Dendam Masa Lalu, Banyak Orang Indonesia Ikut Milisi Radikal Filipina

- 16 Februari 2021, 16:57 WIB
MILITAN - Tak sedikit anggota kelompok militan di Filipina yang masih berdarah Indonesia, tepatnya dari pulau-pulau di atas daratan Provinsi Sulawesi Utara. Orang tua mereka eksodus karena menolak bekerja paksa di Bandara Naha di Tahuna./WIKIPEDIA/
MILITAN - Tak sedikit anggota kelompok militan di Filipina yang masih berdarah Indonesia, tepatnya dari pulau-pulau di atas daratan Provinsi Sulawesi Utara. Orang tua mereka eksodus karena menolak bekerja paksa di Bandara Naha di Tahuna./WIKIPEDIA/ /

KALBAR TERKINI -  Tak sedikit anggota kelompok garis keras di wilayah selatan Filipina yang masih berdarah Indonesia, tepatnya dari dua suku besar di kepulauan bagian utara Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), yakni Sangihe dan Talaud. Ironisnya, mereka menyimpan dendam masa lalu terhadap Pemerintah Indonesia dan tak pernah mau kembali ke negara asal.

Kalangan ini adalah anak-cucu dari ratusan warga Nusa Utara -julukan untuk kepulauan di atas daratan Sulut- yang eksodus ke selatan Filipina, paska peristiwa Gerakan 30 September 1965  Partai Komunis Indonesia (PKI) di Indonesia.

"Eksodus ini cukup besar," kata Iverdixon Tinungki, budayawan Nusa Utara kepada Kalbarterkini.com di Kota Manado, belum lama berselang.

Menurut penulis buku sejarah dan budaya, sastrawan dan mantan wartawan ini, dendam di kalangan warga Nusa Utara di  Filipina ini, terkait peristiwa kerja paksa selama pembangunan Bandara Naha di Tahuna, dekade 1960-an.

Baca Juga: Tenang Divaksin Covid-19 Tahap II, Danrem 121/ABW: Santai Disuntik Istri Sendiri

"Bandara ini dibangun tidak lama setelah peristiwa G-30 S PKI. Nah, selama pembangunan, warga kepulauan yang dipekerjakan di proyek itu, diperlakukan sangat sewenang-wenang, tepatnya tidak manusiawi," lanjut Ipe, panggilan akrabnya.

Dengan upah rendah, lanjut Ipe, semua warga kepulauan yang sudah dianggap dewasa, diharuskan bekerja di proyek pembangunan Bandara Naha. Karena upah sekecil itu, ditambah melaut merupakan mata pencaharian tgradisional, banyak warga menolak.

Namun, menurut Ipe, warga yang menolak pasti ditindas. Salah satu hukumannya adalah direndam di dalam lubang tinja atau kepala mereka dicemplungkan berulangkali ke kubangan kotoran manusia. "Yang  juga nyanda (bahasa Manado, baca: tidak) diterima warga, sambil disiksa di lubang tinja, mereka dituduh sebagai antek PKI," katanya.

Tuduhan sebagai antek PKI, lanjut Ipe, dianggap sebagai penghinaan sekaligus pelecehan martabat. Sebab, warga sudah mengetahui kebiadaban PKI sehingga mereka tidak mau dituduh sebagai komunis.

Halaman:

Editor: Oktavianus Cornelis


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x