CERITA UTUH KKN di Desa Mandiri Bagian 7, Motor Wahyu Mogok di Tengah Hutan dan Kampung Misterius Penuh Pesta

- 10 Mei 2022, 10:58 WIB
Foto Asli KKN Desa Penari sempat beredar, lokasi Rawa Bayu jadi sorotan.
Foto Asli KKN Desa Penari sempat beredar, lokasi Rawa Bayu jadi sorotan. /tangkap layar Youtube LSAP Banyuwangi/

 

KALBAR TERKINI - Dengan wajah tidak tertebak, Pak Prabu mengatakan, "gak onok sing ngerti opo sing onok gok jero'ne alas le (tidak ada yang pernah tau apa yang tinggal di dalam hutan nak)."

Mereka berangkat menembus jalan setapak. Lalu sampai di jalan raya besar, menyusurinya, jauh, sangat jauh. Sampai akhirnya mereka tiba di kota B.

Di sana mereka berhenti di sebuah pasar, Wahyu dan Widya mulai mencari segala keperluan mereka.

Baca Juga: CERITA UTUH KKN di Desa Penari Bagian 6, Bapak Misterius Masuk Rumah dan Sosok Penunggu Watu Item Kali

Kurang lebih setelah 2 jam mencari ke sana ke mari dan setelah mendapatkannya, mereka langsung cepat kembali.

Wahyu berhenti di pom bensin, ia harus mengembalikan motornya dalam keadaan bensin full, etika ketika meminjam barang orang lain.

Jam sudah menunjukkan pukul 4, sudah terlalu sore. Sejenak ia melihat Widya dari jauh, ia berhenti tepat di samping penjual cilok.

Ketika Wahyu sampai di sana, ia membeli beberapa cilok untuk Widya dan dirinya sendiri.

Baca Juga: CERITA UTUH KKN di Desa Mandiri Bagian 5, Cerita Mistis Mbah Buyut dan Widya yang Muntah Gumpalan Rambut

Saat itulah, si penjual cilok melihatnya seperti ingin menyampaikan sesuatu.

"Masnya pendatang?" kata orang itu.

"Mboten Pak, kulo KKN ten mriki (tidak pak, saya hanya KKN di sini)."

"Tetep ae, wong joboh to (tetap saja, orang luar, kan)," kata si penjual, masih melihat Widya dan Wahyu bergantian.

Baca Juga: CERITA UTUH KKN di Desa Penari Bagian 4, Siapa Pemilik Suara Lembut Pelantun Kidung Jawa dan Tingkah Aneh Nur

"Nek oleh takon, masnya sama mbaknya KKN di mana?"

Wahyu menceritakan semuanya, termasuk tempat KKN nya, saat itu juga terlihat jelas sekali perubahan wajah si penjual.

"Loh, sampeyan berarti mari iki liwat Alas D********* (berarti sebentar lagi anda akan lewat di hutan **********)?"

"Nggih Pak (iya pak)."

Baca Juga: CERITA UTUH KKN di Desa Penari Bagian 3, Sosok Pak Prabu yang Misterius dan Nisan Makam Ditutup Kain Hitam

"Loh, loh, halah dalah, wes yang mene mas, opo ra isok mene ae mas, sampeyan golek penginapan ae, soale nek jam yang mene, jarang onok sing liwat.

(sudah jam segini mas, apa gak bisa besok saja mas, cari saja penginapan, soalnya jam segini sudah jarang ada yang lewat)," kata si bapak.

"Mboten pak, kulo bablas mawon (tidak pak, saya lanjut saja)," kata Wahyu.

Baca Juga: CERITA UTUH KKN Desa Penari Bagian 2, Ibu Widya Tak Merestui KKN di Desa yang Terkenal Angker Itu

"Ngeten mas, isok kulo nyuwun waktu'ne sampeyan (gini mas, bisa saya minta waktunya sebentar)?"

Si penjual cilok, tiba-tiba mengatakan hal itu dengan wajah tegang.

"Nggih Pak," kata Wahyu.

Widya yang sedari tadi memilih diam, hanya mendengarkan saja saat penjual cilok itu menceritakan apa yang harus mereka lakukan saat masuk ke Alas **********

"Ngeten mas (begini mas)."

Baca Juga: CERITA UTUH KKN Desa Penari Bagian 1, Tugas Akhir Kuliah yang Berakhir Tragis dan Hubungan Cinta Terlarang

"Engken, bade sampun mlebet nang Alas'e sampeyan mlaku ae teros (nanti setelah kalian sampai dan masuk ke jalanan hutannya, jalan saja ya terus)."

