sama dengan wadah tanpa isi.

Iman juga termasuk anugerah terindah yang diberikan Allah kepada hamba-Nya.

Karena menjadi sebuah anugerah, maka sudah sepatutnya untuk terus dijaga.

Baca Juga: Kisah Ulama Sufi ABu Yazid yang Dipermalukan Seekor Anjing, Mari Ambil Pelajarannya

Berkaitan dengan iman, terdapat seutas kisah menarik antara Rasululah dan seorang badui Arab.

Kisah ini sudah barang tentu tidak asing lagi di telinga para pecinta shalawat.

Bagaimana tidak, karena kisah ini sering dibaca dan dijadikan introduksi (suluk) sebelum dimulainya lantunan-lantunan shalawat Nabi.

Kisah ini akrab dengan label “Kana An-Nabi”, yang diambil dari tulisan bagian awal.

Suatu hari Nabi Muhammad Saw. sedang mengelilingi Ka’bah (thawaf). Ketika sedang tawaf itulah, Nabi melihat seorang badui Arab yang tak beliau kenal, juga tak kenal beliau.

Baca Juga: Kisah Wafatnya Nuaiman, Sahabat Rasul yang Pemabuk Namun Sering Membuat Baginda Tertawa Meskipun Sudah Dikubur

Dalam tawafnya, orang badui itu secara berulang-ulang hanya melafalkan “Ya Karim”.

Menyaksikan perilaku ganjil yang dilakukan umatnya ini, Nabi justru turut melafalkan “Ya Karim” dari belakang orang badui itu.

Ketika orang badui berpindah untuk melaksanakan rukun yang kedua, ia juga hanya melafalkan “Ya Karim”.

Masih berada di belakang orang badui, Nabi Muhammad kemudian menirukan ucapan “Ya Karim” orang badui.

Baca Juga: Hari Baik, Bulan Baik, Ibadah Terbaik dan Asal Mula Madu Menurut Sahabat Ali Bin Abi Thalib, Jarang yang Tahu

Bahkan hingga orang badui berpindah mendekati Hajar Aswad, ia hanya melafalkan “Ya Karim”.

Tak secuil pun doa dan puji-pujian melesat dari bibirnya, selain yang telah diucapkannya.

Nabi Muhammad juga masih menirukan ucapan “Ya Karim”, sebagaimana yang dilafalkan oleh orang badui.

Merasa terganggu dengan orang asing yang meniru perilakunya, orang badui pun tersinggung.

Karena tak mengetahui bahwa orang yang di belakangnya adalah Nabi yang dicintainya, orang badui itu langsung saja menegur apa yang dilakukan Nabi Muhammad dengan teguran yang cukup kasar.

Orang badui berkata, “Apakah engkau sedang mengolok-olokku, wahai orang Arab? Demi Allah, jikalau bukan karena ketampanan wajahmu dan keelokan rupamu, akan kulaporkan engkau kepada kekasihku, Muhammad.”

Apabila orang badui itu melapor kepada Nabi Muhammad, maka sama dengan melaporkan suatu tindakan yang dilakukan Nabi sendiri.

Menerima teguran dari orang badui yang tak mengenal beliau, Nabi tidak langsung memperkenalkan siapa beliau sebenarnya.

Justru Nabi bertanya kepada orang badui, “Apakah engkau tidak mengenal siapa Nabimu, wahai orang badui?”

Sebelumnya, orang badui memang hanya mendengar cerita dan sabda Nabi dari guru-guru di kabilahnya yang sempat berjumpa Nabi atau yang sudah memeluk Islam lebih dulu.

Lantaran belum pernah sekalipun berjumpa dengan Nabi Muhammad, orang badui pun menjawab dengan apa adanya.

“Demi Allah, aku percaya kepadanya, meski belum pernah aku melihatnya.

Bahkan tatkala aku berada di kota Makkah, belum pernah sekali pun aku berjumpa dengannya.”

Mendengar jawaban orang yang percaya kepadanya, meski belum pernah sekali pun berjumpa dengannya, Nabi kemudian mengaku, “Aku adalah Nabimu, wahai orang badui!”

Orang badui itu terperangah setelah mengetahui bahwa orang yang berada di hadapannya adalah Nabi yang begitu dicintai, dihormati, dan diagung-agungkan.

Kemudian ia meraih tangan Nabi dan menciumnya, seraya berkata, “Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, wahai kekasihku.”

Dalam keadaan itu, turunlah malaikat Jibril a.s. untuk menjumpai Nabi.

Jibril berkata, “Duhai kekasih Allah, Allah mengucapkan salam untukmu, dan berfirman untukmu: (Katakanlah kepada orang badui ini, apakah ia menyangka bahwa aku tak akan menghitung amalnya apabila ia telah mengucapkan “Ya Karim”?)”

Nabi Muhammad kemudian menyampaikan firman Allah yang didengarnya melalui perantara malaikat Jibril.

Merespons firman Allah yang disampaikan Nabi kepadanya, orang badui berkata, “Demi Allah, wahai cahaya mataku, wahai eyang dari Hasan dan Husain. Andai Tuhanku menghisabku, niscaya aku pun akan menghisabnya!” Mendengar jawaban yang tak lazim dari orang badui.

Nabi kemudian bertanya, “Bagaimana cara engkau akan menghisab Tuhanmu, wahai orang badui?”

Dengan entengnya orang badui itu menjawab, “Sungguh apabila Ia (Allah) menghisabku, atas dosa-dosaku, maka aku akan menghisab ampunan-Nya.

Apabila Ia mengisabku atas kekuranganku, maka aku akan menghisab kedermawanan dan keagungan-Nya!”

Tidak lama berselang, malaikat Jibril Al-Amin turun kembali menjumpai Nabi untuk menyampaikan pesan Allah Swt. Jibril berkata, “Duhai kekasih Allah, Allah berfirman kepadamu: (Katakanlah kepada orang badui ini, ia tak perlu menghisab-Ku, karena Aku tak akan menghisabnya).

Allah adalah Dzat Yang Mulia, Yang Mahapengasih, dan Yang Maha Agung.”

Terlepas dari kekuatan periwayatan hadis di atas, kita tetap dapat mengambil pelajaran darinya. Kita tidak hanya belajar dari tuntutannya ketika hendak dihisab Allah.

Tetapi kita belajar dari cara ia mengimani Allah dan Rasul-Nya dengan keyakinan penuh. Karena iman adalah keyakinan sepenuhnya, (al-imanu al-yaqinu kulluh).

Pertama, si badui secara jelas menyatakan bahwa Muhammad Saw., adalah utusan Allah Swt.

Karena iman tidak sama dengan jumpa, maka sangat mungkin bagi seseorang memercayai bahwa Muhammad adalah utusan Allah, meski sejatinya belum pernah sekali pun berjumpa.

Kedua, dengan melafalkan “Ya Karim”, ia beriman kepada Allah dan mengakui bahwa Allah adalah Dzat Yang Mulia (Al-Karim).

Meski Allah telah mengancamnya, bahwa kelak ia akan tetap dihisab, ia tetap mengakui bahwa Allah Maha Pengampun (Al-Ghafur) dan Maha Dermawan (Al-Jawwad).

Atas kasih dan sayang Allah, sehingga menjadikannya terbebas dari perhitungan amal di akhirat.***

Editor: Arthurio Oktavianus Arthadiputra

Sumber: Berbagai Sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah