PONTIANAK, KALBAR TERKINI - Warga Kalimantan khususnya Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) tak bisa melupakan Peristiwa Mandor pada 28 Juni 1944. Inilah kebrutalan tentara Angkatan Laut Kekaisaran Jepang (Kaigun) yang memancung 21.037 warga di Kalbar termasuk sejumlah raja dan pangeran.
Para korban, antara lain, Syarif Mohammad Alkadrie (Sultan Pontianak, 74 tahun); Pangeran Adipati (Putra Sultan Pontianak, 31 tahun); Pangeran Agung (26 tahun). "Benar-benar biadab," kecam Santyoso Tio (ST), SH MH, Ketua Dewan Harian 45 Kalbar yang juga Ahli Waris Korban Peristiwa Mandor kepada Kalbar-Terkini.com di Kota Pontianak, Ibu Kota Kalbar, Jumat, 2 Juni 2021.
Peristiwa Mandor yang juga dikenal pula dengan istilah Oto Sungkup (Mobil Penutup Kepala) adalah peristiwa massal, yang menurut catatan sejarah, puncaknya terjadi pada 28 Juni 1944. Peristiwa Mandor dikenal pula dengan istilah Tragedi Mandor Berdarah, yakni suatu kejadian tanpa batas etnis dan ras oleh Kaigun.
Baca Juga: Mbak You Tuliskan Tanggal Kematiannya di Mobil dan Akun Twitter Pribadi, Berikut Penjelasannya
Selama dua tahun sejak 1943, terjadi serentetan pemancungan oleh Tentara Dai Nippon Peristiwa Mandor di kawasan Mandor, Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar). Dari data koran berbahasa Jepang di Kalimantan, Borneo Shimbun, sekitar 21.037 orang tewas dari berbagai suku, ras, bangsawan, dan sebagian korban berasal dari Kalimantan Timur dan Kalimatan Tengah.
"Peristiwa memilukan ini menjadi bukti sejarah bahwa rakyat Kalbar dari berbagai suku, agama, ras dan golongan, telah melakukan perlawanan terhadap pendudukan Jepang. Peristiwa ini juga merupakan pembelajaran bahwa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), orang Kalbar sejak dulu telah bersatu," katanya, sebagaimana cuplikan wawancara dengan ST berikut ini.
Lahirnya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2007 tentang Peristiwa Mandor pada 28 Juni 1944 sebagai Hari Berkabung Daerah Provinsi Kalimantan Barat, melalui rapat paripurna DPRD Kalimantan Barat, merupakan bentuk kepedulian sekaligus apresiasi dari DPRD terhadap perjuangan pergerakan nasional yang terjadi di Mandor. Lantas, adakah upaya dari pihak Anda untuk menjadikan peristiwa memilukan ini, bukan hanya diperingati oleh warga Kalbar, melainkan secara nasional?
Baca Juga: 5 Zikir Beserta Doa Pembuka Pintu Rezeki Yang Mustajab Untuk Umat Muslim
ST: Belum ada pemikiran ke situ dari kami. Yang paling penting, bagamana peristiwa ini menggugah nilai-nilai patriotisme orang Kalbar. Bahwa para korban, yang sebagian besar kaum elit, berasal dari semua agama dan etnis yang ada di Nusantara. Sebagian juga ada yang diangkut dari Kalteng dan Kaltim.
Lewat peristiwa ini, ada pembuktian sejarah, bahwa masyarakat di Kalbar dari berbagai strata dan agama, termasuk raja dan semua golongan, telah menjadi korban karena melawan pendudukan Jepang.
Ada juga yang dari Suku Minahasa (baca: Manado), Bali, Jawa, Sunda, selain tentunya Dayak, Melayu, Tionghoa. Jadi, Makam Juang Mandor mencerminkan persatuan dan NKRI. Sebab, di sinilah dimakamkan para korban dari seluruh suku atau etnis yang ada di nusantara.