"Ora usah mandek, utowo ngeladeni opo ae, ngerti ya mas (gak usah berhenti, apalagi mengurusi hal apapun, sampai sini paham ya mas)."

"Ojok lali, moco dungo'e sing katah" (jangan lupa doanya yang banyak)."

"Sing paling penting, nek sampeyan krungu suoro ra onok wujud'e, tetep lanjut, bade sampeyan sampe digawe ciloko, nek isok lanjut, lanjut ae, ra usah diurus mas, sampeyan percoyo ae, dungo nggih.

(yang paling penting, jika kalian dengar suara tanpa wujud, tetap lanjut saja.

Jika sampai kalian dibikin celaka, lalu kalian masih bisa melanjutkan, lanjutkan saja, jangan pernah berhenti di sana, yang penting tidak usah diperdulikan, kalian percaya saja, doanya juga utamakan)."

Widya tidak pernah mendengar ada orang yang sampai bercerita dengan mimik wajah yang tegang, bahkan bibirnya gemetar saat menceritakan.

"Kulo dongakno sampeyan sampeyan selamet sampai nang tujuan (saya doakan kalian selamat sampai tujuan)."

Tepat ketika langit sudah kemerahan, mereka melanjutkan perjalanan.

Di belakang, Widya mulai merasakan angin dingin, melewatinya begitu saja.

Tidak pernah disangka, jalan masuk hutan, lebih gelap ketika petang sudah mulai menjelang.

Cahaya motor yang dikendarai Wahyu menembus kegelapan malam, kilasan pohon hutan di samping kiri kanan jalan menjadi pemandangan tak terelakkan.

Hanya suara motor yang mampu menghidupkan sepi senyap di sepanjang jalan, karena benar saja, tak ditemui satupun pengendara lain di sini.

Wahyu mencoba mencairkan suasana dengan berandai-andai bagaimana bila motor mogok atau ban meletus di tengah antara hutan ini sementara belum ditemui satupun pengendara yang lewat.

Widya hanya menanggapi kecut, takut bila pengandaian Wahyu terjadi pada mereka, dan benar saja, motor mereka ngadat tepat setelah Wahyu mengatakan itu.

Widya, diam seribu bahasa, hal kurang pintar dari manusia sejak dulu kala adalah memikirkan sesuatu yang buruk di kondisi yang buruk yang bahkan tidak seharusnya mereka lakukan manakala doa bisa saja dikabulkan sewaktu-waktu.

"Mlaku o disek, ben aku isok nyawang awakmu (jalan saja dulu, biar aku bisa tetap memantau kamu)," kata Wahyu.

Sudah tidak tahan mendengar berapa kali kata "goblok" keluar dari mulut Widya, sepanjang mereka berjalan sendirian menyusuri jalan ini sembari mencoba menstarter motor.

Entah berapa lama mereka berjalan, dan masih belum ditemui satupun pengendara yang dimintai pertolongan.

Wahyu masih melihat Widya, berjalan sendirian di depan, tak sekalipun wajahnya menengok Wahyu seolah Wahyu sudah melakukan kesalahan paling fatal, yang pernah Wahyu buat. Sampai, langkah kakinya berhenti.

Widya, menghentikan langkah kakinya, Wahyu yang melihat itu, tiba-tiba merasa ada sesuatu yang salah, pasti.

"Nek sampek awakmu kesurupan, bener-bener parah awakmu, gak isok ndelok sikonku nyurung montor ket mau.

(Kalau sampai kamu kesurupan, bener-bener keterlaluan kamu, apa gak bisa lihat kondisiku sudah capek dorong motor dari tadi)."

Widya melihat Wahyu, mata mereka saling memandang satu sama lain.

"Yu, krungu ora? Suara mantenan (Yu, dengar tidak? Ada suara hajatan)?"

Bukan mau mengatakan Widya sinting, tapi, Wahyu juga mendengarnya, dan suara itu tidak jauh dari tempat mereka.

"Wid, eleng gak, jare wong dodol cilok, nek onok opo-opo lanjut ae (Wid, inget gak kata penjual cilok, jangan berhenti walau ada apapun, kita lanjut saja)."

Seperti kata Wahyu, Widya pun melanjutkan perjalanan, semakin mereka berjalan, semakin keras suara itu, dan semakin lama, diiringi suara tertawa dari orang-orang yang sedang melangsungkan hajatan.

Sampai, dilihatnya, terdapat janur kuning melengkung.

Di sana, Widya melihatnya sebuah pesta, tepat di sebuah tanah lapang samping jalan raya, seperti sebuah area perkampungan.

Di sana, lengkap dengan orang-orangnya, juga panggung tempat musik didendangkan.

Wahyu dan Widya, terdiam cukup lama, seperti termenung memastikan bahwa yang mereka lihat, manusia.

Tidak ada angin, tidak ada hujan, Wahyu dan Widya tercekat saat ada orang tua bungkuk bertanya tiba-tiba tepat di samping mereka.

"Nopo le (ada apa nak)?" suaranya halus sekali, sangat halus. "Sepeda'e mblodok (motornya mogok)?"

Wahyu dan Widya hanya mengangguk, pasrah.

Si orang tua memanggil anak-anak yang lebih muda, kemudian menuntun sepeda.

Menepi dari jalan raya, tidak lupa, si orang tua mempersilahkan Wahyu dan Widya istirahat sebentar, sembari menunggu motornya dibetulkan.

Suanasanya ramai, semua orang sibuk dengan urusanya sendiri-sendiri.

Ada yang bercanda, ada yang mengobrol satu sama lain, ada yang menikmati alunan gamelan yang ditabuh seirama, lengkap dengan si pengantin yang terlihat jauh dari tempat Wahyu dan Widya duduk.

"Aku ra eroh nek onok kampung nang kene (aku tidak tau ada kampung disini)."

Widya hanya diam saja, matanya fokus pada panggung, di depan penabuh gamelan masih ada ruang. Acara apa yang akan mereka adakan dengan ruang seluas itu.

Rupanya, pertanyaan Widya segera terjawab. Dari jauh, tiba-tiba tercium aroma melati. aroma yang familiar bagi Widya, diikuti serombongan orang.

Di hadapanya ada seorang penari, ia di tuntun naik ke atas panggung.

Kemudian, semua orang memandang pada satu titik, tempat penari mulai berlenggak lenggok di atas panggung. Semua mata, seperti terhipnotis melihatnya.

"Ayu'ne curr!!"(cantik sekali anj*ng)," kata Wahyu

Bingung, apakah hanya perasaan saja, mata si penari beberapa kali mencuri pandang pada Widya.

Ia seperti mengenal penari itu, tapi, tidak ada yang tau siapa si penari.

Sampai si bapak tua kembali, menawarkan makanan pada mereka.

Wahyu yang mungkin lapar, melahap habis mulai dari lemper sampai apem di hadapannya, sembari bercakap-cakap sama si bapak tua.

Namun, Widya lebih suka melihat si penari, ia mampu membuat semua orang tertuju melihatnya, menatapnya dengan tatapan yang menghipnotis.

Setelah si penari turun dari panggung, si bapak mengatakan, motor mereka sudah selesai, bisa dinaikin lagi, benar saja.

Motor mereka sudah bisa dipakai lagi. Sebelum pergi, Wahyu dan Widya berpamitan, mereka berterimakasih sudah mau menolong mereka yang kesusahan.

Si bapak mengangguk, mengatakan mereka harus hati-hati, tidak lupa si bapak memberi bingkisan, menunjukkan isinya pada Wahyu dan Widya.

Itu adalah jajanan yang dihidangkan tadi, membungkusnya dengan koran. Widya menerimanya, mengucap terima kasih lagi, lalu lanjut pergi.

Tidak ada yang seheboh Wahyu, yang terus berbicara tentang cantiknya paras si penari.

Kisaran usianya mungkin lebih tua dari mereka, namun, cara dia berdandan, bisa menutupi usianya sehingga dari jauh, kecantikannya terlihat begitu sulit digambarkan.

Widya, lebih tertarik dengan kampung itu. Demi apapun, sewaktu perjalanan, tidak ditemui satu kampung pun, jangankan kampung, warung saja tidak ada sama sekali.

Namun, motor Wahyu benar-benar mereka betulkan, dan mereka tulus membantu tanpa meminta apapun. Jadi, apa mungkin, hantu bisa membetulkan motor.

Satu yang coba Widya yakini, mungkin mereka tidak melihat kampung tadi saja, yang terpenting, di jalan setapak ini, desa KKN mereka sudah semakin dekat.***

 

Editor: Slamet Bowo SBS

Sumber: Twitter @SimpleM81378523


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah