Peperangan untuk meraih kemerdekaan di wilayah itu telah ditempuh oleh berbagai faksi Muslim selama lima abad melawan para penguasa. "Makanya banyak yang mengira bahwa tentara Moro itu semuanya Islam. Padahal nyanda sedikit dari dorang (mereka) yang beragama Nasrani. Mereka inilah anak-cucu dari orang-orang Nusa Utara yang dulu eksodus ke Filipina," tandas Ipe.
Di dunia sastra Indonesia, Ipe dikenal sebagai penyair kelahiran Manado, 10 Januari 1963, yang pernah bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media cetak di Manado, pernah menjabat Wakil Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Sulut, dan anggota kehormatan PWI Sulut.
Baca Juga: Dapat Jatah Pajak 0 Persen, Segini Harga Tiga Mobil Raja Jalanan di Kalbar
Ipe adalah penerima Anugerah Puisi pada 2013, lewat Puisi Klikitong, sebagai Buku Pilihan Sayembara Buku Puisi Indonesia. Selain itu, Ipe adalah penerima Anugerah Puisi 2014 lewat Makatara sebagai Buku Pilihan Sayembara Buku Puisi Indonesia. Puisi dan esainya pernah dimuat di sejumlah media, antara lain, di 'mendiang' Majalah Sastra Horison, Harian Sore Sinar Harapan dan Harian Indopos.
Karya-karya Ipe yang telah diterbitkan, antara lain, Jalur Rempah, Kumpulan Puisi, Longuseiku, Dari Ramensa ke Manongga, Kumpulan Cerita Rakyat Talaud untuk Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Talaud pada 2016. Ipe juga menulis novel Kepas terbitan Teras Budaya 2013.
Karya-karya non-fiksinya, antara lain, Delik Nedosa: Sebuah Kajian Hukum Adat Sangihe; Kantor Kejaksaan Tinggi Sulut; Nazaret, Sejarah Gereja. Selain itu Ipe pernah pula menjadi editor Antologi Puisi Guru terbitan Balai Bahasa Provinsi Sulut pada 2005.***