Dari peristiwa ini maka di Kalbar jangan ada masalah perbedaaan ras, suku, agama atau golongan. Para leluluhur kita yang menjadi syuhada telah membuktikan bahwa patriotisme adalah di atas berbagai perbedaan itu.
Jelasnya, kita semua adalah bersaudara, dan jenazah-jenazah orangtua kita sudah satu liang kubur. Jangan lagi ada pihak-pihak yang coba-coba mengadudomba kita, dan mencari-cari perbedaan di antara kita.
Itu harus kita lawan. Semangat persatuan dan kesatuan yang berkobar di kalangan orang tua kita yang akhirnya gugur, harus menjadi kekuatan, dan tekat kita bersama untuk membangun masa depan NKRI yang lebih baik lagi ke depan.
Baca Juga: Mbak You Tuliskan Tanggal Kematiannya di Mobil dan Akun Twitter Pribadi, Berikut Penjelasannya
Jika Ksatria, Jepang harus Bayar Kompensasi
Dalam kasus yang sangat berbeda, yakni jugun ianfu (wanita-wanita yang dijadikan budak seks di berbagai negara termasuk Indonesia), ada upaya Pemerintah Jepang melakukan ganti rugi kepada keturunan para wanita ini. Begitu pula ganti rugi dari Pemerintah Belanda bagi para korban pembantaian oleh tentara NICA (selama agresi I dan II di Indonesia, Red).
Nah, dalam Peristiwa Mandor, di mana Jepang telah membunuh banyak warga serta elit-elit terhormat di Kalbar, orang-orang yang kita sayangi, maka sejauh mana pihak Anda memperjuangkan semacam ganti rugi bagi keluarga korban Mandor, tentunya lewat Pemerintah Pusat di Jakarta?
ST: Waktu saya masih sekolah dasar, tahun 1950-an, orang tua saya bersama teman-teman senasib, yang keluarganya jadi korban Mandor,. pernah membicarakan masalah ini (ganti rugi) dari Jepang, dan menyebut-nyebut tentang 'pendaftaran'.
Artinya, mendaftar terkait ganti rugi, semacam pampasan perang, tiap keluarga senilai 20 ribu dolar AS. Tapi, rupanya ini wacana, karena sampai sekarang tidak ada kabar beritanya.
Mungkin ada masalah sehingga ganti rugi dari Jepang ini hanya menjadi semacam wacana?
Baca Juga: Mengenal Ciri Golongan Orang yang Tak Tersentuh Api Neraka
ST: Ketika itu, setahu saya, adalah masa-masa yang sulit bagi negara kita, kala di era Presiden Bung Karno. Ada informasi, ganti rugi itu sudah diberikan kepada Bung Karno. Dananya digunakan untuk membangun Jembatan Ampera di Palembang (Kota Palembang, Ibu Kota Provinsi Sumatera Selatan, Red).
Sekarang ini, adakah upaya sama yang sudah dilakukan pihak Anda
ST: Yang pasti, kita, orang Kalbar , telah kehilangan banyak elitnya, dari raja, dokter, pengusaha, kepala sekolah, atau orang-orang terdidik. Termasuk dua datuk (kakek) saya, dari sebelah ayah dan ibu.
Keduanya berpendidikan Belanda. Pengaruhnya terasa hingga puluhan tahun ke depan, tepatnya sekarang ini. Contohnya, IPM di Kalbar cukup tertinggal secara nasional.
Setelah peristiwa memilukan itu, elit-elit kita yang masih hidup, tinggal sedikit. Banyak yang sembunyi, entah di mana. Raja Sultan Hamid sendiri, sempat tak tahu di mana. Jadi, selamatlah beliau. Makanya, berapa kali kami berbicara dengan pihak Jepang, antara lain dengan Universitas Tokyo, yang juga sempat saya temui.
Baca Juga: Khawatir Masyarakat Sesat, Begini Pesan Karolin Margret Natasa
Saya pribadi tidak bicara soal dendam, tapi bangsa Jepang harus punya tanggung jawab moral. Jadi, saya menilai, bisa dilakukan kompensasi oleh Jepang, dengan mengakomodasi anak-anak Kalbar di bidang pendidikan atau magang bekerja di Jepang, terkait peningkatan SDM kita.
Beberapa hari lalu, kami dari keluarga besar korban Mandor, menggelar Zoom, dengan melibatkan kalangan sejarawan di Jakarta. Kami sepakat bahwa Jepang sebagai bangsa, yang katanya berjiwa samurai, berjiwa ksatria, seharusnya gentleman, memberikan kompensasi ke Kalbar, dalam bentuk peningkatan SDM.
Kan mereka datang ke Kalbar dengan membawa bendera nasionalnya, Bendera Dai Nipon, dan bendera itu masih digunakan sampai sekarang.
Kembali ke Peristiwa Mandor, bisa dikilas balik tentang peristiwa yang menimpa kedua kakek Anda?
Tentunya sangat berat. Andaikan bom atom tidak dijatuhkan oleh pesawat-pesawat bomber Amerika Serikat di Pulau Hiroshima dan Nagazaki, tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, lebih banyak korban yang akan berjatuhan lagi di Kalbar, termasuk ayah saya, yang waktu itu maish berumur 14 tahun. Menurut ayah saya, Jepang waktu itu mulai mengincar pula kaum remaja.
Peristiwa itu, bagi keluarga besar saya, sangat membekas. Terutama kepedihan orang tua dan neneknya selama bertahun-tahun. Kakek saya, Tio Pia Cheng, meninggal dibunuh oleh Jepang saat berusia 34 tahun, masih enerjik, dan merupakan orang terkaya di Ketapang.
Baca Juga: Film Halloween Kills Akan Tayang Oktober 2020, Teror Michael Myers Hadir Kembali
Kakek saya ditangkap oleh tentara Jepang, sehari setelah pulang rapat dari Pontianak bersama Raja Muhammad Saunan, Raja Ketapang. Raja Muhammad Saunan masih terhitung kerabat, masih sedarah dengan kakek saya, walaupun sudah jauh.
Bisa dirinci penangkapan kakek Anda?
Menurut ayah saya, penangkapan berlangsung di rumah, dinihari. Kakek saya disungkup, dan dijanjikan akan dilepas, asal menyerahkan semua perhiasan, tetapi ternyata bohong. Betapa tidak, kemudian ada laporan dari anak buah kapal, bahwa ada sembilan tahanan termasuk kakek saya dan Raja Ketapang, yang sudah diangkut dengan kapal ke Pontianak.
Mereka dimasukan ke dalam drum minyak, dan diletakan di palka kapal. Kemudian, setelah Jepang menyerah, baru ketahuan bahwa kakek saya telah dipenggal di Mandor. Kakek saya yang satunya lagi, dari sebelah ibu, Lim Bak Yong yang menjabat Lotay Ketapang, ditangkap pada gelombang ketiga.
Dari pemberitaan koran Borneo Shimbun, dua puluhan ribu orang yang ditangkap dan dihukum mati itu adalah pemberontak.
Dengan begitu banyaknya korban pembantaian Jepang itu, sama saja dengan genosida. Ada fakta dari temuan pihak Anda terkait perbuatan keji Jepang itu?
ST: Benar, ini adalah genosida. Ada isu bahwa Jepang akan menjadikan Kalbar sebagai bagian dari negaranya, sehingga mereka terlebih dahulu melakukan genosida.***
Fakta Peristiwa Mandor 28 Juni 1944
Nama lain: Insiden Mandor/Tragedi Mandor Berdarah/Tragedi Pontianak
Jenis: Pembunuhan massal
Motif: Melenyapkan pemberontak masyarakat di Kalbar yang sudah diketahui oleh Kaigun (AL Jepang)
Target: Masyarakat Kalbar
Pelaku: Tentara Angkatan Laut Jepang
Tewas: ± 21.037
Dalang: Shūchijichiyo Seibu Youmu (Gubernur Negara Bagian Kalimantan)