Rusia Dilanda Demo Tolak Wajib Militer: Polisi Diserang Senpi dan Bom Molotov!

- 3 Oktober 2022, 09:38 WIB
Papan keberangkatan di bandara Moskow.Sergei Vedyashkin /Kantor Berita Moskow
Papan keberangkatan di bandara Moskow.Sergei Vedyashkin /Kantor Berita Moskow /

TALLINN, KALBAR TERKINI – Seluruh wilayah Rusia dilanda aksi demo menyusul mobilisasi umum untuk menambah pasukan cadangan di Ukraina.

Demo ini disertai aksi kekerasan oloh warga, hanya lima hari setelah Presiden Vladinir Putin meneken dekrit tentang wajib militer tersebut.

Demikian pantauan The Associated Press dari Tallinn, Ibukota Estonia, Selasa, 27 September 2022, sebagaimana dikutip Kalbar-Terkini.com.

Demo di wilayah-wilayah perbatasan negara, menimbulkan antrean panjang mobil di jalan yang meliuk-liuk.

Baca Juga: Rusia Berlakukan Wamil, Banyak Pria Eksodus Takut Jadi Umpan Meriam!

Sebutlah di perbatasan Rusia dengan Georgia, Kazakhstan dan Mongolia, dan juga antrian serupa terjadi si bandara-bandara.

Demonstrasi kemarahan tersebut telah menyebar ke seluruh Rusia, tidak hanya di Moskow dan St Petersburg.

Bahkan di provinsi terpencil di utara Yakutia dan di wilayah selatan Dagestan, para wanita turun ke jalan.

Mereka mengejar petugas-petugas polisi dan berteriak, “Tidak untuk perang!”

Baca Juga: Georgia Marak Unjuk Rasa Tolak Eksodus Wamil Rusia

Di kantor pedaftaran wajib militer di Kota Siberia, seorang pria bersenjata melepaskan tembakan.

Tembakan itu melukai komandan militer di kantor tersebut."Kita semua akan pulang sekarang,” teriaknya.

Mobilisasi parsial itu telah memicu protes yang marah, eksodus yang menakutkan, dan tindakan kekerasan di seluruh negeri yang luas itu.

"Panik. Semua orang yang saya kenal panik,” kata David, seorang Rusia.

David hanya memberikan nama depannya karena takut akan pembalasan, dalam sebuah wawancara dengan The Associated Press di perbatasan Georgia.

Baca Juga: Park Bo Gum Selesaikan Wamil dan Lulus Jadi Tukang Cukur

“Kami lari dari rezim yang membunuh orang.”

Kremlin dilaporkan ingin mempromosikan referendum yang diatur di bagian-bagian yang didudukinya di Ukraina.

Wilayah-wilayah itu diharapkan bergabung dengan Rusia dalam sebuah langkah yang mirip dengan aneksasi Krimea pada 2014.

Hanya saja, langkah Putin tersebut dilaporkan malah berurusan dengan ketidakstabilan, dan kekacauan di dalam negeri.

Dalam pidato mobilisasi pada Rabu, Putin menyatakan bahwa Kremlin akan mendukung wilayah Donetsk, Luhansk, Zaporizhzhia dan Kherson.

Wilayah-wilayah Ukraina yang mayoritas populasinya ketturunan Rusia itu dinyatakannya ingin bergabung dengan Rusia.

Tapi, suasana di Rusia sendiri sama sekali tidak meriah.

Kekhawatiran memuncak bahwa Moskow mungkin akan menutup perbatasan setelah referendum di Ukraina berakhir.

Hal ini mendorong antrean panjang mobil di perbatasan Rusia.

Obrolan lewat Telegram yang didedikasikan untuk beberapa penyeberangan ini membengkak dengan ribuan pengguna baru.

Pada Senin lalu, Layanan online Yandex Maps menunjukkan kemacetan lalu lintas sepanjang 18 kilometer di sebuah jalan di wilayah Ossetia Utara Rusia.

Jalan itu mengarah ke perbatasan dengan Georgia.

Cabang regional dari Layanan Keamanan Federal, atau FSB, mengerahkan kendaraan lapis baja ke persimpangan tersebut. .

Menurut para pejabat kepada situs berita RBC Rusia, tindakan itu dilakukan untuk berjaga-jaga.

Hal itu untuk mencegah jika pasukan cadangan ingin menerobos pos pemeriksaan (perbatasan).

Pasukan ini bisa saja meninggalkan Rusia tanpa menyelesaikan formalitas perbatasan apa pun.

“Pemberitahuan panggilan sedang disajikan untuk semua orang,” kata Roman Isif, seorang Rusia yang menyeberang ke Larsi, Georgia.

‘Tidak ada yang tahu siapa yang akan menerimanya besok,” lanjutnya.

“Karena itu, kami memutuskan dengan teman-teman untuk sementara waktu beristirahat di negara yang indah ini,” tambah Isif.

Antrean panjang dan keramaian dilaporkan terjadi pada Minggu di setidaknya dua dari empat bandara di Moskow.

Tiket ke tujuan yang masih tersedia untuk Rusia setelah Uni Eropa menghentikan semua penerbangan langsung.

Tiket tujuan Turki, Armenia, Serbia, dan Dubai telah terjual habis selama berhari-hari, meskipun harganya selangit.
Media Rusia, termasuk outlet yang dikelola negara, melaporkan pada Senin, penjaga perbatasan mulai mengusir orang-orang di perbatasan.

Televisi pemerintah melukiskan gambaran cerah tentang upaya mobilisasi.

Russia 1 TV pada Minggu menunjukkan kerumunan pria yang bersemangat mengantre untuk mendaftar di hampir setiap wilayah.

Tapi, kenyataannya berbeda.

Kantor pendaftaran dan gedung administrasi lainnya telah dibakar sejak dimulainya pengumuman itu.

Insiden seperti itu biasanya melibatkan bom Molotov.

Belakangan, serangan bom ini telah menjadi hal biasa selama invasi tujuh bulan Rusia di Ukraina.

Serangan bom molotov telah tumbuh dalam jumlah dan frekuensi setelah pidato Putin.

Outlet berita independen Rusia menghitung setidaknya 17 insiden seperti itu dalam beberapa hari terakhir, di atas 37 sebelum mobilisasi diumumkan.

Seorang pria masuk ke kantor pendaftaran di Kota Ust-Ilimsk Siberia, dan menembak komandan militer dari jarak dekat.

Media Rusia melaporkan, pria itu diidentifikasi sebagai Ruslan Zinin (25).

Zinin dilaporkan kesal karena sahabatnya yang tidak memiliki pengalaman tempur dipanggil.

Pihak berwenang mengatakan, pengalaman seperti itu akan menjadi kriteria utama untuk mobilisasi.

Zinin, yang ditangkap, dilaporkan berkata, "Tidak ada yang akan pergi berperang," dan "Kita semua akan pulang sekarang."

Korbannya dirawat di rumah sakit dalam perawatan intensif dalam kondisi sangat parah, menurut laporan itu.

Juga pada Senin, seorang pria membaar diri sendiri di sebuah stasiun bus di Ryazan, sebuah kota sekitar 200 kilometer tenggara Moskow.

Dia dilaporkan menyiram dirinya dengan cairan yang mudah terbakar dan membakar dirinya sendiri.

Dia berteriak tidak ingin mengambil bagian dalam ‘operasi militer khusus Rusia’.

Dia dilaporkan menderita luka ringan, dan ditahan oleh polisi.

Meskipun insiden-insiden ini meresahkan, penyebaran protes ke basis dukungan Putin yang jauh, bisa lebih mengkhawatirkan bagi Kremlin.


Para wanita menghadapi pihak berwenang dan menyebut mereka ‘mengambil putra-putra kami’.

Mobilisasi tersebut diklaim berjumlah sekitar 300.000 orang.

Namun, beberapa laporan media mengklaim pihak berwenang berencana mengumpulkan lebih dari sejuta, yang belakangan dibantah Moskow.

Demonstrasi awal menentang mobilisasi ditindas secara brutal oleh polisi, dan ratusan orang ditahan tak lama setelah diumumkan.

Tapi lebih banyak aksi lagi yang pecah di berbagai daerah.

Selama akhir pekan, para wanita berunjuk rasa menentang panggilan di provinsi terpencil Yakutia di ujung utara Rusia.

Di Mahachkala, ibu kota Provinsi Dagestan yang berpenduduk mayoritas Muslim, kerumunan wanita berjilbab berkumpul pada Minggu.

Mereka meneriakkan: “Tidak untuk perang.”

Beberapa dari mereka mengejar seorang petugas polisi yang menjauh dari protes.

Sementara yang lain berdiri di depan mobil polisi, mencegahnya bergerak, dan menuntut pembebasan para pengunjuk rasa yang ditahan.

Protes di Dagestan berlanjut Senin, dengan demonstran bentrok dengan polisi.

Kemarahan juga tumpah ke jalan-jalan di wilayah Kaukasus Utara lainnya, Kabardino-Balkaria.

Video menunjukkan kerumunan wanita mengelilingi seorang pria berjas, yang diidentifikasi oleh media sebagai pejabat lokal.

"Apakah Anda tahu ke mana Anda mengirimnya?" teriak seseorang.

Dagestan, serta wilayah Buryatia di Siberia, termasuk di antara beberapa wilayah minoritas.

Sejumlah etnis minoritas di wilayah-wilayah itu telah dikerahkan untuk berperang, dan tewas di Ukraina.

“Untuk negara kami, kami bukan warganya, tetapi umpan meriam dalam perang ini. Hanya sumber daya,” kata Pavel (40).

Dia melarikan diri ke Mongolia minggu lalu untuk menghindari panggilan.

“Siberia dan Timur Jauh sedang aktif dijual — kayu, mineral, tanah yang disewa selama 50 tahun. Dan ternyata, masyarakat yang tinggal di sini juga diolah sebagai sumber daya,” tambahnya.

Putin dianggap mempertaruhkan banyak dengan mengumumkan mobilisasi.

Karena itu, Putin dianggap kehilangan dukungan, dan menciptakan situasi pra-revolusioner.

“...protes, insiden pembakaran di kantor pendaftaran," kata analis politik Abbas Gallyamov.

“Mengingat suasana ketidakstabilan dan kemunduran medan perang Rusia baru-baru ini, referendum di Ukraina tidak mungkin memiliki pengaruh pada opini publik,” ujarnya.

“Tidak ada yang membutuhkan referendum ini – bukan publik Rusia, bahkan para patriot lagi,” tambah Gallyamov.***

Sumber: The Associated Press

Editor: Slamet Bowo SBS

Sumber: The Associated Press


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x