Australia Ancam Keamanan Indonesia, De Haan: Terkait Dukungan Kemerdekaan Papua Barat!

- 6 Maret 2022, 23:37 WIB
  Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka atau TPNPB-OPM 
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka atau TPNPB-OPM  /KALBAR TERKINI/OKTAVIANUS CORNELIS


KALBAR TERKINI - Militer Australia bisa menjadi ancaman keamanan Indonesia untuk jangka panjang selain dampak perang dingin antara AS dan Tiongkok ke ASEAN.

Sebagian besar masalah keamanan Indonesia saat ini tidak berasal dari konflik geopolitik. Melainkan dari sumber tradisional, berupa ketidakstabilan internal akibat terorisme, separatisme, konflik etnis, dan agama.

Namun, masalah tersebut dalam jangka panjang, bisa berubah, tulis Jarryd de Haan dalam makalahnya berjudul Stabilitas Australia dan ASEAN.

Baca Juga: Toyota Indonesia Ekspor Fortuner ke Australia, Jokowi: Bukti SDM Indonesia Memiliki Kualitas yang Baik

Makalah ini kemudian diterbitkan berjudul Ancaman Keamanan Eksternal Jangka Panjang Indonesia oleh Future Directions International (FDI), suatu lembaga penelitian strategis independen internasional yang berbasis di Australia.

Dilansir Kalbar-Terkini.com dari laman FDI, 25 Juni 2019, makalah dari analisa riset untuk Program Penelitian Samudra Hindia dari de Haan ini, adalah bagian kedua dari seri bertopik sama.

Analisa ini telah melihat beberapa kemungkinan dari pespektif kekhawatiran Indonesia terkait ancaman keamanannya, yang kemungkinan timbul dalam jangka panjang di masa depan.

Baca Juga: Kepala BIN Papua Abdul Haris Napoleon Meninggal Dunia Akibat Serangan Jantung, Berikut Profil Lengkapnya

Mengenai ancaman dari Australia, diakui bahwa meskipun tampaknya tidak mungkin dari sudut pandang Canberra, tapi potensi kekhawatiran itu tetap ada.

Kekhawatiran itu terutama berasal dari kecurigaan terkait tujuan strategis Australia di kawasan itu.

Canberra menentang Jakarta di masa lalu, meskipun enggan mendukung kemerdekaan Timor Timur, kini menjadi negara Timor Leste.

Pun terkait pembentukan Malaysia selama Konfrontasi Indonesia-Malaysia, yang melihat konflik terbatas antara Australia dan pasukan Indonesia.

Baca Juga: Dari Provinsi Madura, Kapuas Raya hingga Papua Barat Daya, Berikut Catatan Lengkap Usulan Pemekaran Wilayah


Di antara beberapa pejabat Indonesia, tindakan masa lalu itu telah membenarkan kecurigaan tentang Australia.

Salah satu pejabat ini adalah mantan komandan
Tentara Nasional Indonesia (TNI), Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo.

Pada 2015, Gatot mendadak naik daun di dunia internasional lewat peringatannya, yang sering tentang perang proksi melawan Indonesia.

Gatot ketika itu menyatakan di hadapan para mahasiswa bahwa kemerdekaan Timor Timur merupakan bagian perang proksi Australia.

Ini karena Australia diklaimnya berusaha mengamankan lapangan minyak Greater Sunrise milik Indonesia.

Menurut de Haan, tidak jelas seberapa jauh kecurigaan tersebut dapat menyebar di kalangan pejabat Indonesia, meskipun tampaknya tidak banyak yang berpandangan sekuat Gatot.

Juga misalnya pada 2016, ketika Mayjen TNI Yoedhi Swastano menyatakan kepada Menteri Pertahanan Australia Marise Payne, bahwa Indonesia dan Australia bersahabat.

"Tapi, kita harus bersaudara… Jadi bagi kita Australia bukan ancaman. Kami tidak memiliki masalah besar. Ada beberapa yang kecil [yang] cukup normal terjadi
antara dua negara tetangga'," katanya.

Hanya saja, menurut de Haan, dalam konteks saat ini terdapat beberapa tekanan geostrategi, yang akan mengobarkan kecurigaan tentang ambisi strategis Australia.


Namun, setelah pertemuannya dengan Payne, Swastano menambahkan: 'Tentu saja
kami bertanya apa sikap politik mereka, terutama di Papua… Anda lihat kami memiliki sedikit
masalah di Papua.’

