OMG! Manusia Mati, Otaknya bisa Hidup di Dunia Digital

31 Juli 2022, 19:12 WIB
Ilustrasi organ otak manusia. /unsplash.com/@averey / /

KALBAR TERKINI - Ibarat dalam film-film horor atau film fiksi ilmiah, otak diyakini dapat terus hidup secara terpisah dari tubuh manusia alias inangnya.

Dengan perkembangan teknolgi digital, bisa saja manusia yang telah mati, hidup kembali lewat penampakkan secara digital.

Jadi jika kekasih Anda telah 'kembali ke alam baka', maka jangan menangis.

Sebab, berdialog dengan kekasih bisa dilakukan lewat teknologi digital sambil, tentu saja, jantung Anda terus berdebar menahan rindu-dendam.

Baca Juga: Waspada Jika Mengalami Tanda-tanda 'Kabut Otak', Diawali dengan Kelelahan Tanpa Sebab

Lantas, mungkinkah otak pernah ada dengan sendirinya, terpisah dari atau tidak bergantung pada tubuh?

Untuk waktu yang lama, para filsuf telah merenungkan skenario 'otak dalam tong' seperti itu.

Juga direnungkan tentang apakah otak yang terisolasi dapat mempertahankan kesadaran ketika dipisahkan dari tubuh dan indra mereka.

Biasanya, pengalaman seseorang dicirikan oleh jaringan interaksi antara otak, tubuh, dan lingkungan manusia.

Baca Juga: NGERI! Trasplantasi Hati Babi ke Otak: Mayat Dijamin Hidup Kembali!

Tetapi, perkembangan terbaru dalam ilmu saraf berarti percakapan ini telah beralih dari ranah spekulasi hipotetis dan fiksi ilmiah, ke contoh-contoh terisolasi di mana kesadaran dapat disegel dari seluruh dunia.

Dilansir Kalbar-Terkini.com dari Live Science, Rabu, 6 Juli 2022, sebuah studi pada 2020 telah dirinci dalam jurnal 'Trends in Neuroscience'.

Studi ini melibatkan filsuf Tim Bayne, dari Monash University di Melbourne, dan ahli saraf Anil Seth, dari University of Sussex di Inggris, dan Marcello Massimini, dari University of Milan di Italia.

Mereka menggambarkan konteks di mana 'pulau kesadaran' seperti itu bisa ada.

Baca Juga: Waspada, Dampak Hepatitis Akut Bisa Sebabkan Pembengkakkan di Otak yang Berakhir Koma, Berikut Gejalanya

Dalam satu situasi yang mungkin, otak yang telah dikeluarkan dari inangnya, mampu mempertahankan kesadaran.

Ini menggunakan oksigen dan nutrisi yang diperlukan untuk fungsi yang disampaikan melalui beberapa jenis peralatan, atau disebut otak 'ex cranio'.

Dalam sebuah penelitian yang terdengar seperti sesuatu yang keluar dari film horor, para peneliti berhasil memulihkan aliran darah ke sel-sel otak, fungsi seluler neuron, dan aktivitas sinaptik spontan di otak babi.

Otak babi ini dikeluarkan setelah kematian mamalia ini, dan terhubung ke sistem yang disebut 'BrainEx. Sistem'.

Baca Juga: Datangi Rumah Sakit Sendirian untuk Medical Check-up, Viryan Aziz Alami Pecah Pembuluh Darah di Otak

Sistem ini dirancang untuk memperlambat degenerasi jaringan otak setelah kematian, dan dapat dihubungkan ke dasar otak postmortem, memberikan darah beroksigen buatan yang hangat.

Di kalangan orang yang menderita epilepsi refrakter parah, suatu perawatan disebut hemisferotomi.

Perawatan ini melibatkan pemutusan sepenuhnya separuh otak yang rusak dari belahan otak lainnya, batang otak, dan thalamus.

Dalam kasus ini, separuh otak yang rusak tetap berada di dalam tengkorak, dan terhubung ke sistem vaskular.

Sementara belahan otak yang terputus, terus menerima nutrisi dan oksigen yang dibutuhkan untuk berfungsi.

bBeberapa orang bertanya-tanya apakah belahan otak yang terisolasi ini mendukung kesadaran yang berdekatan dengan belahan otak yang berlawanan dan terhubung.

Para ilmuwan telah menciptakan otak mini berbasis laboratorium, struktur 3D yang dikembangkan dari sel punca, yang menampilkan berbagai fitur otak manusia yang sedang berkembang.

Beberapa dari 'brain-in-a-dish' ini memiliki gelombang otak, yang mirip seperti yang terlihat pada bayi prematur.

Tetapi apakah salah satu dari 'otak' ini benar-benar memiliki kesadaran?

Para ilmuwan tidak dapat menyimpulkan kesadaran dari perilaku dalam kasus ini.

Mereka juga tidak dapat menanyakan otak ini apakah mengalami kesadaran.

Teka-teki ini telah menyebabkan ahli saraf untuk merancang ukuran 'objektif' kesadaran potensial.

Misalnya, para ilmuwan dapat menggunakan apa yang disebut indeks kompleksitas perturbasi (PCI).

PCI didasarkan pada tingkat interaksi antara neuron dalam 'otak' ini.

Dengan menggunakan indeks ini, para ilmuwan akan merangsang bagian otak secara elektrik.

Mereka kemudian mengukur pola aktivitas saraf yang dihasilkan, untuk mengukur kompleksitas interaksi sel otak.

Jika pengukuran yang dihasilkan dari interaksi ini membawa banyak informasi, maka sistem dapat dikatakan lebih sadar.

Ini seperti melempar batu ke kolam, dan mengukur riak yang dihasilkan.

Jika riak berinteraksi dengan objek lain di kolam, memicu lebih banyak riak, maka sistem akan lebih sadar.

Di negara bagian di mana orang belum sepenuhnya sadar, PCI telah menjadi indikator yang dapat diandalkan untuk tingkat kesadaran mereka.

Misalnya, dalam keadaan koma, atau tidur, akan dianggap sebagai tingkat kesadaran atau kesadaran yang 'lebih rendah'.

Menurut Bayne, PCI telah terbukti efektif dalam mendeteksi kesadaran terputus selama bermimpi, dan anestesi ketamin.

"Juga telah berhasil diterapkan pada pasien yang tidak responsif setelah cedera otak yang parah," kata Bayne.

Bisa jadi, kesadaran terkait erat dengan dinamika otak yang relatif mudah diukur, seperti kasus PCI.

Tetapi bahkan jika kesadaran ternyata tidak dapat direduksi menjadi sinyal saraf apa pun di otak, Bayne percaya bahwa tugas mengembangkan ukuran kesadaran 'objektif' masih valid.

Teknik ini kemungkinan tidak dapat menjawab pertanyaan secara pasti apakah kesadaran hadir dalam konteks ini.

Kendati begitu, teknik ini akan memberikan jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar, seperti apakah pulau kesadaran memiliki tingkat kerumitan saraf yang sama dengan otak subjek yang sadar.

Juga terkait apakah otak ini perlahan offline setelah terputus dari dunia luar.

Memahami seperti apa isi kesadaran dalam kasus seperti itu, menawarkan masalah yang lebih rumit.***

Sumber: Live Science

Editor: Arthurio Oktavianus Arthadiputra

Sumber: Live Science

Tags

Terkini

Terpopuler