Aurora Pertama Kali Terdokumentasi di Era Raja Zhāo dalam Potongan Bambu Kuno

- 27 April 2022, 20:32 WIB
Pemandangan aurora borealis di Alaska
Pemandangan aurora borealis di Alaska /Pexels/Pixabay/

KALBAR TERKINI - Fenomena Aurora, kehadiran cahaya sekilas lima warna di langit malam, ternyata pertama kali didokumentasikan di dunia oleh China pada abad ke-10 SM.

Catatan sejarah tentang Aurora, yang lebih kerap terjadi di Greenland, ditemukan dari sebuah studi baru baru dengan teks berbahasa Tiongkok kuno.

Teks tersebut menggambarkan 'cahaya lima warna', yang disaksikan di bagian utara langit malam menjelang akhir pemerintahan Raja Zhāo, raja keempat dari Dinasti Zhou di Tiongkok.

Baca Juga: Viral!! Penampakan Mirip Cahaya Aurora Tertangkap Infinix Zero X di Tumpeng Menoreh Yogyakarta

Dilansir Kalbar-Terkini.com dari Live Science, Senin, 25 April 2022, tanggal pasti pemerintahan Zhāo, tidak diketahui.

Tetapi, kemungkinan peristiwa 'cahaya lima warna' ini, terjadi pada 977 atau 957 SM, menurut penelitian yang menemukan detail warna-warni ini dalam Sejarah Bambu (Zhúsh Jìnián dalam bahasa Mandarin).

Sejarah yang ditulis dari abad IV SM ini, ditulis pada potongan bambu, yang mencatat sejarah legendaris, dan awal Tiongkok.

Baca Juga: Ungkap Alasan Terbesar Miliki Twitter, Elon Musk Ingin Menciptakan Kebebasan Berbicara Pada Publik

Para sarjana telah mengetahui tentang Sejarah Bambu untuk beberapa waktu, dan pandangan baru pada bagian khusus ini.

Temuan ini juga mengarah pada kesadaran bahwa itu merinci apa yang mungkin merupakan penjelasan tentang Aurora yang paling baru.

Penulis penelitian studi ini, Hisashi Hayakawa, adalah asisten profesor di Institute for Space untuk Penelitian Lingkungan Bumi di Universitas Nagoya, Jepang.

Baca Juga: Social Spy WhatsApp Terbaru 2022, Cara Pasang dan Sadap Chatting Pacar Lebih Mudah

Hayakama menjelaskan hal kepada Live Science dengan didampingi seorang ilmuwan tamu di Laboratorium Appleton Rutherford di Inggris.

Deskripsi cahaya lima warna yang baru dianalisis itu, kemungkinan mengacu pada badai geomagnetik, menurut Hayakawa dan peneliti studi Marinus Anthony van der Sluijs, seorang peneliti independen yang berbasis di Kanada.

Dalam penelitian ini dilaporkan bahwa badai geomagnetik terjadi ketika matahari - 'bola gas yang bernafas'- menyemburkan jilatan api matahari.

Api matahari atau juga disebut gelembung gas listrik raksasa ini, bergerak dengan kecepatan tinggi melalui ruang angkasa, menurut NASA.

Magnetosfer bumi biasanya melindungi planet dari partikel bermuatan energi matahari.

Tetapi terkadang, partikel ini menembus, dan menyebabkan gangguan magnetik, yang dikenal sebagai badai geomagnetik.

Badai semacam itu dapat menghasilkan cahaya yang indah.

Cahaya-cahaya ini juga tercipta dari oksigen bersinar hijau dan merah, sedangkan nitrogen mengeluarkan cahaya biru dan ungu.

Saat ini, cahaya utara atau disebut Aurora Borealis, terjadi di garis lintang utara.

Sedangkan cahaya selatan, atau Aurora Australis, terjadi di garis lintang selatan.

Tetapi selama pertengahan abad ke-10 SM, kutub magnet utara bumi condong ke arah benua Eurasia, sekitar 15 derajat lebih dekat ke China tengah daripada sekarang.

Akibatnya, ada kemungkinan bahwa orang-orang kuno di China tengah - mungkin sejauh selatan 40 derajat lintang, atau tepat di utara Beijing - dapat melihat badai geomagnetik, dan cahaya warna-warni yang dihasilkan.

Menurut para peneliti, Aurora Mid-latitude dapat menghadirkan banyak warna ketika cukup terang, yang dapat menjelaskan mengapa peristiwa langit itu dicatat sebagai 'cahaya lima warna'.

"Misalnya, pada Oktober 1847, tampilan aurora berwarna-warni diamati di Inggris," kata Hayakawa.

Menurut sebuah laporan di dekat Cambridge, Inggris, 'sebuah mahkota' terbentuk di dekat puncak magnet, dari mana semua sinar tampak menyimpang.

Wrnanya paling indah dan transparan yang khas, terutama merah dan hijau, yang pertama seperti merah tua, dan yang terakhir dari zamrud pucat.

Hayakawa menyebut peristiwa yang memecahkan rekor ini sebagai calon aurora.

Ini karena tim peneliti tidak memiliki cukup bukti untuk mengonfirmasi Aurora.

Sebelumnya, calon Aurora tertua adalah catatan yang ditorehkan oleh astronom Asyur pada tablet paku, yang bertanggal antara 679 SM. dan 655 SM, menurut sebuah studi pada 2019.

Studi ini oleh Hayakawa dan rekan-rekannya kemudian diterbitkan dalam The Astrophysical Journal Letters.

Temuan terbaru ini membutuhkan waktu lama untuk dikenali karena beberapa alasan, menurut Hayakawa.

Naskah asli Sejarah Bambu itu hilang, tapi ditemukan kembali pada abad ketiga M, kemudian hilang lagi selama Dinasti Song (960-1276 M).

Selama abad ke-16, terjemahan menggunakan kata 'komet' daripada 'cahaya lima warna'.

Sekarang, studi baru meluruskan temuan itu, tulis para peneliti.

Mendokumentasikan calon Aurora adalah berguna, karena dapat membantu para ilmuwan memodelkan pola cuaca antariksa dan aktivitas matahari jangka panjang.

Studi ini dipublikasikan secara online pada 17 Januari 2022 di Jurnal Advances in Space Research.***

Sumber: Live Science

 

Editor: Slamet Bowo SBS

Sumber: Live Science


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah