Impor Gandum Ukraina Macet, Afrika Dibayangi Kerusuhan Sosial!

- 6 Juli 2022, 14:24 WIB
Bencana  Kelaparan di Somalia dan Sudan Selatan meningkat berdasarkan laporan FAO. Kini somalia miliki presiden
Bencana Kelaparan di Somalia dan Sudan Selatan meningkat berdasarkan laporan FAO. Kini somalia miliki presiden /Pixabay

KALBAR TERKINI - Kerusuhan sosial membayangi negara-negara kecil di Afrika menyusul masih tersendatnya impor gandum Ukraina akibat parahnya peperangan melawan Rusia sejak 24 Februari 2022.

Kendati begitu, negara-negara tersebut, semisal Tunisia, tak mau menyerah untuk begitu saja mati kelaparan.

Sebab selama badan masih sehat, maka tak ada yang mustahil termasuk untuk mencari makan.

Mondher Mathali (65), seorang petani di Tunisia, misalnya, menyalakan kembali mesin pemanen gandum tuanya.

Baca Juga: Tanduk Afrika Dilanda Kelaparan akibat Keringan: Banyak Anak Tewas

Mesin produksi tahun 1976 ini bersuara keras bagai gemuruh binatang buas.

Sejak perang Ukraina, dilansir Kalbar-Terkini.com dari Africanews, Selasa, 5 Juli 2022, harga sereal global melonjak.

Tunisia, yang pada masa lalu adakah pemasok utama gandum untuk Kekeisaran Romawi, bergantung dari impor gandum.

Itu sebabnya Tunusia terpaksa mengumumkan supaya para petaninya menanam semua gandum durumnya sendiri, bahan dasar untuk makanan pokok lokal, seperti couscous dan pasta.

Baca Juga: Moh Salah Hanya Bisa Nonton Piala Dunia 2022, Zona Afrika Loloskan Lima Negara, Berikut Daftarnya

Seperti negara-negara tetangganya, Tunusia juga sangat ingin mencegah kerusuhan sosial akibat kekurangan pangan.

Hanya saja, bagi para petani di dataran utara Tunisia yang selalu terpanggang matahari, upaya itu pun bermasalah.

“Saya ingin sekali membeli mesin pemanen baru, tetapi saya hanya bisa melakukannya dengan bantuan pemerintah,” kata Mathali.

Mesinnya yang sudah ketinggalan zaman hanya mampu menghabiskan hampir sepertiga dari hasil panen.

Baca Juga: Hasil Senegal vs Mesir: Harapan Mo Salah Pupus di Tangan Juara Afrika , Kamerun Berpengalaman ke Putaran Final

Dengan suku cadang yang sulit ditemukan, Mathali khawatir kerusakan mesin bisa terjadi kapan saja.

Perbaikannya, jika rusak, akan lebih mahal dibandingkan haisl dari panen gandum. Penggantian barang bekas saja akan menghabiskan biaya yang tak terbayangkan: 150.000 dolar AS.

“Produksi (gandum) kita bahkan kualitasnya akan naik mungkin 50 persen, bahkan 90 persen dengan bantuan pemerintah," katanya.

"Tapi situasi kami semakin buruk dan negara tidak membantu kami," keluhnya.

Produksi gandum Tunisia mengalami kekeringan selama bertahun-tahun serta satu dekade ketidakstabilan politik, dengan 10 pemerintah sejak terjadinya revolusi pada 2011.

Itu telah memperburuk ketergantungannya pada impor. Pada 2021, Tunisia membeli hampir dua pertiga serealnya dari luar negeri, sebagian besar dari wilayah Laut Hitam.

Rantai pasokan itu pertama-tama diguncang oleh pandemi virus corona kemudian oleh perang di Ukraina, yang pada 2021 mempasok sekitar setengah dari total impor gandum lunak Tunisia yang digunakan dalam roti.

Meski masih berencana mengimpor gandum lunak, Tunisia telah mendorong swasembada gandum durum pada 2023.

Itu akan menjadi kontribusi yang berharga untuk pola makan nasional: rata-rata orang Tunisia makan 17 kilogram pasta per tahun, kedua setelah orang Italia.

Pada April 2022, pemerintah meluncurkan program untuk membantu petani mengakses benih yang lebih baik, bantuan teknis dan pinjaman, yang didukung negara.

Tunisia juga berencana untuk mencurahkan 30 persen lebih banyak lahan pertanian untuk gandum, dan secara dramatis telah meningkatkan harga yang harus dibayar petani.

Kepala Staf Kementerian Pertanian Faten Khamassi, mengakui bahwa Tunisia memiliki sekitar 3.000 pemanen gabungan, 80 persen di antaranya sudah tua dan sangat boros, yang merupakan kerugian besar.

Menurutnya, negara berencana untuk mendanai kolektif petani untuk membeli peralatan bersama.

Teknisi pertanian, Saida Beldi, yang telah bekerja dengan petani di Provinsi Ariana Utara selama tiga dekade, menyatakan bahwa ketidakstabilan politik telah memusnahkan sektor ini.

"Setiap menteri baru memberlakukan kebijakan yang lain, dan kebijakan itu terus berubah, tanpa adanya kesinambungan," ujarnya.

Menurut Beldi, banyak petani berjuang untuk mendapatkan pupuk bersubsidi negara yang diperdagangkan di pasar gelap dengan harga yang melambung.

Khamassi menyatakan bahwa Tunisia menghadapi dilema lain: "Mengembangkan produksi sereal untuk mencapai swasembada, atau mengembangkan tanaman lain seperti stroberi dan tomat untuk ekspor? Kita harus memilih."

Organisasi internasional telah lama mendorong negara-negara miskin untuk fokus pada tanaman komersial tertentu untuk ekspor, ketimbang menanam kebutuhan pokok.

Sebuah laporan Bank Dunia 2014 berpendapat bahwa Tunisia tidak memiliki keunggulan komparatif yang kuat dalam sereal, dan sebaliknya harus fokus pada tanaman 'padat karya' karena tenaga kerja yang murah.

Tetapi pada Juni 2022, Tunisia , mengumumkan pinjaman 130 juta dolar AS untuk impor sereal darurat.

Menurut pemberi pinjaman, pihaknya memberikan insentif untuk meningkatkan produksi biji-bijian domestik secara berkelanjutan sekaligus memotong ketergantungan impor.

Saat ini, menurut Khamassi, keunggulan komparatif tidak lagi releva. "Kita perlu kembali ke kebijakan yang lebih mandiri, produksi lokal," katanya.***

Sumber: Africanews

Editor: Arthurio Oktavianus Arthadiputra

Sumber: AfricaNews


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah