MEMILUKAN! Penjara Korsel Dipadati Orang Miskin yang 'Ngemplang' Biaya Rumah Sakit

- 5 Agustus 2022, 17:05 WIB
Ilustrasi penjara
Ilustrasi penjara /Pixabay/


KALBAR TERKINI - Kasus-kasus kejahatan kecil akibat kelaparan atau tanpa uang terus terjadi di Korea Selatan (Korsel).

Kasus-kasus ini didominasi orang miskin yang melarikan diri dari rumah sakit karena tak mampu membayar layanan kesehatan.

Karena itulah Kejaksaan Agung Korea Selatan (SPO) pada Selasa, 2 Agustus 2022 mengumumkan berlakunya revisi manual atas undang-undang hukum pidana.

Baca Juga: Profil Yoon Suk Yeol, Presiden Korea Selatan Terpilih Periode 2022-2027

Dilansir Kalbar-Terkini.com dari The Korea Times, revisi ini juga dapat memberikan celah pembelaan bagi orang miskin yang terlibat delik pidana.

Revisi ini merupakan kemajuan dalam sistem hukum pidana di Korsel.

Ini mengingat sistem hukum di Korsel selama ini tidak menyisihkan apa pun untuk penjahat kecil, tanpa uang tunai sebagai jaminan sehingga memicu tuntutan untuk merevisi undang-undang.

Revisi ini memungkinkan kaum miskin untuk lebih banyak mendapatkan pilihan hukum untuk menghindari pidana penjara.

Baca Juga: Rusia Buka Kembali Beryozka, Toko Bebas Bea Legendaris dari Era Soviet

Selama ini, ironisnya, warga non-miskin yang melakukan kejahatan berat, bahkan untuk pertama kalinya, sering menerima hukuman penjara yang ditangguhkan.

Kalangan ini hanya dikenai denda, yang merupakan bentuk hukuman yang lebih ringan daripada masuk penjara, jika mereka tidak dapat membayar denda.

Pihak SPO sendiri mengakui bahwa tidak manusiawi mengirim terdakwa miskin dengan denda yang belum dibayar ke penjara

Dari waktu ke waktu, ada saja pasien rumah sakit yang dituduh mencuri layanan, karena mencoba melarikan diri tanpa membayar perawatan.

Dalam banyak kasus, mereka menghindari pembayaran karena tidak punya uang untuk menutupi biaya pengobatan.

Ketika kasus-kasus seperti ini dibawa ke pengadilan, mereka yang masih tidak mampu membayar kompensasi dan denda, biasanya dijatuhi hukuman penjara.

Ada juga yang menawarkan diri untuk menjadi penjamin bagi seseorang karena alasan pribadi.

Tetapi setelah pihak terakhir melanggar kontrak dan menghilang, penjamin bertanggung jawab atas hukuman pelanggar sebagai gantinya.

Di antara mereka yang tidak memiliki sarana untuk membayar hukuman seperti itu, beberapa tidak di antaranya tak memiliki pilihan lain selain menjalani hukuman penjara.

Tahanan yang tidak beruntung ini, jika mereka hanya memiliki beberapa juta won, dapat menghindari dimasukkan ke balik jeruji besi.

Keputusan yang menggembirakan bagi para terdakwa miskin dan pendukungnya, datang pada Selasa lalu dari SPO.

Dalam revisi manualnya,otoritas kejaksaan tinggi negara itu menyatakan, kalangan ini mulai sekarang dapat dipekerjakan untuk layanan masyarakat, alih-alih menjalani hukuman penjara.

Cakupan dari revisi hukum pidana ini adalah untuk kalangan miskin, atau berada dalam kelompok sosial rentan, yang tidak dapat membayar denda.

Juga bagi yang pernah dipenjara, terisolasi dari dukungan keluarga, dan dari cara untuk mendapatkan penghasilan, serta menderita kerugian karena diakui sebagai mantan narapidana oleh masyarakat.

"Sekitar 93 persen dari mereka yang saat ini menjalani hukuman penjara, tidak dapat menangani denda sebesar lima juta won (3.800 dolar AS) atau kurang," kata seorang pejabat SPO.

"Sekitar 60 persen dari mereka bahkan tidak bisa membayar denda satu juta won atau kurang," lanjutnya.

Korelasi antara kesulitan keuangan dan pemenjaraan, semakin mencolok selama pandemi COVID-19 sejak 2020.

Karena kesulitan ekonomi telah mendorong lebih banyak orang ke dalam kesulitan, maka semakin banyak yang didakwa melakukan kejahatan kecil.

Mereka memilih menjalani hukuman penjara ketimbang membayar denda.

Jumlah kasus denda yang belum dibayar senilai lima juta won atau kurang adalah 138.000 pada 2019.

Angka tersebut meningkat menjadi 142.000 pada 2020, dan 199.000 pada 2021.

Dengan peningkatan ini juga muncul peningkatan risiko kesehatan di lembaga pemasyarakatan.

Masuknya narapidana tidak hanya meningkatkan kepadatan penduduk di dalam sel, tetapi penjara menjadi sarang infeksi COVID-19.

Fokus penyesuaian terbaru SPO terhadap buku aturan mereka, adalah mengalihkan lebih banyak terdakwa untuk melakukan pengabdian masyarakat di luar penjara.

Di antara mereka yang tidak dapat membayar denda sebesar lima juta won atau kurang, otoritas sejauh ini hanya mengizinkan mereka yang berpenghasilan kurang dari 50 persen.

Aturan baru ini telah meningkatkan batas atas hingga 70 persen dari pendapatan rata-rata negara.

Itu berarti manfaatnya meluas kepada mereka yang berasal dari rumah tangga beranggota empat orang, yang berpenghasilan bulanan 3,58 juta won atau kurang, bukannya 2,56 juta won.

Selain pendapatan bulanan, otoritas telah memutuskan untuk melihat kondisi keuangan individu tertentu, sebagai kategori lain untuk memungkinkan alternatif pelayanan masyarakat.

Pengurangan pendapatan karena situasi pandemi bisa menjadi salah satu alasan yang dapat diterima, menurut otoritas.

Jenis pekerjaan yang termasuk dalam pengabdian masyarakat juga telah diperluas.

Sekarang ini sudah termasuk pekerjaan untuk mendukung komunitas pertanian dan nelayan, rumah tangga satu orang, serta memperbaiki kondisi daerah pemukiman.

Otoritas juga telah memutuskan untuk melihat lebih dekat kemampuan keuangan para terdakwa yang dikenai denda.

Juga akan dilihat apakah mereka dapat melakukan pembayaran dengan mencicil, atau lebih lambat dari tenggat waktu yang ditetapkan sebelumnya.

Tujuannya adalah untuk menempatkan sesedikit mungkin penjahat kecil di balik jeruji besi.

Bertahun-tahun sebelum SPO mengumumkan penyesuaian peraturan terbaru, ada seorang pria yang sudah memperhatikan masalah yang sama.

Pria ini adalah Hong Se-hwa, yang membantu siapa saja yang membutuhkan pinjaman lewat Bank Jean Valjean, yang didirikannya pada 2015 di Distrik Yongsan, Seoul.

Hong meminjamkan uang kepada orang-orang yang tidak mampu membayar denda. Pinjaman dari lembaga filantropi ini, 100 persen dari para donatur.

Hampir 1.000 telah menerima pinjaman senilai lebih dari 1,6 miliar won dari bank ini.

Orang-orang ini, sama dengan karakter fiksi abadi dari 'Les Miserables' karya Victor Hugo.

Diceritakan tentang seseorang yang tanpa uang harus kelaparan sheingga mencuri sepotong roti kemudian dipenjara selama 19 tahun.

Denda sebagai hukuman mungkin tindakan hukum yang dibenarkan, tetapi bagi mereka yang terlalu miskin untuk membayarnya, itu bisa menjadi tidak adil.

Hingga Maret 2021, pendonor ke bank tersebut telah mencapai 9.900 orang.

Hampir 180 klien telah membayar kembali pinjaman mereka secara penuh dan sekitar 500 telah membayar kembali sebagian.

"Pada 2009, ada 43.199 tahanan di Korea yang dipenjara karena ketidakmampuan membayar denda," kata Hong.

"Saya terkejut. Hal itu akhirnya mendorong saya untuk mendirikan bank," jelasnya.

Hong pada 2013 mulai memprotes ke Majelis Nasional agar undang-undang yang ada harus direvisi untuk penjahat kecil yang tidak memiliki kemampuan untuk membayar denda.

Bank hanya menerima permintaan pinjaman melalui email.

Biasanya, pinjaman hanya 15 sampai 20 persen dari permintaan yang membanjir setelah mengevaluasi alasan mereka membutuhkan uang.

Peminjaman diberikan sebanyak tiga juta won per orang. Aturan pembayaran pinjaman sederhana: harus dibayar dalam 12 bulan, dengan masa tenggang enam bulan.

"Kami tidak meminjamkan kepada pelanggar seks atau penjahat keji," kata Hong.

"Sebagian besar klien kami didenda karena tuduhan penyerangan sederhana atau karena upaya putus asa untuk bertahan hidup," tambahnya.

Hong berpendapat, denda harus proporsional dengan kekayaan seseorang daripada mengenakan denda yang sama pada semua orang.

Dia menyebutkan bahwa sistem seperti itu saat ini dipraktikkan di banyak negara Eropa.

"Seorang wakil ketua di Nokia didenda senilai 150 juta won, dan pemain sepak bola Jerman Michael Ballack membayar 10.000 euro karena ngebut," kata Hong.

"Contoh-contoh ini mencerminkan pepatah terkenal yang juga merupakan moto saya: 'Mereka yang memiliki banyak uang harus memikul tanggung jawab yang adil'," katanya.***

Sumber: The Korea Times

Editor: Arthurio Oktavianus Arthadiputra

Sumber: The Korea Times


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x