Waspadai Serangan Jemaah Islamiyah: Lebih Profesional dan 'Nendang' dari JAD!

- 29 Maret 2021, 21:27 WIB
JEMAAH ISLAMIYAH - Pasukan ISIS ini memasuki wilayah taklukan. Sebuah analisa mengingatkan otoritas terkait di Indonesia untuk mewaspadai serangan kelompok Jemaah Islamiyah (JI). Organisasi teroris jaringan al-Qaeda ini lebih profesional ketimbang Ansharut Daulah (JAD), organiasi payung ISIS di Indonesia./FOTO: REUTERS/
JEMAAH ISLAMIYAH - Pasukan ISIS ini memasuki wilayah taklukan. Sebuah analisa mengingatkan otoritas terkait di Indonesia untuk mewaspadai serangan kelompok Jemaah Islamiyah (JI). Organisasi teroris jaringan al-Qaeda ini lebih profesional ketimbang Ansharut Daulah (JAD), organiasi payung ISIS di Indonesia./FOTO: REUTERS/ /KALBAR TERKINI/OKTAVIANUS CORNELIS

KALBAR TERKINI - Sebuah analisa tentang terorisme di Indonesia mengingatkan supaya otoritas terkait di Indonesia mewaspadai serangan kelompok Jemaah Islamiyah (JI). Organisasi teroris jaringan al-Qaeda ini sudah dalam kondisi siap: profesional dan beroperasi senyap untuk menyiapkan aksi terorisme. 

Beberapa tahun terakhir, yang muncul adalah serangan-serangan tunggal dari Jaringan Ansharut Daulah (JAD), organisasi payung ISIS di Indonesia.Termasuk serangan bom bunuh diri lewat aksi sel independen atau dijuluki sebagai serangan Srigala Tunggal (Lone Wolf) di Gereja Katedral, Kota Makasar, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan, Minggu, 28 Maret  2021 

Kedua pelaku bom bunuh diri diyakini oleh Mabes Polri adalah sepasang pria-wanita. Nyawa keduanya melayang,  'berhasil masuk ke surga versi sendiri', setelah mati konyol: meledakkan tubuh sendiri hingga berkeping-keping padahal masih anget-angetnya sebagai pengantin baru.

Toh serangan dari sepasang 'pengantin surga' ini nahas: hanya mampu mencapai pintu depan gereja.

Perburuan terhadap rekan-rekan mereka pun dilakukan oleh Mabes  Polri lewat Tim Densus 88 ke sejumlah daerah. 

Aksi Lone Wolf dari JAD, sebagaimana terjadi di Gereja Roma Katolik terbesar di Sulsel ini, sebenarnya sudah diprediksi oleh kalangan pengamat. Sebagaimana diberitakan, bom bunuh diri tersebut, tak mampu menjangkau sasaran: cemen, terjadi di luar gereja karena sukses dihalangi oleh seorang petugas keamanan internal gereja. 

Baca Juga: Kutuk Bom Gereja Katedral Makasar, Anggota DPD Asal Kalbar: Mari Saling Menguatkan dan Jangan Termakan Hoax

Baca Juga: Dua Pelaku Bom Gereja Makasar Pasangan Suami Istri, Kadiv Humas Polri: Baru Menikah 6 Bulan

Baca Juga: Presiden Kutuk Serangan Teroris, Kandensus 88 ke Makassar  

Beginilah suatu gaya militan yang kurang terlatih, terburu-buru karena tak terlatih, dan...ingin secepatnya masuk 'surga'! Hal ini juga karena JAD terorganisir dengan ISIS secara terdesentralisasi sehingga pelatihan antarsel kurang dilakukan.  

Otoritas terkait di Indonesia pun diingatkan untuk tetap mewaspadai kemungkinan serangan dua organisasi teroris Islam lainnya, Mujahidin Indonesia Timur (MIT) dan Jemaah Islamiyah (JI).

Hanya saja,  MIT dianggap tak begitu efektif , paska kematian pemimpinnya, Santoso, pada 2016, apalagiserangannya lebih terfokus ke skala lokal.  

Dari semua kelompok militan Islam di Indonesia yang harus sangat diwaspadai adalah JI. Sebab, gerombolan ini lebih profesional dalam mengorganisir jaringannya: aktif tapi senyap. Dilansir Kalbar-Terkini.com dari The Diplomat, 23 Juni 2020, JI  sangat siap beraksi secara dadakan, dan terindikasi berhasil mengambil keuntungan dari psikologis rakyat Indonesia selama masa pandemi Covid-19, sebagaimana dirangkum dari analisa dua pengamat terorisme spesialis Indonesia.

Pertama, pendapat Zachary Abuza, profesor di National War  College, dan asisten  profesor di Program Studi Keamanan Georgetown.  Kedua, Alif Satria, analis terorisme di Indonesia, yang juga mahasiswa Program Studi Keamanan di Georgetown.

Terorisme dan Pandemi

Pada 1 Juni 2020, seorang militan pro-ISIS yang bersenjata  pedang, membunuh seorang polisi, dan melukai lainnya di Provinsi Kalimantan Selatan, sebelum ditembak mati.

Ini adalah serangan pertama JAD selama pandemi. Itu juga sangat amatir. Serangan itu sesuai dengan pola JAD, yang dimulai sebagai organisasi payung bagi kelompok pro-ISIS di Indonesia, tetapi telah berubah menjadi organisasi teroris terkemuka di negara itu.

Beberapa serangan JAD memang kompleks, spektakuler, dan mematikan. Seperti bom bunuh diri Surabaya pada 2018, yang melibatkan dua keluarga. Hal ini tidak hanya menunjukkan kemampuan JAD untuk mengatur serangan simultan, tetapi juga menunjukkan kemampuannya untuk memperluas peran organisasi kepada perempuan dan anak-anak. Begitu pula dengan serangan  di Sumatera, September 2019.

Sel tersebut memiliki cache TATP, ciri khas pembuat bom yang lebih terampil. 

Namun secara lebih luas, serangan JAD menjadi kurang profesional, kurang terencana, dan kurang mematikan. Salah satu tren yang bisa diamati, yakni  meningkatnya jumlah penyerangan tunggal, termasuk serangan pisau pada medio 2019 terhadap mantan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Wiranto.

Serangan itu mencontohkan jenis serangan yang paling sering dilakukan JAD: serangan dengan sedikit perencanaan, sedikit pelatihan, dan kekurangan dana.  Bahkan, ketika serangan direncanakan dengan lebih baik, mereka berhasil digagalkan oleh aparat.

Misalnya, bom bunuh diri pada November 2019 di salah satu kantor polisi di Provinsi Sumatera Utara, yang melukai enam orang, tetapi tidak ada korban jiwa, selain pelakunya sendiri yang 'naik ke surganya bersama bidadari-bidadari' imajinatif.

Kualitas serangan JAD yang bervariasi, dapat dikaitkan dengan sifat horizontal ISIS di Asia Tenggara pada umumnya, dan Indonesia pada khususnya. Struktur JAD yang terdesentralisasi, dan kurangnya unit pelatihan khusus, mencegah distribusi pembelajaran yang setara antarsel, menghambat transfer keterampilan dari satu sel ke sel lain.  

Meskipun ISIS pusat menginspirasi dan mendanai berbagai sel, JAD tidak pernah mengarahkan serangan sebagaimana yang terjadi di Prancis atau Belgia. ISIS pusat untuk JAD di Indonesia , hanya  bertindak sebagai motivator bagi serigala tunggal atau sel independen untuk mengatur serangan mereka sendiri. 

Karakteristik organisasi ini juga memengaruhi respons terhadap pandemi korona. Meski pandemi memang merupakan peluang, JAD gagal memanfaatkannya. Sebab, struktur grup ini horizontal  dan terdesentralisasi. Sel-selnya memiliki niat dan kemampuan yang berbeda dalam menanggapi Covid-19. 

Meskipun memiliki strategi terpusat, namun aksi  JAD tidak dapat diterapkan di seluruh wilayah.

Di dalam JAD sendiri, muncul beragam respons terhadap pandemi. Beberapa di antaranya menganggap virus korona sebagai wabah yang tertulis dalam hadits, memberikan konteks religius untuk pandemi, dan mengakibatkan beberapa anggota tinggal di rumah.

Yang lain melihat Covid-19 sebagai tanda akhir dunia, sebuah peristiwa yang terjadi sebelum kedatangan mesias Islam.  

