Félicien Kabuga, Jutawan Rwanda Pembantai 800 Ribu Tutsi Diseret ke Pengadilan PBB

20 Agustus 2022, 00:25 WIB
RWANDA Temukan Kuburan Genosida yang Tampung 30.000 Mayat.* /Independent/

KALBAR TERKINI - Félicien Kabuga (87), pemodal genosida 800 jiwa warga Suku Tutsi pada 1994 di Rwanda segera diadili pada 29 September 2022 di Den Haag, Belanda.

Inilah setidaknya satu di antara segelintir manusia jahanam di antara paling jahanam di jagat ini, yang akan menghadapi tujuh tuntutan pidana selain genosida.

Hanya saja, genosisa ini disebut-sebut melibatkan AS, Belgia, Prancis, dan Inggris, dna juga Sekjen PBB ketika itu, Kofi Annan, yang ironisnya telah mendapatkan Nobel Perdamaian.

Kabuga terkenal karena perannya sebagai pemodal utama genosida, yang nota bene terjadi di depan hidung 2.500 persoel Pasukan Perdamaian PBB.

Baca Juga: ASTAGANAGA! Pengungsi Ilegal Ukraina di Inggris Dideportasi ke Rwanda: Negeri Berdarah yang Banyak Gorila!

Kabuga juga memiliki sejumlah media massa yang menjhadi corong kaum ekstremis Suku Hutu, seperti stasiun radio RTLM, dan majalah Kangura.

Dua media ini, dilansir Kalbar-Terkini.com dari Wikipedia, juga menganjurkan pembunuhan terhadap minoritas Tutsi.

Kabuga juga membantu mendanai impor massal 500.000 bilah parang dalam persiapan untuk genosida antara Januari 1993 hingga Maret 1994.

Pada tahun 2020, Kabuga ditangkap oleh Kepolisian Prancis di Paris dalam usia 87 tahun, setelah 26 tahun sebagai buronan.

Kabuga saat ini ditahan di cabang pengadilan Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda (IRMCT) di Den Haag.

Baca Juga: Sejarah 6 April 2021, Pembunuhan Presiden Rwanda dan Burundi Menandai Awal Genosida Rwanda

Koran Africa News melaporkan pada Kamis, 18 Agustus 2022, Kabuga sedang menunggu persidangan atas kejahatan terhadap kemanusiaan.

Pengadilan terhadap monster ini telah diumumkan oleh seorang hakim PBB pada Kamis ini.

"Sidang dilangsungkan di cabang Den Haag dengan pernyataan pembukaan dari 29 September ...dan deposisi pertama dari lima Oktober mendatang," kata Hakim Iain Bonomy.

Hakim dari Mekanisme Pengadilan Pidana Internasional (MTPI) ini bertugas untuk menyelesaikan pekerjaan di Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda (ICTR).

Kabuga pertama kali didakwa oleh mantan pengadilan PBB atas kejahatan perang di Rwanda pada November 1997.

Awalnya, Pengadilan Banding Prancis memutuskan bahwa Kabuga dipindahkan ke Arusha.

Kabuga telah menghindari penangkapan selama lebih dari dua dekade, tinggal di pinggiran Paris dengan nama palsu.

Dia akhirnya ditangkap di Paris, Ibukota Prancis pada Mei 2020.

Persidangan pria berusia delapan tahun itu awalnya diumumkan pada akhir tahun 2021, tetapi tidak berlaku.

Hal ini karena kesehatan mantan pengusaha, yang telah berselisih dengan pengacaranya selama lebih dari setahun, menjadi duri untuk segera menyeretnya ke pengadilan.

Lahir pada 1 Maret 1933, Kabuga memainkan peran utama dalam persiapan Genosida Tutsi di Rwanda.

Multijutawan ini terkait erat dengan partai nasionalis MRND dari diktator Juvénal Habyarimana dan Akazu, sebuah kelompok informal ekstremis Hutu yang membantu memimpin genosida Rwanda.

Masa muda
Kabuga lahir di Munig, di komune Mukarange, Prefektur Byumba, sekarang bernama Rwanda.

Kekayaannya berasal dari perkebunan teh di Rwanda utara, di antara usaha bisnis lainnya.

Pada 1993, dalam pada pertemuan penggalangan dana RTLM yang diselenggarakan oleh MRND, Kabuga diduga secara terbuka mendefinisikan tujuan RTLM sebagai pembelaan Kekuasaan Hutu.

Selama apa yang disebut 'percobaan media' ICTR, mantan presenter RTLM Georges Ruggiu menyebut Kabuga sebagai 'Ketua Direktur Henderal' dari stasiun radio tersebut.

Tugasnya, antara lain, 'memimpin' dan 'mewakili' RTLM.

Dari Januari 1993 hingga Maret 1994, total 500.000 parang diimpor ke Rwanda, secara statistik satu untuk setiap tiga orang Hutu dewasa di negara tersebut.

Pada 29 Agustus 1998, Jaksa Pengadilan Pidana Internasional PBB untuk Rwanda, Carla Del Ponte, mendakwa Kabuga.

Dalam dakwaan yang diubah tertanggal 1 Oktober 2004, Jaksa Hassan Jallow mendakwa Kabuga dengan tujuh delik pidana.

ketujuh dakwaan ini yakni konspirasi untuk melakukan genosida; genosida atau alternatifnya; dan keterlibatan dalam genosid/

Juga hasutan langsung dan publik untuk melakukan genosida, pemusnahan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kabuga melarikan diri dari Rwanda pada 1994 karena ditaklukkan oleh Front Patriotik Rwanda.

Dia pertama kali mencoba memasuki Swiss, tetapi diperintahkan untuk pergi.

Dia kemudian pergi ke Kinshasa di Republik Demokratik Kongo, kemudian diyakini tinggal di Nairobi, Kenya.

Pada September 1995, sebelum ada dakwaan dan sebelum disebut sebagai tersangka perencana genosida, Kabuga mendaftarkan dan menjalankan bisnis, Nshikabem Agency, di Nairobi.

Pada 2003, seorang jurnalis muda Kenya yang membantu agen AS dari Biro Investigasi Federal (FBI) untuk melacak Kabuga, dibunuh.

Dalam pidato yang diberikan pada 28 Agustus 2006 selama kunjungannya ke Kenya, Senator AS saat itu Barack Obama menuduh Kenya 'mengizinkan [Kabuga] membeli tempat yang aman'.

Pemerintah Kenya menyebut tuduhan itu penghinaan terhadap rakyat Kenya.

Menurut laporan pada Juni 2008 oleh seorang blogger berbasis Norwegia, yang menyebut dirinya African Press International (API), Kabuga bersembunyi di Oslo, dan kemungkinan berusaha untuk menyerahkan diri.

Pihak berwenang menolak klaim ini sebagai tipuan.

Departemen Luar Negeri AS menawarkan hadiah sebesar lima juta dolar AS untuk informasi yang mengarah pada penangkapan Kabuga.

Pada 14 Juni 2008, Jaringan Berita KTN Kenya melaporkan bahwa Kabuga telah ditangkap sehari sebelumnya, dan ditahan di Kantor Polisi Gigiri di Nairobi.

Kemudian tersangka ditemukan sebagai dosen universitas lokal, bukan Kabuga, dan dibebaskan.

Sebelumnya diduga bahwa Kabuga tinggal di Kenya, akan menjalankan bisnis, dan menikmati perlindungan baik dari Pemerintah Kenya atau beberapa tokoh berpengaruh di negara tersebut.

Pada 16 Mei 2020, polisi menangkap Kabuga di Asnières-sur-Seine, dekat Paris, Prancis.

Dia telah menghabiskan 26 tahun sebagai buronan.

Pihak berwenang Prancis menyatakan keinginan untuk melihatnya diadili atas kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan terhadap Tutsi dari Rwanda.

Dia ditangkap oleh polisi Prancis sebagai hasil penyelidikan bersama dengan Kantor Kejaksaan IRMCT, dibantu oleh Interpol, anggota International Bounty Hunter Union, dan lembaga penegak hukum di Rwanda, Belgia, dan AS.

Pada 27 Mei 2020, Kabuga membantah tuduhan tersebut, tetapi ditolak dengan jaminan.

Pada 3 Juni 2020, kemudian pada 30 September 2020, sistem peradilan Prancis menyetujui penyerahan Kabuga ke IRMCT.

Pada 26 Oktober 2020, Kabuga dipindahkan dari Prancis ke tahanan cabang IRMCT di Den Haag.

Dia mengklaim tidak bersalah.

Kabuga menikah dengan Josephine Mukazitoni dan memiliki 11 anak. Dua putrinya menikah dengan dua putra diktator Rwanda, Juvénal Habyarimana.

Genosida Rwanda adalah sebuah pembantaian 800.000 Suku Tutsi dan Hutu moderat oleh sekelompok ekstremis Hutu.

Dikenal sebagai Interahamwe, genosida ini terjadi dalam periode 100 hari pada 1994.

Rwanda sendiri adalah sebuah negeri berpenduduk 7,4 juta jiwa, dan merupakan negara terpadat di Afrika Tengah.

Peristiwa ini bermula pada 6 April 1994, ketika Presiden Rwanda Juvenal Habyarimana menjadi korban penembakan di dalam pesawat terbang.

Beberapa sumber menyebutkan bahwa Juvenal Habyarimana tengah berada di dalam sebuah helikopter pemberian Pemerintah Prancis.

Saat itu, Habyarimana dari etnis Hutu berada dalam satu heli dengan Presiden Burundi, Cyprien Ntarymira.

Mereka baru saja menghadiri pertemuan di Tanzania untuk membahas masalah Burundi.

Sebagian sumber menyebutkan pesawat yang digunakan bukanlah helikopter, melainkan pesawat jenis jet kecil Dassault Falcon 50.

Disinyalir, peristiwa penembakan keji itu dilakukan sebagai bentuk protes terhadap rencana Presiden Habyarimana untuk masa depan Rwanda.

Habyarimana berencana melakukan persatuan etnis di Rwanda, dan pembagian kekuasaan kepada etnis-etnis itu.

Rencana itu telah disusun setahun sebelumnya, seperti tertuang dalam Piagam Arusha (Arusha Accord) pada 1993.

Habyarimana menjadi Presiden Rwanda 1993. Sebelumnya, dia menempati posisi sebagai Menteri Pertahanan Rwanda.

Pada dekade 1990-an, Habyarimana merintis suatu pemerintahan yang melibatkan tiga etnis di Rwanda, yakni Hutu (85 persen), Tutsi (14 persen), dan Twa (satu persen).

Habyarimana mengangkat Perdana Menteri Agathe Uwilingiyama dari Tutsi.

Pengangkatan dari suku berbeda jenis ini jelas tidak diterima oleh kelompok militan yang ingin mempertahankan sistem pemerintahan satu suku.

Kekhawatiran sekaligus kekecewaan berlebihan inilah yang akhirnya memuncak menjadi tindak pembunuhan terhadap presiden sendiri.

Habyarimana akhirnya dibunuh bersama Presiden Burundi oleh kelompok militan penentangnya, ketika mereka berada di dalam pesawat (atau helikopter) pemberian Presiden Prancis, Francois Mitterand

Peristiwa tragis penembakan Presiden Habyarimana kontan mengakhiri masa dua tahun pemerintahannya.

Lebih mengerikan lagi, peristiwa ini memicu pembantaian etnis besar-besaran di Rwanda.

Hanya dalam beberapa jam setelah Habyarimana terbunuh, seluruh tempat di Rwanda langsung diblokade.

Pasukan khusus Pengawal Presiden dengan bantuan instruktur Prancis segera beraksi. Mereka bekerja sama dengan kelompok militan Rwanda, Interahamwe, dan Impuzamugambi.

Dimulai dari Ibu Kota Rwanda, ketiga kelompok bersenjata itu mulai membunuh siapa saja yang mendukung Piagam Arusha, tanpa memedulikan status dan sebagainya.

Perdana Menteri Rwanda yang berasal dari suku Tutsi tak lepas dari pembunuhan kelompok bersenjata.

Selain itu, masih ada nama-nama dari kalangan menteri, pastor, dan siapa saja yang mendukung maupun terlibat dalam negosiasi Piagam Arusha.

Sebagian besar korban digeletakkan begitu saja, dan tidak dimakamkan secara layak.

Paling umum saat itu hanyalah ditimbun dengan tanah sekadarnya. Pegunungan Gisozi disinyalir menjadi tempat pemakaman massal.

Di tempat ini diperkirakan terdapat 250.000 jasad warga tak berdosa korban konspirasi keji.

Disebutkan bahwa konspirasi, karena kemudian berkembang cerita bahwa kudeta ini dilakukan oleh pemimpin Front Patriotik Rwanda, RPF (Rwandan Patriotic Front), yakni Paul Kagame.

Usai pembunuhan massal, Kagame tampil sebagai Presiden mengantikan Habyarimana.

Dalam seratus hari pembantaian berbagai kalangan tercatat tidak kurang dari 800.000 jiwa, atau paling banyak sekitar satu juta jiwa etnis Tutsi menjadi korban pembantaian.

Kemudian setelah Kigali jatuh ke tangan oposisi RPF pada 4 Juli 1994, sekitar 300 mayat masih saja terlihat di alam terbuka di Kota Nyarubuye, berjarak 100 km dari Timur Kigali.

Korban yang jatuh di etnis lain (Twa dan Hutu) tidak diketahui, tetapi kemungkinan besar ada, walaupun tidak banyak jumlahnya.

Sayangnya, pembunuhan besar-besaran di Rwanda tidak mendapatkan perhatian besar dari dunia internasional khususnya Prancis, Inggris, dan AS.

Salah satu penyebab paling dominan adalah karena Rwanda tidak memiliki nilai kepentingan strategis di mata internasional.

Kenyataan ini sangat disayangkan oleh berbagai pihak.

Ketika konfrensi tentang pembantaian etnis dilaksanakan di Kigali pada 2004, disebutkan secara jelas bahwa forum menunjuk AS, Belgia, Prancis, dan Inggris berada di balik tragedi pembantaian.

Sekretaris Jendral PBB Kofi Annan, yang waktu lalu menjabat sebagai wakil komandan pasukan penjaga perdamaian di Rwanda, tak luput mendapat sorotan.

Terutama setelah dia mendapat Penghargaan Nobel untuk bidang perdamaian.

Juga disebutkan, veto dari Dewan Keamanan PBB yang akhirnya menurunkan jumlah pasukan penjaga perdamaian dari 2500 personel menjadi 450 personel, tidak mampu mengatasi masalah.

"Pihak luar gagal mencegah pembantaian selama 100 hari di Rwanda" kata Presiden Paul Kagame sebelum memimpin upacara mengheningkan cipta.***

Editor: Slamet Bowo SBS

Sumber: African News

Tags

Terkini

Terpopuler