Sementara itu, jurnalis foto asal Vanuatu
Ben Bohane dalam tulisannya di Journal of Political Risk, menguraikan lebih lanjut tentang masalah itu.

Bohane menulis itu dengan alasan bahwa dengan mengikuti tindakan Australia di Timor Lorosa'e, maka 'tidak akan pernah ada jaminan Australia atas kedaulatan Indonesia',

Sebagaimana dicatat dalam Makalah Analisis Strategis FDI sebelumnya separatisme telah menjadi keamanan utama perhatian pemerintah dalam sejarahnya yang relatif singkat.

Menurut de Haan, Pemerintah Indonesia pernah enggan untuk memberikan kemerdekaan Timor Lorosa'e.

Hal ini karena Indonesia takut bahwa hal itu dapat menginspirasi pemisahan diri wilayah lainnya, terutama pergerakan di daerah kaya sumber daya alam, seperti Aceh, Riau dan Papua Barat.

Selagi ancaman separatisme di provinsi-provinsi itu jauh lebih rendah dibandingkan sebelumnya, gerakan-gerakan itu untuk sementara masih merupakan masalah keamanan jangka panjang.

Hal ini terutama berlaku untuk Papua Barat. Gerakan separatisme itu telah menumbuhkan perhatian internasional untuk mendorong kemerdekaan dan kepedulian terhadap hak asasi manusia.

Selain itu, menurut de Haan, tidak seperti daerah lain di Indonesia, populasi penduduk Papua Barat adalah 83 persen beragama Kristen sehingga menjadi minoritas agama di Indonesia.

"Karena alasan itu, kemerdekaan Papua Barat jauh lebih mungkin untuk menerima dukungan internasional
dari negara-negara Barat seperti Australia daripada Aceh," kata de Haan.

Beda dengan Papua Barat, Aceh sering dikritik oleh media Barat terkait kebijakannya yang diskriminatif, dan pelanggaran hak asasi manusia karena melibatkan penerapan undang-undang syariah.


"Namun, angat tidak mungkin bahwa Australia akan menunjukkan dukungan eksplisit untuk kemedekaaan Papua Barat dalam beberapa waktu ke depan," katanya.

Pendekatan Pemerintah Australia, sejauh ini, sengaja mengecilkan kekhawatiran seputar Papua Barat, demi menghormati kedaulatan Indonesia, dan menjaga hubungan bilateral kedua negara.

"Sikap Australia itu, tidak mungkin berubah setiap saat apalagi segera. Kecuali ada manfaat strategis bagi Australia jika mendukung kemerdekaan Papua Barat," lanjut de Haan.


Tekanan Eksternal terhadap Stabilitas ASEAN
Stabilitas negara-negara yang tergabung dalam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), juga tetap menjadi prioritas bagi Indonesia.

Hal ini karena jika kelompok tersebut pecah, maka ini dapat meningkatkan risiko konflik dalam jangka panjang.

ASEAN sendiri sering dikritik karena kebijakan non-intervensinya terkait urusan internal negara-negara anggotanya.

Beberapa ahli telah menyarankan bahwa keberadaan ASEAN selama ini telah memberikan kontribusi penting bagi keamanan regional dan selalu mendiskusikan setiap tantangan bersama.


Menurut Murray Hiebert, penasihat senior dan wakil
direktur Program Asia Tenggara di Center for Strategic di Washington, AS, berbicara dan membangun hubungan adalah setengah dari tantangan untuk
memecahkan masalah.

Tanpa lingkungan itu, kesalahpahaman antara negara-negara ASEAN berpeluang lebih besar untuk menciptakan gesekan regional.

Beberapa faktor dapat menyebabkan pembubaran ASEAN, antara lain, akibat meningkatnya ketegangan geopolitik antara China dan AS.

Menurut Hiebert, upaya Washington dan Beijing untuk mencari pengaruh di kawasan itu, bisa menabur perpecahan di antara negara-negara anggota ASEAN.

Upaya berkelanjutan China untuk mengklaim sebagian besar wilayah Laut China Selatan (LCS) melalui pembangunan pulau-pulau buatan, juga memperparah perpecahan tersebut.

