Pilpres Timor Leste Digelar Kilat, Negara Terancam Bangkrut: Tokoh Tua yang 'Gagal' Tega Kembali Maju!

31 Januari 2022, 15:34 WIB
Presiden Partai PTT Tior Timur yang akan kembali maju pada Pilpres mendatang /Istimewa/Dok Pribadi

KALBAR TERKINI - Kembali majunya Presiden Partai Buruh Timor Leste (Partindo Trabalhista Timorense/PTT) Angela Freitas di Pemilihan Presiden Timor Leste 2022 diklaim akan mendapatkan dukungan kuat dari mayoritas rakyat di negara bekas wilayah Indonesia itu.

Dukungan paling banyak akan datang dari kalangan milenial di bekas provinsi ke-27 Indonesia bernama Provinsi Timor Timor ini.

Kalangan ini tanggap akan visi dan misi dari mantan aktivis kemerdekaaan Timor Leste dan mantan Ketua Amnesty International di negara itu.

Baca Juga: Berapa Jumlah Negara ASEAN Sekarang, Apakah Timor Leste Masuk? Berikut Penjelasan Rinci dan Awal Mula Berdiri

Berpenduduk 1.318.445 jiwa sesuai sensus 2020, Timor Leste dikenal dengan julukan Bumi Lorosae dalam bahasa Tetum.

Negara ini telah terpuruk perekonomiannya secara berkepanjangan sejak resmi merdeka dari Indonesia pada pada 20 Mei 2002.

"Ada beberapa tokoh yang kembali mencalonkan diri termasuk mantan presiden dan petahana Presiden Timor Leste.

Tapi yang pasti, negara kami butuh pemimpin muda yang memiliki visi dan misi masa depan.

"Bukan hanya terputar-putar pada figur-figur selama perang kemerdekaan di masa lalu," kata Angela Freitas kepada Kalbar-Terkini.Com.

Baca Juga: JADWAL PERTANDINGAN TIMOR LESTE vs INDONESIA, Leg 1 Malam ini, Tanpa Elkan Baggott Begini Prediksinya

Dihubungi di Dili, Ibukota Timor Leste, Senin, 31 Januari 2022, mantan Capres Timor Leste yang kalah tipis di Pilpres 2016 ini menyatakan, seorang pemimpin yabg memiliki visi dan misi ke depan akan sangat penting bagi masa depan Timor Leste.

"Ibarat kalimat bijaksana bahwa 'bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya'.

Ini benar. Kita memang harus menghargai tokoh-tokoh pejuang kemerdekaaan Timor Leste," tambahnya.

Tapi, lanjut Angela, selama ini sudah terbukti bahwa para tokoh ini, selama silih-berganti memimpin Timor Leste, tidak menjadikan negara itu semakin baik perekonomiannya.

"Melainkan semakin terpuruk, dan tidak pernah berpikir untuk mencari alternatif lain dari minyak sebagai soko guru perekonomian dan kesejehteraan rakyat," ujarnya.

Bahkan, ketika deposit minyak dan gas bumi (migas) di Celah Timor akan habis sekitar satu dekade lagi, korupsi tanpa henti terus terjadi, dan menggerogoti Timor Leste.

Ketika Timor Leste masih menjadi bagian teritorial Indonesia sebagai Timor Timur, provinsi ini sudah swasembada beras, dan menjadi lumbung padi yang penting bagi Indonesia.

"Sekarang apa? Persawahan terbengkalai, dan juga berbagai sektor lain di bidang non-migas.

Yang ada di pikiran para pemimpin selama ini, hanya migas, migas, dan migas. Minyak dan gas, minyak dan gas.

Padahal, alokasi dana dari penghasilan migas bagi rakyat, sangat tidak jelas.

Terbukti, sebentar lagi rakyat mati kelaparan, sementara kita hanya berputar ke masa lalu.

Dengan kembali mengusung mantan-mantan pejuang perang itu, yang nota bene terbukti gagal selama ini dalam memimpin negara, karena perekonomian terbukti hancur" lanjut Angela Freitas.

Di pilpres Timor Leste yang digelar secara kilat di era pandemi Covid-19, para calon yang menantang para tokoh ini, termasuk melawan petahanan presiden, kesulitan melakukan sosialisasi menyusul banyaknya pembatasan bahkan penguncian wilayah.

"Saat pemberlakuan pembatasan atau larangan ke luar negeri, banyak oknum pejabat tinggi yang bahkan selalu berpesta, dan bolak-balik ke luar negeri.

Sementara rakyat harus di rumah, dan tak bisa bekerja, alih-alih dengan alasan penularan Covid-19," keluh Angela Freitas.

Hal ini kian dipersulit dengan kerusakan di bidang infrastruktur komunikasi terutama jaringan internet.

"Sulit karena kerusakan ini sangat terindikasi disengaja, supaya calon lain kesulitan untuk berkomunikasi dengan rakyat dan melakukan sosialisasi lewat media sosial," kata Angela Freitas.

Di Pilpres 2022, puteri mantan Ketua DPD Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Timor Timur ini, akan berhadapan dengan sederet tokoh tua pejuang kemerdekaan Timor Leste.

Di antaranya, Jose Ramos-Horta (72), mantan presiden yang juga memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian 1996 bersama dengan Uskup Carlos Filipe Ximines Belo.

Horta juga akan menantang petahanan Presiden Francisco 'Lu-Olo' Guterres, yang juga dipastikan maju, dan didukung mantan perdana menteri Mari Alkatiri dari Front Revolusioner untuk Timor Timur Merdeka (Fretelin).

Pilpres digelar di tengah ketegangan antara presiden Lu-Olo dan Xanana Gusmaserta dengan partai CNRT-nya, yang berujung pada krisis politik selama lima tahun terakhir.

Konflik dimulai ketika Guterres keberatan, dan menunda selama dua tahun penunjukan beberapa politisi CNRT untuk jabatan penting kabinet.

Ketidaksetujuannya membuat marah anggota parlemen CNRT yang menuntut Pengadilan Tinggi menyelidiki presiden karena melanggar konstitusi.

Pengadilan menolak petisi dan tidak ada tindakan yang diambil terhadap presiden.

Konflik tersebut kemudian berdampak pada Perdana Menteri Jose Maria Vasconcelos, yang juga dikenal sebagai Taur Matan Ruak.

Proposal anggaran 2020-nya ditolak oleh koalisi CNRT di parlemen.

Matan Ruak mengundurkan diri, namun ditolak presiden. Perseteruan Guterres dan mantan presiden dan perdana menteri Xanana Gusmao hampir melumpuhkan pemerintah sejak Guterres terpilih pada 2017.

Sementara itu, data dari Sekretariat Teknis Administrasi Pemilihan (STAE) dan Komisi Pemilihan Umum (CNE), Pilpres Timor Leste akan diikuti oleh 839.430 pemilih di dalam negeri, dan 6.010 di luar negeri, yang semuanya sudah didaftarkan oleh CNE.

Adapun Angela Freitas telah memimpin PPT, atau disebut juga Partai Trabalhista sejak 2006, dan sempat berlaga atas dikungan PTT di Pilpres Timor Leste 2017, yang belakangan dimenangkan oleh Guterres.

Sebelumnya, Pilpres 2012, Angela didiskualifikasi akibat kesalahan teknis administrasi.

"Kala itu ada konspirasi politik bahwa saya bukan orang Timor Leste, padahal saya asli warga negara ini," kata Angela Freitas.

Timor Leste atau disebut Timor Lorosae dalam Bahasa Tetum, adalah sebuah negara pulau di Asia Tenggara, serta berada di sebelah utara Australia, dan bagian timur pulau Timor.

Selain itu wilayah negara ini juga meliputi pulau Kambing atau Atauro, Jaco, dan eksklave Oe-Cusse Ambeno di Timor Barat.

Awalnya, Timor Timur dijajah oleh Portugal pada abad ke-16, dan dikenal sebagai Timor Portugis hingga 28 November 1975, ketika Fretilin mengumumkan kemerdekaan wilayah tersebut.

Sembilan hari kemudian, Indonesia melakukan invasi, kemudian menganeksasi Timor Timur.

Timor Timur, dan menyatakan sebagai provinsi ke-27 oleh Indonesia pada tahun berikutnya.

Pendudukan Indonesia di Timor Timur ditandai oleh konflik yang sangat keras selama beberapa dasawarsa antara kelompok perlawanan, khususnya Fretilin.

Pada 30 Agustus 1999, dalam sebuah referendum yang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pilihan rakyat Timor Timur adalah harus lepas, dan merdeka dari Indonesia.

Segera setelah referendum, milisi anti-kemerdekaan Timor-Leste - yang diorganisir dan didukung oleh militer Indonesia - memulai kampanye militer bumi hangus.

Milisi membunuh sekitar 1.400 rakyat Timor Timur dan dengan memaksa 300.000 rakyat mengungsi ke Timor Barat. Infrastruktur hancur dalam gerakan militer ini.

Pada 20 September 1999, Angkatan Udara Internasional untuk Timor Timur (INTERFE) dikirim ke Timor Timur untuk kekerasan.

Setelah masa transisi yang diorganisasi oleh PBB, Timor Timur diakui secara internasional sebagai negara, dan secara resmi merdeka dari Indonesia pada 20 Mei 2002.

Sebelumnya bernama Provinsi Timor Timur, ketika menjadi anggota PBB, negara ini memutuskan untuk memakai nama Portugis 'Timor Leste' sebagai nama resmi.

Pada 2011, Timor Leste mengumumkan niat untuk mendapatkan status keanggotaan dalam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dengan mengajukan diri menjadi anggota kesebelas.

Selain Filipina, Timor Leste adalah negara yang sebagian besar penduduknya beragama Roma Katolik.

Ekonomi Timor Leste pendekatan sebagai ekonomi berpendapatan rendah oleh Bank Dunia.

Dilansir dari Wikipedia, Timor Leste menempati peringkat ke-158 dalam Indeks Pembangunan, peringkat rendah dalam indeks tersebut.

Sebanyak 20 52,9 persen penduduknya hidup kurang dari 1,25 dolar AS per hari, dan sekitar penduduk Timor Leste buta huruf.

Menurut data sensus 2010, 87,7 persen rumah kota dan 18,9 persen rumah desa, tersambung dengan aliran listrik.

Rata-rata, 36,7 persen rumah di Timor Leste memiliki aliran listrik.

Negara ini masih merasakan dampak pendudukan Indonesia yang merusak infrastruktur, dan menimbulkan gelombang pengungsian.

Pada 2007, terjadi gagal panen yang mematikan di sebagian wilayah Timor Leste.

Pada November 2007, sebelas subdistrik masih membutuhkan makanan yang dipasok melalui bantuan internasional bagi negara yang tidak memiliki hukum paten ini.

Sebelum dan semasa kolonisasi, Pulau Timor dikenal sebagai produsen cendana.

Pemerintah kolonial Portugal memberi konsesi minyak kepada Oceanic Exploration Corporation.

Tetapi, masih dari kamus Google ini, eksploitasi minyak tersebut terhambat oleh invasi Indonesia pada 1976.

Ladang minyak di Timor Leste dibagi antara Indonesia dan Australia lewat Perjanjian Celah Timor 1989.

Perjanjian ini menetapkan panduan eksploitasi sumber daya bawah laut gabungan di 'celah' Timor Portugal di batas maritim, yang disepakati oleh kedua negara pada 1972.

Pendapatan dari wilayah gabungan ini dibagi setengah-setengah. Woodside Petroleum dan ConocoPhillips mulai mengeksploitasi sebagian sumber daya minyak di Celah Timor atas nama Indonesia dan Australia pada 1992.

Pada akhir 1999, sekitar 70 persen infrastruktur ekonomi Timor Leste dihancurkan oleh militer Indonesia dan milisi anti-kemerdekaan. Akibatnya, 260.000 orang mengungsi ke barat.

Pada 2002- 2005, infrastruktur yang hancur dibangun kembali oleh program internasional, yang dipimpin oleh PBB.

Program ini melibatkan penasihat sipil, 5.000 tentara penjaga perdamaian (paling banyak 8.000 tentara), dan 1.300 polisi.

Pada medio 2002, jumlah pengungsi Timor Leste turun menjadi 50.000 orang.

Proyek jangka panjang yang menjanjikan adalah pengembangan sumber daya migas bersama Australia di perairan di sebelah tenggara Timor Leste.

Timor Leste tidak mewarisi perbatasan laut permanen apapun ketika merdeka, dan mencap Perjanjian Celah Timor ilegal.

Sebuah perjanjian sementara yakni Perjanjian Laut Timor, ditandatangani ketika Timor Leste merdeka pada 20 Mei 2002.

Perjanjian ini menetapkan, Kawasan Pengembangan Minyak Bumi Bersama (Joint Petroleum Development Area; JPDA) dan sistem bagi hasil pendapatan, sebesar 90 persen untuk Timor Leste, dan 10 persen untuk Australia.

Pengembangan besar pertama di JPDA sejak kemerdekaan Timor Leste, dilakukan di ladang minyak terbesar di Laut Timor, yakni ladang gas Greater Sunrise.

Eksploitasinya merupakan topik beberapa perjanjian pada 2003 dan 2005.

Hanya 20 persen ladang minyak yang masuk JPDA, sedangkan sisanya berada di perairan yang tidak masuk perjanjian tersebut, tetapi sama-sama diklaim oleh kedua negara.

Perjanjian sementara pertamanya membagi 82 persen pendapatan SDA untuk Australia, dan 18 persen untuk Timor Leste.

Pemerintah Timor Leste berusaha merundingkan perbatasan resmi dengan Australia, tepat di separuh jalan antara kedua negara, sesuai Konvensi Hukum Laut PBB.

Pemerintah Australia menginginkan perbatasan di akhir landas kontinen Australia yang luas, sesuai yang disepakati dengan Indonesia pada 1972 dan 1991.

Normalnya, sengketa perbatasan seperti ini diajukan ke Mahkamah Internasional atau Pengadilan Hukum Laut Internasional untuk diputuskan secara imparsial.

Tetapi, Pemerintah Australia sudah duluan menarik diri dari yurisdiksi internasional (khusus persoalan batas laut) sebelum Timor Leste merdeka.

Di bawah tekanan publik dan diplomatik, Pemerintah Australia menawarkan konsesi royalti ladang gas Greater Sunrise.

Pada 7 Juli 2005, sebuah perjanjian menyepakati bahwa kedua negara akan mengakhiri sengketa batas laut, dan Timor Leste akan menerima 50 persen pendapatan dari ladang gas Greater Sunrise, sekitar 26 miliar dolar AS sepanjang masa aktif proyek.

Ladang lain di perairan yang diklaim Timor Leste, namun berada di luar JPDA (Laminaria-Corallina dan Buffalo), masih dieksploitasi secara sepihak oleh Australia.

Sebagian pendapatan royalti minyak bumi Timor Leste dimasukkan ke dana kekayaan negara lewat Timor-Leste Petroleum Fund.***

Editor: Slamet Bowo Santoso

Tags

Terkini

Terpopuler