Medsos di Indonesia Marak Konten Radikalisme, Kemenkominfo harus Belajar dari Singapura

- 15 September 2022, 04:14 WIB
Ilustrasi radikalisme.
Ilustrasi radikalisme. /Pixabay/S. Hermann & F. Richter /

SINGAPURA, KALBAR TERKINI - Indonesia harus belajar dari Singapura terkait pencegahan bahaya online lewat konten radikalisme, rasisme atau berbasis gender.

Di Singapura, pembatasan diharuskan oleh otoritas terkait ke pihak platform media sosial atas konten-konten berbahaya itu.

Di Indonesia, dari catatan Kalbar-Terkini.com, Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) terlalu lama menindak terkait permasalahan ini.

Baca Juga: Lion Parcel Umumkan Kerja Sama Dengan Startup Singapura Bukti Nyata Perkuat Layanan Logistik Internasional

Sebutlah media-media sosial yang terbukti disalahgunakan sebagai bursa seks online.

Bahkan, otoritas ini terkesan menafikan alias terlalu lama untuk menindak konten-konten seperti ini di sejumlah media sosial papan atas.

Terbukti di TikTok dan SnackVideo, konten-konten semisal radikalisme bermunculan setiap hari.

Faktanya, banyak konten dari penganut agama mayoritas yang menghina keyakinan kalangan pengguna beragama minoritas.

Baca Juga: Indonesia Harus Siaga Merah: Cacar Monyet Papar Lima Warga Singapura!

Selain itu, bermunculan pula berbagai konten yang mengumbar hoax.

Ini karena konten yang berisi topik aktual diulas dengan opininya sendiri, alih-alih mendapatkan bayaran (monetize) dari pengelola platform terkait.

Hanya saja, konten berbahaya yang berbasis gender, sangat dominan di Singapura.

Ini karena konten radikalisme dan juga rasisme segera dtindak cepat oleh Pemerintah Singapura.

Dilansir Kalbar-Terkini.com dari Today Online, Selasa, 13 September 2022, sebuah badan nirlaba baru saja diluncurkan di Singapura.

Baca Juga: Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa Diusir dari Maladewa: Kini Kabur ke Saudi via Singapura

Badan nirlaba ini hadir untuk memberdayakan kaum perempuan dan anak perempuan.

Diluncurkan pada Selasa, proyek pertama dari SG Her Empowerment (SHE) bertujuan untuk mengatasi bahaya online berbasis gender.

Bahaya ini, misalnya, bocornya gambar cabul dan perundungan di dunia maya.

Didukung oleh dana sebesar satu juta dolar Singapura, proyek ini menawarkan 'hotline' dengan dua konselor dan pengacara.

Tim ini memberikan layanan 'probono' kepada kalangan yang membutuhkan.

Pada Selasa, SHE menyatakan, proyek itu juga akan bekerja untuk mengambil 'masalah arus utama yang lebih luas.

Misalnya, masalah keadilan dan kesetaraan di tempat kerja', peran perempuan dan laki-laki di rumah, dan masalah yang mempengaruhi kaum muda.

Pusat dukungan ini membantu untuk membuat laporan polisi jika perlu.

Pusat tersebut, yang disebut SheCares@SCWO, akan beroperasi dari gedung Dewan Organisasi Wanita Singapura (SCWO) di Waterloo Street.

Menurut SHE dalam jumpa pers pada Selasa, anggota staf pusat akan dilatih dengan buku panduan.

Fokusnya adalah pelatihan informasi trauma.

Konselor akan membimbing korban melalui setiap proses.

Jadi, korban dapat mengeksplorasi pilihan mereka, serta ditawarkan bantuan hukum jika diperlukan.

Pusat dukungan akan bekerja sama dengan Kepolisian Singapura.

Hal ini untuk meningkatkan proses pelaporan dengan korban dan platform media sosial.

Misalnya, Meta, pemilik Facebook; Twitter; dan TikTok, untuk merampingkan proses pelaporan bagi para korban.

Proyek ini juga berkolaborasi dengan platform media sosial.

Tujuannya, untuk memantau dan mengantisipasi bagaimana melindungi orang dari bahaya, karena lanskap online terus berkembang.

SHE juga menangani korban kejahatan online yang tidak ingin disebutkan namanya.

Pendiri dan Ketua SHE Stefanie Yuen Thio menyatakan, pengacara pro-bono di pusat dukungan akan memberikan saran bagi korban.

"Organisasi itu mungkin juga bertindak sebagai pemverifikasi informasi korban," katanya.

“Kontak konstan kami dengan platform akan membantu memberi tahu penasihat dan pengacara pro-bono kami,” lanjut Yuen.

SHE juga dapat merampingkan informasi yang tepat yang perlu diberikan korban.

Yuen yang juga Direktur Pelaksana TSMP Law Corporatio menyatakan, pihaknya dapat menghapus konten sensitif atau cabul secara online.

Pemerintah Singapura telah lama mengusulkan penonaktifan akses media sosial ke konten berbahaya.

Ini sebagai bagian dari kode praktik baru tentang keamanan online

Sementara Yuen menambahkan, PSHE dibentuk untuk 'mengubah pola pikir'.

Pun untuk mengatasi masalah arus utama yang lebih luas yang dihadapi perempuan di masyarakat yang belum ditangani.

SHE awalnya mengkonseptualisasikan diri sebagai organisasi untuk menjalankan pusat dukungan bagi korban.

Tapi dalam perkembangannya, peran SHE segera menjadi jelas.

Ini karena banyak masalah yang dihadapi perempuan yang membutuhkan perhatian sesegera mungkin.

SHE melanjutkan pekerjaan yang dimulai oleh Sunlight Alliance for Action (Sunlight AfA).

Proyek ini untuk mengatasi bahaya online terhadap perempuan dan anak perempuan.

Itu juga terinspirasi oleh isu-isu yang diangkat dalam Buku Putih Wanita, yang diterbitkan awal 2022 ini.

Berbicara tentang makalah tersebut, Yuen berkata: “Ini adalah saran yang bagus di jalan yang benar."

"Tetapi, apakah ada cara yang lebih baik untuk diterapkan? Apakah semua kebijakan ini telah dipikirkan dengan matang dari setiap perspektif?’ lanjutnya.

Penasihat khusus untuk SHE adalah Sim Ann, Menteri Senior Negara untuk Pembangunan Nasional, yang juga menjadi ketua bersama Sunlight AfA.

"Saya sangat berbesar hati dengan dukungan kuat dari begitu banyak simpatisan yang berbagi tujuan kami," kata Sim.

Demikian penegasan Sim yang juga menjabat Menteri Senior Negara untuk Luar Negeri.

Yuen menambahkan, pihaknya akan mencari proyek yang sejalan dengan misi pemerintah untuk mencari hibah yang tersedia.

SHE berharap untuk melibatkan sektor publik dan swasta dalam kolaborasi mereka.

Sejak diluncurkan, SHE bertujuan memberikan bimbingan kepada para korban dan mendidik individu.

Ini khususnya bagi kaum muda, untuk melindungi mereka dari bahaya online.

Trauma yang dialami di usia muda dapat berlanjut ke bagian kehidupan selanjutnya.

"Itulah sebabnya SHE akan fokus mendidik orang yang lebih muda," ujar Yuen..

Pada saat yang sama, SHE berharap untuk meluncurkan dialog serta jajak pendapat dan survei.

Tujuannya, mengumpulkan lebih banyak masukan dari berbagai kelompok usia dan sektor kehidupan terkait isu-isu relevan yang perlu ditangani.

Sementara itu, Profesor Lim Sun Sun menjelaskan tentang penelitian bahaya online yang dilakukannya selama setahun.

Menurut Lim, masih banyak yang perlu diselidiki, seperti apakah pelaku menyadari bahwa mereka mungkin melanggar hukum.

Juga penyelidikan terkait norma online apa yang mendorong orang untuk melakukan tindakan tersebut.

Pendapat senada datang dari Josephine Teo, Menteri Komunikasi dan Informasi Singapura.

Menurutnya, survei online dilakukan AfA pada Januari 2022.

Ditemukan, hampir setengah dari lebih 1.000 warga Singapura yang disurvei secara pribadi mengalami bahaya online.

Sebagian besar dari yang disurvei berusia 15 sampai 35 tahun.


Selain itu, teknologi adalah topik lain yang diangkat oleh Yuen.

Menurutnya, badan amal tersebut bekerja sama dengan berbagai instansi pemerintah.

Kerja sama ini terkait kemungkinan menggunakan teknologi untuk membantu mengidentifikasi gambar atau video asli.

Gambar atau video itu kemungkinan telah diposting di suatu tempat, tanpa sepengetahuan korban.***

Editor: Slamet Bowo SBS

Sumber: Today Online Berbagai Sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah