Penjelasan logis untuk perbedaan ini adalah bahwa makhluk itu tidak ada, dan foto-foto mereka hanyalah tipuan atau kesalahan identifikasi.
Dalam buku Big Footprints (Johnson Books, 1992), peneliti veteran Grover Krantz membahas dugaan rambut Bigfoot, kotoran, kerokan kulit dan darah.
"Masalah yang biasa dari item tentang mahluk ini, adalah orang-orang tidak menerima studi ilmiah, atau dokumentasi dari studi itu hilang, atau tidak dapat diperoleh. Dalam kebanyakan kasus di mana analisis yang kompeten telah dibuat, materialnya ternyata palsu, atau tidak ada penentuan. bisa dibuat, "kata Krantz.
Ketika kesimpulan pasti telah dicapai melalui analisis ilmiah, sampel ternyata kerap memiliki sumber biasa.
Misalnya pada 2014, tim peneliti yang dipimpin oleh ahli genetika Bryan Sykes dari Universitas Oxford di Inggris, melakukan analisis genetik pada 36 sampel rambut yang diklaim milik Bigfoot atau Yeti, makhluk mirip kera yang diyakini hidup di Himalaya.
Hampir semua bulu itu ternyata berasal dari hewan yang dikenal, seperti sapi, rakun, rusa, dan manusia.
Namun, dua sampel sangat cocok dengan beruang kutub Paleolitik yang punah, lapor Live Science sebelumnya. Sampel ini mungkin berasal dari spesies beruang yang tidak diketahui atau hibrida beruang modern, tetapi mereka berasal dari beruang, bukan primata.
Genetika memberikan alasan lain untuk meragukan keberadaan Bigfoot. Ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa tidak mungkin hanya ada satu makhluk unik yang sulit dipahami.
Banyak individu harus hidup demi menyediakan keragaman genetik yang cukup terkait mempertahankan suatu populasi.
Orang kadang-kadang mengaku menemukan tulang atau bagian tubuh besar lainnya. Misalnya, seorang pria di Utah menemukan apa yang dia pikir sebagai fosil tengkorak Bigfoot pada 2013.