Megawati Soekarnoputri Pertanyakan Kondisi RI Sepeninggal Dirinya, Berikut Profil Presiden Indonesia ke 5

2 Juni 2022, 08:41 WIB
Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri saat memberikan sambutan pada seminar nasional yang diselenggarakan Forum Rektor Penguat Karakter Bangsa di Untirta. /Tangkapan layar kanal YouTube Untirta official./

KALBAR TERKINI - Megawati Soekarnoputri mengaku prihatin dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini yang sudah mulai memudar kecintaannya pada Pancasila.

Menjadi pembicara kunci di Seminar Nasional Forum Rektor Penguat Karakter Bangsa (FRPKB) dalam rangka memperingati Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2022 secara virtual, Rabu 1 Juni 2022.

Megawati mulanya berbicara soal kekagumannya atas budaya bangsa Timur. Megawati enggan mengikuti arus Barat.

Baca Juga: Megawati Dikabarkan Koma Sejak 6 September, Berikut Profil Mantan Presiden ke 5 Tersebut Putri Bung Karno.

"Masa kita mau ngikutnya ke Barat mulu, lho, dari sisi budaya seni itu yang namanya Timur itu luar biasa, lho," kata Megawati.

Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) itu kemudian menyinggung negara-negara besar. Dia menyebut negara tersebut tak didiami bangsa aslinya.

"Yang disebut orang Amerika itu orang asli Amerika, kan nggak.

Mereka itu kan orang dari Inggris sebagai penjahat dibuang ke sana.

Baca Juga: Surat Terbuka Ratna Sari Dewi Soekarno untuk Presiden Soeharto: Siapa yang Membantai 800 Ribu Nyawa Rakyat?

Di Australia gitu juga, kan Aborigin. Selandia Baru. Mau kita dibegitukan? Kalau saya ndak biar orang tua," ujarnya.

Megawati pun menceritakan pernah menyampaikan kekhawatirannya itu kepada Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Di saat itulah dia mengkhawatirkan kondisi RI.

"Coba dong, jangan merasa, saya bilang sama Sekjen saya, nih, kok bangsaku udah terlalu nikmat dengan zona nyaman, lho, aku udah khawatir, lho. Nanti kalau saya udah ndak ada terus piye yo, gimana yo," kata Megawati.

Baca Juga: Viral 7 Maret di TikTok, Berikut Catatan Bersejarah di Tanggal Tersebut, Lengsernya Presiden Soekarno

Berikut Profil Mantan Presiden ke 5 Tersebut Putri Bung Karno.

Presiden Republik Indonesia ke-5, Megawati Soekarnoputri lahir di Yogyakarta, 23 Januari 1947.

Sebelum diangkat sebagai presiden, beliau adalah Wakil Presiden RI yang ke-8 dibawah pemerintahan Abdurrahman Wahid.

Baca Juga: Mengenal Kartika Sari Dewi Soekarno, Puteri Bung Karno dari Istri Jepangnya Ratna Sawri Dewi, Ia Kini Jurnalis

Megawati adalah putri sulung dari Presiden RI pertama yang juga proklamator, Soekarno dan Fatmawati.

Megawati, pada awalnya menikah dengan pilot Letnan Satu Penerbang TNI AU, Surendro dan dikaruniai dua anak lelaki bernama Mohammad Prananda dan Mohammad Rizki Pratama.

Pada suatu tugas militer, tahun 1970, di kawasan Indonesia Timur, pilot Surendro bersama pesawat militernya hilang dalam tugas.

Derita tiada tara, sementara anaknya masih kecil dan bayi. Namun, derita itu tidak berkepanjangan, tiga tahun kemudian Mega menikah dengan pria bernama Taufik Kiemas, asal Ogan Komiring Ulu, Palembang.

Baca Juga: Mengenal Dzaki Sukarno, Keturunan Indonesia Peraih Golden Tiket American Idol

Kehidupan keluarganya bertambah bahagia, dengan dikaruniai seorang putri Puan Maharani. Kehidupan masa kecil Megawati dilewatkan di Istana Negara.

Sejak masa kanak-kanak, Megawati sudah lincah dan suka main bola bersama saudaranya Guntur.

Sebagai anak gadis, Megawati mempunyai hobi menari dan sering ditunjukkan di hadapan tamu-tamu negara yang berkunjung ke Istana.

Wanita bernama lengkap Dyah Permata Megawati Soekarnoputri ini memulai pendidikannya, dari SD hingga SMA di Perguruan Cikini, Jakarta.

Sementara, ia pernah belajar di dua Universitas, yaitu Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung (1965-1967) dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1970-1972).

Kendati lahir dari keluarga politisi jempolan, Mbak Mega -- panggilan akrab para pendukungnya -- tidak terbilang piawai dalam dunia politik.

Bahkan, Megawati sempat dipandang sebelah mata oleh teman dan lawan politiknya. Beliau bahkan dianggap sebagai pendatang baru dalam kancah politik, yakni baru pada tahun 1987.

Saat itu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menempatkannya sebagai salah seorang calon legislatif dari daerah pemilihan Jawa Tengah, untuk mendongkrak suara.

Masuknya Megawati ke kancah politik, berarti beliau telah mengingkari kesepakatan keluarganya untuk tidak terjun ke dunia politik. Trauma politik keluarga itu ditabraknya.

Megawati tampil menjadi primadona dalam kampanye PDI, walau tergolong tidak banyak bicara. Ternyata memang berhasil.

Suara untuk PDI naik. Dan beliau pun terpilih menjadi anggota DPR/MPR. Pada tahun itu pula Megawati terpilih sebagai Ketua DPC PDI Jakarta Pusat.

Tetapi, kehadiran Mega di gedung DPR/MPR sepertinya tidak terasa. Tampaknya, Megawati tahu bahwa beliau masih di bawah tekanan.

Selain memang sifatnya pendiam, belaiu pun memilih untuk tidak menonjol mengingat kondisi politik saat itu.

Maka belaiu memilih lebih banyak melakukan lobi-lobi politik di luar gedung wakil rakyat tersebut.

Lobi politiknya, yang silent operation, itu secara langsung atau tidak langsung, telah memunculkan terbitnya bintang Mega dalam dunia politik.

Pada tahun 1993 dia terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI. Hal ini sangat mengagetkan pemerintah pada saat itu.

Proses naiknya Mega ini merupakan cerita menarik pula. Ketika itu, Konggres PDI di Medan berakhir tanpa menghasilkan keputusan apa-apa.

Pemerintah mendukung Budi Hardjono menggantikan Soerjadi. Lantas, dilanjutkan dengan menyelenggarakan Kongres Luar Biasa di Surabaya.

Pada kongres ini, nama Mega muncul dan secara telak mengungguli Budi Hardjono, kandidat yang didukung oleh pemerintah itu. Mega terpilih sebagai Ketua Umum PDI.

Kemudian status Mega sebagai Ketua Umum PDI dikuatkan lagi oleh Musyawarah Nasional PDI di Jakarta.

Namun pemerintah menolak dan menganggapnya tidak sah. Karena itu, dalam perjalanan berikutnya, pemerintah mendukung kekuatan mendongkel Mega sebagai Ketua Umum PDI.

Fatimah Ahmad cs, atas dukungan pemerintah, menyelenggarakan Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, untuk menaikkan kembali Soerjadi.

Tetapi Mega tidak mudah ditaklukkan. Karena Mega dengan tegas menyatakan tidak mengakui Kongres Medan.

Mega teguh menyatakan dirinya sebagai Ketua Umum PDI yang sah.

Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, sebagai simbol keberadaan DPP yang sah, dikuasai oleh pihak Mega.

Para pendukung Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha mempertahankan kantor itu.

Soerjadi yang didukung pemerintah pun memberi ancaman akan merebut secara paksa kantor DPP PDI itu.

Ancaman itu kemudian menjadi kenyataan. Pagi, tanggal 27 Juli 1996 kelompok Soerjadi benar-benar merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega.

Namun, hal itu tidak menyurutkan langkah Mega. Malah, dia makin memantap langkah mengibarkan perlawanan.

Tekanan politik yang amat telanjang terhadap Mega itu, menundang empati dan simpati dari masyarakat luas.

Mega terus berjuang. PDI pun menjadi dua. Yakni, PDI pimpinan Megawati dan PDI pimpinan Soerjadi.

Massa PDI lebih berpihak dan mengakui Mega. Tetapi, pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah.

Akibatnya, PDI pimpinan Mega tidak bisa ikut Pemilu 1997. Setelah rezim Orde Baru tumbang, PDI Mega berubah nama menjadi PDI Perjuangan.

Partai politik berlambang banteng gemuk dan bermulut putih itu berhasil memenangkan Pemilu 1999 dengan meraih lebih tiga puluh persen suara.

Kemenangan PDIP itu menempatkan Mega pada posisi paling patut menjadi presiden dibanding kader partai lainnya. Tetapi ternyata pada SU-MPR 1999, Mega kalah.

Tetapi, posisi kedua tersebut rupanya sebuah tahapan untuk kemudian pada waktunya memantapkan Mega pada posisi sebagai orang nomor satu di negeri ini.

Sebab kurang dari dua tahun, tepatnya tanggal 23 Juli 2001 anggota MPR secara aklamasi menempatkan Megawati duduk sebagai Presiden RI ke-5 menggantikan KH Abdurrahman Wahid.

Megawati menjadi presiden hingga 20 Oktober 2003. Setelah habis masa jabatannya, Megawati kembali mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemilihan presiden langsung tahun 2004.

Namun, beliau gagal untuk kembali menjadi presiden setelah kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono yang akhirnya menjadi Presiden RI ke-6.***

Editor: Slamet Bowo SBS

Sumber: Berbagai Sumber

Tags

Terkini

Terpopuler