Meskipun ada anggota yang menggemakan pandangan pusat ISIS, dan melihat pandemi sebagai peluang untuk menyerang, tapi hanya sedikit yang telah mencobanya.Ini bukan karena JAD tidak melakukan apa-apa, tetapi sebagian besar di antara mereka, lebih berfokus pada kelompok mereka.  

Penggalangan dana JAD secara daring melalui saluran Telegram, lebih banyak digunakan untuk  mendukung biaya operasional, dan membiayai hidup keluarga mujahidin ini, daripada upaya untuk memperluas daya tarik mereka: misalnya berkamuflase lewat pemberian bantuan medis atau gerakan kemanusiaan.  

Hal ini sesuai dengan pola yang ada: sebagian besar organisasi amal pro-ISIS, termasuk organisasi seperti Baitul Mal Ummah dan RIS Al Amin, telah bekerja untuk mendukung keluarga militan yang dipenjara.

Mujahidin Indonesia Timur 

MIT hampir dimusnahkan setelah kematian pemimpinnya, Santoso, pada 2016. Berbasis di pegunungan berhutan lebat di sekitar Poso, Provinsi Sulawesi Tengah, MIT adalah kelompok teroris pertama di Indonesia yang menyatakan kesetiaan ke ISIS. 

Mencermati sepak terjang MIT, sangat  penting bagi otoritas terkait. Ini karena dua alasan. Pertama, MIT terbentuk dari hasil pertumpahan darah sektarian di Provinsi Maluku, dan di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, yang dilakukan oleh Jemaah Islamiyah setelah jatuhnya Presiden Soeharto pada 1998.  

Di Poso, qoidah aminah, sebuah basis yang diatur oleh hukum Islam, akan didirikan. Sejak itu, Poso menjadi perhatian dari setiap kelompok jihadis di Indonesia.  

Kedua, tidak seperti kelompok atau sel lain di Indonesia, hanya MIT yang berhasil menguasai wilayah  secara fisik, walaupun terpaksa keseringan makan sagu ketimbang nasi. Apalagi, Poso adalah satu-satunya lokasi yang memungkinkan di Indonesia: dekat dengan Filipina selatan, pusat dari gerakan-gerakan Islam bersenjata.  

Karena itulah,  aparat  sempat terfokus ke MIT untuk lebih meningkatkan upaya kontraterorisme. Ini dimulai lewat Operasi Tinombala pada 2016, ketika TNI melancarkan perang hutan untuk membubarkan kelompok tersebut. 

Meskipun MIT hanya memiliki kurang dari selusin militan pada 2016, kematian para pemimpin puncaknya, yang sudah 'djemput bidadari surga', toh MIT tetap berkomitmen untuk berkumpul kembali. Pada akhir 2017 msalnya, MIT memulai kampanye rekrutmen baru.

Polisi pun menangkap 17 rekrutan pada awal 2020. 

Jika pun MIT masih bertahan, merampok makanan penduduk karena kelaparan, kerap membunuh warga lokal dengan tuduhan sebagai informan, isolasi geografis merupakan keuntungan bagi MIT.

Di sisi lain, isolasi ini merupakan cacat, karena mengakibatkan MIT tetap terikat dengan Sulawesi Tengah, dan berisiko kebanyakan makan sagu, makanan yang 'aneh', dan disebut 'lem' oleh orang-orang MIT yang berasal dari Jawa. 

Hanya saja, MIT memiliki banyak peluang untuk memanfaatkan jaringan komunitas. Dengan memanfaatkan anggota keluarga besar Santoso, dan jaringan ulama setempat, maka kelompok tersebut menerima dana dari luar Poso, sambil merekrut anggota di seluruh Sulawesi dan Jawa, terutama dari kalangan narapidana.

Faktor lain dari ketahanan MIT, adalah kemampuannya untuk memanfaatkan bencana alam sebagai platform perekrutan. Misalnya, kelompok dan individu yang berafiliasi dengan MIT, terlibat dalam respons sosial terhadap gempa Palu pada 2018, yang menghancurkan dan menewaskan lebih dari 4.500 orang.  

MIT memanfaatkan pula bencana tersebut untuk membawa calon anggota ke Poso dengan kedok pekerjaan kemanusiaan. 

Pandemi Covid-19 bermanfaat bagi MIT karena tetap fokus pada komunitas lokalnya. MIT adalah kelompok pertama di Indonesia, yang melakukan serangan selama pandemi, dan menjadikan  pandemi sebagai peluang untuk menyerang negara lewat pembunuhan terhadap warga-warga lokal. 

Singkatnya, MIT cukup  tangguh sejak pemerintah mengumumkan kehancurannya pada medio 2016, dan pandemi berperan dalam ketahanannya. Seperti yang dikatakan Ketua MIT saat ini, Ali Kalora kepada pendukungnya: "Taghut (tiran) akan jatuh karena virus korona, dan perang dalam waktu dekat."

Si gondrong jagoan lokal berwajah tirus tak jelas dan tak menyenangkan ini pun, mengancam akan melakukan pembalasan lebih lanjut terhadap penduduk desa yang mendukung upaya berbagai upaya Pemerintah Indonesia.

Jemaah Islamiyah

Dari semua kelompok militan Islam di Indonesia, pihak yang paling mengambil keuntungan besar dari pandemi korona dan resesi ekonomi ini adalah JI.

Inilah afiliasi regional al-Qaeda, yang bertanggung jawab atas pemboman Bali pada 2002, dan serangan teroris besar-besaran hingga tahun 2009. Setelah pemboman Bali 2002, JI terpuruk akibat berbagai upaya kontraterorisme bersama oleh Pemerintah Indonesia disusul perselisihan internal antarfaksi yang melumpuhkan terkait strategi dan taktiknya.

Pada 2008, pimpinan pusat kelompok itu, mendeprioritaskan kekerasan ketimbang dakwah. Pada 2011, kelompok tersebut berhenti berfungsi sebagai organisasi militan.

Namun, ini tidak berarti bahwa JI sama sekali berhenti beroperasi. Sejak 1993, JI telah mencari dukungan masyarakat yang lebih luas. Melihat pentingnya masyarakat dalam mendirikan negara Islam dalam pandangan versi mereka, JI pun berinvestasi besar-besaran untuk mengembangkan madrasah guna 'melayani' masyarakat, sekaligus menghubungkan mereka dengan tujuan JI.  

Pada 2004, JI dalam proses mengubah dirinya menjadi kelompok yang secara aktif menyediakan layanan sosial di luar jaringan dalam kelompoknya. Dengan peristiwa bencana tsunami besar di Provinsi Aceh Nangroe Darusallam pada 2004,  dan gempa bumi di Pulau Jawa 2006, JI secara terbuka terlibat dalam program bantuan kemanusiaan, melalui jaringan amal, dan kelompok paramiliter reorientasi. 

Abu Rusdan: Damai, sampai Titik Tertentu!
Tampil sosial dan beramal, ini bukan karena JI menolak kekerasan. Simak saja klaim mantan pemimpin JI,  Abu Rusdan: "JI hanya akan damai, sampai titik tertentu!" 

Ini artinya, kegiatan-kegiatan sosial dan amalnya, hanya kedok. JI telah berbohong kepada masyarakat Indonesia, karena kegiatan-kegiatan selama ini,  ternyata tak lain hanya sebagai upaya untuk membangun kembali kelompoknya. 

Pada 2013, JI dilaporkan mengirim enam anggotanya untuk berlatih di Suriah, sementara pada 2019, polisi menemukan bukti baru tentang pelatihan militan JI, yang mencakup manual baru, dan pendanaan untuk pelatihan di luar negeri. 

Masih menurut analisa tersebut  lewat Diplomat, dengan kebangkitan ISIS pada 2014, dan elemen inti JI  (termasuk salah satu pendirinya Abu Bakar Ba'asyir -kini bebas dari kerangkeng- berjanji setia kepada Abu Bakar al-Baghdadi, pemimpin ISIS), banyak anggota JI dengan senang hati bahkan terkekeh-kekeh, membiarkan sobatnya: kelompok pro-ISIS, melakukan kekerasan dan menghadapi tindakan aparat. 

Kesibukan otoritas keamanan menangani JAD,  justru menjadi 'lampu hijau' bagi JI untuk kembali bebas beroperasi. Pada 2019, JI menjadi  kuat setelah sempat impoten pada 2011.

Kebangkitan gerombolan ini ditandai lewat beroperasinya  jaringan penceramah di perusahaan, masjid, dan perkebunan besar.  Pada Juni 2019,  aparat akhirnya menangkap pemimpin JI, Wijayanto.

Kala itu,  secara mengejutkan ditemukan  pula ruang lingkup kelembagaan, dan sumber keuangan JI, yang ternyata cukup untuk membayar gaji anggota, dan membiayai keluarga militan yang ditahan. 

Selama ini, JI beroperasi senyap: sangat tenang. JI telah berada dalam posisi yang jauh lebih baik ketimbang kelompok teror lainnya, karena JI setidaknya berhasil memanfaatkan pandemi korona.

Toh dalam satu hal: JI tetap menjadi organisasi yang jauh lebih tersentralisasi dan hierarkis. Meskipun tidak jelas siapa yang memimpin kelompok tersebut, sejak penangkapan Wijayanto, JI masih diatur oleh dewan (syura). Dewan ini bertindak berdasarkan konstitusi dengan struktur organisasi yang jelas.  

Meskipun divisi JI tidak terspesialisasi atau terhubung dengan baik, seperti pada dekade 2000-an, rantai komando umum organisasi, tetap sama. Jika misalnya divisi pendidikan JI ingin dijalankan, maka rantai komando organisasi tetap terpusat.  

Laporan Polri menemukan: hingga akhir 2013, divisi pendidikan JI memiliki 24 koordinator aktif di seluruh Indonesia. Setiap koordinator membawahi tujuh kepala bagian, yang mengumpulkan laporan pendanaan, dan kinerja ke badan pusat.

Dari sini terlihat, bahwa dokumentasi terkait kepentingan intelijen JI,  masih mengalir ke atas, dan sumber dayanya ke bawah.  

Sementara JAD, terus mengalami perselisihan internal, kekurangan logistik lintas sel, dan distribusi keterampilan yang tidak memadai. Maka, inilah  bedanya dengan JI. Struktur JI justru lebih tangguh, dan lebih mampu, dibandingkan JAD, termasuk dalam menerapkan respons terkait pandemi korona.

Selain memberikan manfaat bagi konstituennya, JI juga memiliki lebih banyak pengalaman, dan infrastruktur kelembagaan untuk mendukung kelompok luar, memperluas basis dukungan mereka, dan memprovokasi rakyat Indonesia bahwa Pemerintah Indonesia gagal mengani korona. 

JI melakukannya dengan cara, menggunakan wadah bernama KOMPAK pada awal dekade 2000-an, dan organisasi kemanusiaan bernama HASI selama konflik Suriah. Jika krisis kemanusiaan di masa lalu masih harus dilalui, maka JI mungkin memprioritaskan upaya kemanusiaan selama pandemi ini.  

Meskipun banyak organisasi kemanusiaan JI dilarang sejak penangkapan Wijayanto, tapi beberapa di antaranya, bisa saja mendaftar ulang. Beberapa lainnya, yang sebagian besar beroperasi di luar negeri (terutama di Gaza) seperti Lembaga Kemanusiaan One Care, tampaknya masih berjalan tanpa badan amal resmi.

Sentimen anti-China

JI memanfaatkan pula propaganda cepat:  menyebarkan sentimen anti-China atau memprovokasi rakyat Indonesia, lewat fitnah bahwa Pemerintah Indonesia telah 'gagal menangani Covid-19'.

Kemampuan kelompok ini untuk mengeksploitasi pandemi, dibatasi oleh struktur dan ketahanan mereka. 

Ketahanan JI sendiri, terletak pada sumber daya, kapasitas organisasi secara terpusat, dan pengalaman dalam memberikan layanan sosial di luar daerah pemilihan langsungnya, karena kampanye bersenjata melawan negara dianggap kontraprodukti. 

Indonesia sendiri sedang mengalami resesi dan berusaha bangkit dari dampak amukan pandemi korona. Pemerintah Indonesia memiliki sedikit sumber daya keuangan untuk dikelola pofesional, tapi pemerintah sekuat tenaga berusaha membangkitkan perekonomian demi rakyat.  

Di masa pandemi ini, kelompok-kelompok teror ini tetap akan fokus menyerang  tentara dan polisi. Ini mengingat, jika ketahanan negara terganggu karena banyak tentara dan polisi bermasalah, maka akan menghambat upaya pertumbuhan ekonomi di Indonesia. 

 

Sumber: The Diplomat     

 

Editor: Oktavianus Cornelis


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah