Soeharto Miliki Andil Bangkitkan Teroris NII untuk Amankan Golkar

20 April 2022, 22:45 WIB
Bendera NII /

KALBAR TERKINI - Kehadiran kembali Negara Islam Indonesia (NII) diduga terkait pula dengan manuver Presiden Soeharto pada Pemilu 1971 ketika merekrut para mantan anggota kelompok teroris ini.

Para anggota NII atau Darul Islam (DI) yang para dedengkot nota bene sudah ditempas oleh TNI dan dibubarkan pada 1960-an, ternyata direkrut untuk mengamankan suara Golkar di Provinsi Jawa Barat, tempat kelahiran sekaligus kandang NII.

"Soeharto merencanakan pemilihan pertama Orde Baru, dan anggota DI dikumpulkan oleh intelijen Indonesia untuk reuni tiga hari," kata Sidney Jones, pengamat terorisme yang juga Penasehat Senior International Crisis Croup (ICG).

Baca Juga: PAHAMI NII! Teroris yang Berniat Gulingkan Jokowi Sebelum 2024, Polri: Tak Mau Ibadah Bersama Masyarakat Umum

Dalam laman ICG, 18 Agustus 2010, sebagaimana dilansir Kalbar-Terkini.com, Sidney menulis:

"Harapan dari reuni itu bahwa DI yang dihidupkan kembali akan membantu mengamankan kemenangan di Jawa Barat untuk ormas baru bernama Golkar."

Adapun terungkapnya kehadiran NII harus segera diikuti langkah-langkah sangat tegas dari pemerintah untuk menumpas NII hingga ke akar-akarnya.

Kehadiran NII sebagaimana terungkap menjelang medio April 2022 di Provinsi Sumatera Barat sangat membahayakan.

Baca Juga: NII TARGET KUDETA JOKOWI! Bidik Kursi Istana Sebelum Pemilu 2024: Ingin Lanjutkan Cita-cita NII Kartosuwiryo

Sebab, NII alias DI telah menjadi insiprasi kemunculan para tokoh teroris di Indonesia untuk bergabung dengan ISIS atau Al Qaeda.

Menurut Jones, sejarah DI memberikan pelajaran yang kuat bagi Indonesia saat ini , dan bukan hanya tentang kemampuan sebuah gerakan radikal untuk beradaptasi dan beregenerasi.

"Ini juga mengajarkan kita tentang biaya mengabaikan keluhan daerah; bahaya mencoba mengeksploitasi Islam untuk tujuan politik," katanya dalama rtikelnya yang juga dikutip oleh Tempo.

Baca Juga: WOW! NII di Tanah Air Terus Bekembang, di Wilayah Padang Sumbar Miliki 1.125 Anggota, 400 di Antaranya Aktif

"Juga mengingatkan tentang pentingnya ikatan lintas generasi, dan mistik yang sedang berlangsung dari sebuah negara Islam," lanjut Jones.

Pendirinya, Sekarmadji Kartosoewirjo di Jawa Barat, disusul Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan dan Daud Beureueh di Aceh, semuanya menjadi pahlawan bagi banyak orang di daerah asalnya.

Menurut Jones, mereka masing-masing memimpin pemberontakan DI melawan NKR dengan cara yang berbeda, dan masing-masing menjadi inspirasi bagi gerakan baru, beberapa dekade kemudian.

Kartosoewirjo, yang memproklamasikan NII pada 1949, ditangkap pada 1962, kemudian dieksekusi.

Baca Juga: AROMA KEBANGKITAN NII! Densus 88 Antiteror Temukan 77 Anak Asal Sumbar Dibaiat di Tangerang Selatan

"Tapi , banyak dari letnan utamanya diberi amnesti dan diberikan bantuan mata pencaharian, dalam upaya awal program 'deradikalisasi'," tambah Jones.

"Dia (Kartosuwiryo) adalah inspirasi langsung bagi semua kelompok, baik kekerasan maupun non-kekerasan, yang berusaha mendirikan negara Islam saat ini, termasuk Jemaah Islamiyah, Ring Banten dan cabang DI yang berbasis di Jawa lainnya," tegasnya.

Kahar Muzakkar tewas dalam serangan militer pada 1965, dan sebagian pengikutnya lari ke Negara Bagian Sabah, Federasi Malaysia.

"Sebagian lagi ke Maluku. Pergolakan dan penggusuran akibat pemberontakan tersebut meninggalkan bekas luka di Sulawesi hingga saat ini," lanjut Jones.

"Salah satu pengagumnya mendirikan jaringan pesantren Hidayatullah dan gerakannya mengilhami pembentukan KPPSI, kelompok yang berbasis di Makassar, yang mengadvokasi penerapan hukum Islam," tambahnya.

Pemberontakan Daud Beureueh di Aceh berakhir pada 1962. Setelah menandatangani perjanjian damai dengan pemerintah Indonesia pada 1963, Beureueh ditarik kembali ke DI, yang dihidupkan kembali meliputi seluruh Indonesia pada 1974.

Daud ditahan lagi pada 1978, dan menghabiskan dekade terakhir hidupnya sebagai tahanan rumah.

"Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mengklaim jubah nasionalisme Aceh, dan banyak dari pejuang GAM awal memiliki ayah yang berjuang di Darul Islam," ulas Jones.


Menurutnya, setiap manifestasi DI dimulai sebagai tanggapan terhadap keluhan lokal. Secara kolektif, kemunculan mereka menggarisbawahi satu pelajaran kunci bagi negara Indonesia, yang masih berlaku di Papua saat ini.

Pelajaran kunci ini, tegas Jones, adalah persepsi tentang kurang perhatiannya pemerintah pusat terhadap ketidakpuasan di 'pinggiran', yang dapat menjadi pendorong pemberontakan yang kuat.


Jones menambahkan, Kartosoewirjo secara khusus mengembangkan pembenaran jihad untuk melawan negara kafir (pertama Belanda, kemudian republik sekuler), yang mencakup banyak elemen dari apa yang sekarang kita kenal sebagai jihadisme salafi.

"Memang, seperti yang dijelaskan oleh buku tulisan jurnalis Indonesia Solahudin, salah satu alasan ideologi yang terkait dengan al-Qaeda menemukan lahan subur di sini, mungkin sebagian karena memiliki basis pribumi untuk dibangun," tambah Jones.

Pada akhir 1950-an, lanjutnya, para pemimpin dari tiga pemberontakan telah menjalin kontak, dan setuju untuk bekerja untuk sebuah Federasi Negara Islam.

Namun, menurut Jones, konsep tersebut tidak pernah benar-benar berhasil. Tujuan lokal jauh lebih penting untuk perekrutan dan mobilisasi daripada tujuan bersama.

Ditambahkan, 40 tahun kemudian, Mujahidin Indonesia mendapat pelajaran serupa dalam konteks yang sangat berbeda: untuk semua kemarahan yang ditimbulkan oleh kebijakan AS di Timur Tengah dan di tempat lain.

Dengan demikian, menurut Jones, lebih mudah untuk merekrut di sekitar Ambon dan Poso daripada di sekitar Palestina dan Irak.

"Segera setelah militer Indonesia mengalahkan pemberontakan DI yang terakhir pada 1965, sebuah percobaan kudeta terjadi, yang melibatkan beberapa perwira sayap kiri, dan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI)," jelansya.

Menurut Jones, prioritas utama militer dan Jenderal Soeharto, yang naik ke tampuk kekuasaan setelah upaya itu, menjadi penghapusan PKI.

"Dan dalam hal ini, berlaku prinsip 'musuh dari musuh saya adalah teman saya'. . Beberapa pemimpin DI yang sangat anti-komunis di Jawa, ditawari senjata sebagai imbalan, karena ikut serta dalam operasi melawan orang-orang yang dicurigai sebagai anggota PKI," katanya.

Pada 1971 ketika sudah menjadi Presiden RI, Soeharto merencanakan pemilihan pertama Orde Baru, dan anggota DI, yang sekarang dipandang sebagai mitra potensial, dikumpulkan oleh intelijen Indonesia untuk reuni tiga hari.

"Harapan dari reuni itu bahwa DI yang dihidupkan kembali akan membantu mengamankan kemenangan di Jawa Barat untuk ormas baru bernama Golkar," jelas Jones.

"Dana dan fasilitas pemerintah dengan demikian menyediakan sarana untuk kebangkitan gerakan yang segera menggigit tangan yang memberinya makan," tegansya.

Menurutnya, para anggota DI kemudian bergerak di bawah tanah, dan mulai bekerja melawan negara. Ini karena diradikalisasi mereka, baik oleh kebijakan Soeharto yang dianggap anti-Islam, maupun oleh tulisan-tulisan para pemikir Islam militan, yang baru tersedia dalam terjemahan bahasa Indonesia.

DII di mata Soeharto adalah satu-satunya kelompok (radikal) yang masih ada di Indonesia, dengan sejarah pertempuran nyata dalam pelayanan negara Islam.

DI kemudian menarik semakin banyak anggota baru, seiring dengan meningkatnya penindasan oleh Orde Baru.

Di antaranya, lanjut Jones, adalah Abdullah Sungkar, pendiri JI dan sesama ulama Abu Bakar Ba' asyir.

"Satu pelajaran yang seharusnya dipelajari tetapi tidak bahwa kooptasi atau kemitraan dengan kelompok Islam radikal tidak pernah berjalan sesuai rencana dan biayanya selalu melebihi manfaatnya," katanya.

Tindakan keras pemerintah terhadap DI/NII terjadi di seluruh Jawa pada 1970-an dan 80-an, yang berujung pada penangkapan hampir seluruh pimpinan senior DI.

Satu aspek khusus dari penangkapan ini menonjol: Banyak dari mereka yang ditangkap memiliki anak laki-laki, yang dua puluh tahun kemudian muncul sebagai pemimpin JI, dan atau peserta aktif dalam operasi jihad.

Misalnya, lanjut Jones, empat pimpinan DI yang ditangkap selama satu periode adalah Haji Faleh dan Achmad Husein dari Kudus; Muhammad Zainuri dari Madiun; dan Bukhori dari Magetan.

Putra Haji Faleh, Abu Rusdan, menjadi juru kunci JI atau amir, setelah Abu Bakar Ba'asyir ditangkap pada 2002, meskipun dia tidak pernah terlibat dalam kekerasan.

Salah satu putra Achmad Husein, Taufik Ahmad alias Abu Arina, menjadi pemimpin JI Jawa Tengah. Putra Zainuri, Fathurrahman al-Ghozi, terbunuh di Mindanao, Filipina pada 2003, dan terlibat dalam pengeboman JI di Jakarta dan Manila.

Anak bungsunya, Ahmad Rofiq Ridho alias Ali Zein, ditangkap terkait dengan Noordin Top. Putra Bukhori, Lutfi Haedaroh alias Ubeid, juga ditangkap untuk kedua kalinya, sehubungan dengan kamp pelatihan jihad di Aceh.

Sidney menambahkan bahwa baik Ubeid dan saudaranya Umar Burhanuddin, bekerja dengan Noordin menjelang pengeboman kedutaan pada 2004.

Anak perempuan pemimpin DI yang ditangkap pada 1970-an, juga berakhir sebagai istri pemimpin JI pada 1990-an.

"Jika Indonesia bisa belajar dari masa lalu, maka program kontra radikalisasi harus disasar pada adik-adik dan anak-anak radikal yang ditangkap," sara Jones.

Ini mengarah pada pertanyaan tentang sekolah. Kartosoewirjo, lebih dari Daud Beureueh atau Kahar Muzakkar, yag memahami bahwa indoktrinasi dan regenerasi berjalan beriringan.

"Sekolah yang didirikan, Institut Suffah, menggabungkan studi politik dan agama dengan pelatihan militer, sehingga menjadi model bagi sekolah-sekolah JI terkenal, seperti pesantren al-Mukmin di Ngruki, atau Lukmanul Hakiem di Johor, Malaysia," lanjut Jones.

Bahkan ketika JI tampaknya telah memasuki masa dormansi, sekolah-sekolah afiliasinya di Jawa, Lampung, Lombok dan di tempat lain, adalah kunci kelangsungan hidup jangka panjangnya.

"Karena di sinilah anak-anak pemimpin saat ini dididik. Badan anti-teror, BNPT, harus memiliki salah satu program prioritas," sarannya.

Menurut Jones, program ini untuk memastikan bahwa sekolah-sekolah itu, lebih dari 50 pada hitungan terakhir, tunduk pada pengawasan pemerintah yang lebih besar.

"Bahwa juga, anak-anak yang terdaftar di dalamnya terlibat dalam kegiatan masyarakat yang menarik mereka ke jaringan sosial yang lebih luas," kata Jones.

Jones menambahkan, sejarah DI menawarkan pula pelajaran lain, yang sebaiknya dipelajari Indonesia: Ketika kepemimpinan menjadi tua atau pasif, sayap militan baru muncul siap untuk berperang.

"Perpecahan ideologis, perbedaan kebijakan dan perselisihan kepribadian telah menjadi ciri DI dari kebangkitannya di awal 1970-an hingga sekarang," tambahnya.

Perpecahan yang paling terkenal, terjadi pada 1993 yang menghasilkan Jemaah Islamiyah.

"Tetapi, faksi-faksi lain muncul sebagai ketidakpuasan yang meningkat pada 1999 dan 2000, dengan pendekatan DI dalam konflik di Ambon dan Poso," jelasnya.

Pun, Noordin Top memisahkan diri dari JI pada 2003-2004, membawa pengikutnya ke arah yang lebih militan.

Aliansi lintas organisasi yang membangun kamp pelatihan di Aceh telah mewakili elemen-elemen yang tidak puas dari sejumlah kelompok, yang semuanya kritis atas mundurnya JI dari jihad aktif.

"Darul Islam bukanlah bagian dari museum. Darul Islam terus berkembang, cabang-cabangnya terus menjadi inti dari Islam militan di Indonesia, dan gagasan negara Islam terus bergema di generasi-generasi baru," tanbah Jones.

"Jadi, siapa pun yang meragukan kekuatan abadi Darul Islam untuk menginspirasi anak muda Indonesia, harus membaca wasiat terakhir Iqbal alias Arnasan, salah satu dari dua pelaku bom bunuh diri dalam bom Bali pertama," ujar Jones.

Menurut Jones, Iqbal menulis kepada teman-teman dan keluarganya di Malingping, Provinsi Banteng, bekas benteng DI:

“Ingat wahai mujahidin Malingping, bagaimana imam kami SM Kartosuwirjo membangun dan menegakkan serta memproklamasikan kemerdekaan Negara Islam Indonesia dengan darah dan nyawa para syuhada..."

"...bukan dengan santai dan main-main seperti yang kita lakukan hari ini. Serius, kita ingin melihat kejayaan Negara Islam Indonesia yang terkubur bangkit kembali, menumpahkan darah kalian, agar tidak malu menghadap Allah, kalian yang mengakui diri kalian sebagai anak DI/NII".***

Editor: Slamet Bowo SBS

Sumber: International Crisis Croup

Tags

Terkini

Terpopuler