Meskipun fakta bahwa tindakan China menjadi perhatian besar bagi banyak negara ASEAN, ASEAN n belum mengadopsi sikap terpadu tentang masalah ini, dan kecil kemungkinan akan melakukannya.

"Dalam jangka panjang, mungkin ada kepentingan beberapa kekuatan besar untuk memanfaatkan perpecahan ASEAN," urai de Haan.

"Masalahnya, akan lebih mudah memberikan pengaruh melalui hubungan bilateral daripada melalui badan multilateral," lanjutnya.

Beberapa analis telah menuduh China menggunakan taktik semacam itu, sebagaimana diakui oleh Daniel O'Neil, profesor di Universitas Yale, AS.

O'Neil menulis bahwa ketika kekuatan Tiongkok jauh lebih besar dibandingkan setiap penuntut saingan tunggal, maka ASEAN berdiri sebagai lembaga multilateral.

Meskipun terdiri dari negara-negara lemah, namun kekuatan ini dapat diseimbangkan untuk melawan kekuatan relatif China lewat negosiasi.

Karena itu, China disebut berusaha mencari strategi untuk membagi, dan menaklukkan negara-negara anggota ASEAN.

Hal ini untuk mencegah ASEAN bertindak secara kolektif tentang masalah ini melalui forum multilateral tersebut.

Upaya China ini diklaim untuk mencegah konsensus di antara negara-negara anggota ASEAN.

Jika ASEAN tumbuh secara signifikan dan menghalangi kepentingan regional China, Presiden China Xi Jinping kemungkinan akan menggunakan strategi yang mirip dengan yang terlihat dalam perjalanannya baru-baru ini ke Eropa.

Pada April 2019, Jinping melakukan perjalanan pulang pergi ke berbagai negara di Uni Eropa (UE), dan menandatangani kontrak multi-miliar dolar dengan Italia dan Prancis.

FDI sebelumnya mencatat, perjalanan itu merupakan kesuksesan luar biasa bagi Jinping, yang berhasil 'bermain' di balik gesekan antara negara-negara anggota UE.

Manuver Presiden Tiongkok ini semakin memecah UE, dan membuat China menjadi lebih berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan di Eropa.


Disebut demikian, karena UE dan ASEAN adalah organisasi yang sangat berbeda. Filosofi UE adalah menjadi organisasi yang lebih terintegrasi kuat.

Sedangkan ASEAN, tetap longgar, dan mengalami institusionalisasi yang lemah.

Perbedaan itu mungkin menguntungkan ASEAN. ASEAN, bagaimanapun, lebih lunak, dan bisa lebih baik menahan kekuatan-kekuatan itu.

Dylan Loh Ming Hui, penulis dan kandidat PhD di University of Cambridge, memperluas poin itu.

Hui mencatat, kelonggaran ASEAN 'mampu' membuatnya menjadi pemimpin di Asia Tenggara yang sebagian besar adalah negara demokratis yang tidak liberal.


Tekanan Internal terhadap Stabilitas ASEAN
Sementara longgarnya ASEAN juga dapat berarti bahwa ASEAN dapat bertahan dari periode kecurigaan dan ketidakpercayaan.

Tapi, itu juga membuat kecurigaan tersebut menjadi sulit untuk diatasi.

"Untuk alasan ini, sepertinya tidak mungkin bahwa anggota ASEAN akan berintegrasi lebih erat di masa depan," kata de Haan.

Sebagaimana dicatat oleh Mathew Davies,
Kepala Departemen Hubungan Internasional di Universitas Nasional Australia College of Asia, ASEAN didominasi oleh ritual, dan simbol persatuan yang tumpang tindih.

"Jadi di masa depan untuk jangka panjang, ASEAN dapat bertahan untuk sementara. Kemungkinan kecurigaan, juga akan bertahan, dan anggotanya juga akan tetap stagnan, atau hanyut lebih jauh," lanjutnya.


Haya saja, kecurigaan tersebut dapat menimbulkan masalah dalam konteks ketegangan di LCS.

Negara-negara ASEAN, misalnya, mulai memberikan penekanan yang lebih besar ke pertahanan maritim, dan peningkatan kapasitas angkatan laut mereka.


Ada perubahan dramatis dari prioritas tersebut dibandingkan sepuluh tahun silam, ketika ancaman (yang diperkirakan dihadapi oleh sebagian besar negara Asia Tenggara) itu, terutama datang dari aktor non-negara.

Meningkatkan kapasitas angkatan laut melalui perolehan kapal perang bahkan kapal selam, tidak relevan dengan ancaman akut yang dihadapi oleh negara-negara tersebut untuk saat ini.

"Dalam jangka panjang, bagaimanapun, dengan potensi pergeseran kekuatan ke arah Asia-Pasifik yang lebih besar, maka kapasitas angkatan laut akan menjadi lebih menonjol," kata de Haan.

Sementara kapasitas angkatan laut yang lebih besar. dapat berarti lebih banyak keamanan, maka itu juga bisa menimbulkan gesekan regional.

Ini terutama jika negara-negara Asia Tenggara
membangun kapasitas angkatan laut dengan maksud untuk menandingi atau saling bersaing.

Sejauh ini, hanya empat dari 11 angkatan laut di Asia Tenggara yang mengoperasikan kapal selam.

Seperti dicatat dalam Analisis Mingguan Strategis sebelumnya, kapal selam yang digunakan untuk operasi, memiliki potensi untuk memperkuat kecurigaan antara tetangga.

Hal ini juga bisa membahayakan resolusi damai untuk negosiasi perbatasan.

Unsur lokal yang dapat menambah ancaman perpecahan ini adalah kecenderungan pergeseran sikap masyarakat menuju isolasionisme.

Brexit dan 'America First' adalah dua contoh kebijakan isolasionis luar negeri baru-baru ini, yang didorong oleh publik yang terlibat dalam propaganda memecah belah dan informasi yang salah.

Jika sikap-sikap tersebut diadopsi di negara-negara ASEAN, maka dapat membawa dampak yang mendalam di negara-negara ini.

Presiden Dewan Hubungan Luar Negeri Richard N Haas mencatat, politik luar negeri dimulai dari dalam negeri.

Indonesia telah terbukti menjadi sangat rentan terhadap berita palsu dan kampanye informasi yang salah dalam beberapa tahun terakhir.

Kampanye-kampanye tersebut, yang sering dimanfaatkan dan didorong oleh kelompok-kelompok politik.

Semua ini telah berperan dalam sejumlah penangkapan, terutama terhadap Gubernur DKI Jakarta, Basuki 'Ahok; Cahya Purnama pada 2017.


Dalam lingkungan seperti itu, aktor politik mungkin lebih mampu mendorong agenda isolasionis.

Akhirnya, jika perpecahan tumbuh di ASEAN, maka batas wilayah dan sengketa perbatasan, dapat menjadi katalis ketidakstabilan regional.

"Ini belum termasuk sengketa teritorial yang melibatkan China," kata de Haan.

Menurut de Haan, ada sebelas sengketa yang sedang berlangsung antara sesama anggota ASEAN. Misalnya, sengketa antara Kamboja-Thailand terkait perbatasan.

Sengketa itu memanas pada 2011 menyusul terjadinya beberapa bentrokan antara pasukan kedua negara di dua sisi tapal batas.


Sementara insiden itu mungkin menjadi perhatian bagi anggota ASEAN, telah ada kemajuan signifikan terkait resolusi damai, dan sedikit, jika ada, dan juga dampak jangka panjangnya terkait stabilitas kawasan.

"Dalam konteks saat ini, tidak mungkin terjadi perselisihan serupa antara anggota ASEAN akan meningkat melampaui apa yang terlihat antara Kamboja dan Thailand," lanjut de Haan.

Ditambahkan, jika perpecahan tumbuh di antara sesama anggota ASEAN karena faktor lain, bagaimanapun, itu akan jauh lebih sulit diibandingkan untuk menyelesaikan sengketa perbatasan.

Ini terutama jika ASEAN tidak memiliki kemauan untuk mengambil tindakan pencegahan sehingga konfrontasi perbatasan berpotensi menjadi lebih berbahaya.


Menurut de Haan, kesimpulan tentang ancaman-ancaman dari makalahnya itu, diharapkan dapat membantu Indonesia untuk memainkan peran penting dalam mengarahkan kebijakan luar negerinya.

"Juga dapat membantu menjelaskan terkait pentingnya kemungkinan keputusan masa depan Pemerintah Indonesia. Misalnya, mengurangi peran China dalam ekonominya Indonesia," saran de Hann.***

 

Editor: Slamet Bowo Santoso

Sumber: futuredirections.org.au


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah