Rakyat Iran Bahagia, Penista Islam Disebut dalam Perjalanan ke Neraka

- 15 Agustus 2022, 04:20 WIB
Salman Rushdie, penulis novel 'Ayat-ayat Setan' (The Satanic Verses) yang ditikam oleh Hadi Matar di New York, AS, pada Jumat, 12 Agustus 2022. Usai ditikam,  novelnya banyak dicari.
Salman Rushdie, penulis novel 'Ayat-ayat Setan' (The Satanic Verses) yang ditikam oleh Hadi Matar di New York, AS, pada Jumat, 12 Agustus 2022. Usai ditikam, novelnya banyak dicari. /TH/Graham Turner


KALBAR TERKINI - Rakyat Iran menyambut bahagia berita penikaman terhadap penulis buku 'Ayat-ayat Setan (The Satanic Verses)' Salman Rushdie.

Novel ini sejak terbit pada akhir dekade 1980-an telah memicu aksi demo dan kekerasan di banyak negara Islam dan pembunuhan di sejumlah negara non-Islam.

Dalam novel itu, penulis gaek asla India yang lama tinggal di Inggris ini, dianggap menghina Nabi Muhammad.

Baca Juga: Profil Salman Rushdie, Penulis Buku Ayat-ayat Setan asal India yang Ditikam di New York Amerika

'The Satanic Verses' diklaim memutarbalikkan balikkan makna dari ayat-ayat suci Al Qur'an, yang disebut oleh Rushdie sebagai 'ayat-ayat setan'.

Pasca peristiwa penikaman di New York pada Jumat, 12 Agustus 2022, Pemerintah Iran cenderung tak menanggapi.

Beda halnya dengan rakyat dan media-media massa Iran.

Tajuk utama halaman depan media-media yang menulis beragam pandangan tentang peristiwa itu.

Baca Juga: Salman Rushdie Dicincang Pisau dan Tinju: Penista Islam lewat 'Ayat-ayat Setan'

Serangan yang dilakukan oleh Hadi Matar (27), warga AS asal Lebanon di sebuah lokasi retret nirlaba itu, dipuja-puji.

Bahkan, dilansir Kalbar-Terkini.com dari The Associated Press, Sabtu, 13 Agustus 2022, koran konservatif Khorasan memuat gambar besar Rushdie di atas tandu.

Berita itu berjudul 'Setan sedang di Jalan Menuju Neraka', yang menggambarkan bahwa Rusdi yang sekarat akibat tikaman dan tinju, sedang dalam perjalanan menuju neraka jahanam.

Koran garis keras lainnya, semisal Vatan-e Emrouz memberi subjudul untuk laporan utamanya: 'Pisau di Leher Salman Rushdie', dengan judul utama: "Salman Rushdie Hampir Mati?".

Baca Juga: Iran 'Cuek Bebek' Tanggapi Penikaman Salman Rushdie, Marandi: Aneh...

Harusnya, kata 'mati' untuk sebutan bagi binatang, dan manusia adalah 'meninggal' atau 'wafat'.

Sementara itu, Kejaksaan Tinggi New York menilai, mengingat banyaknya simpati umat Islam terhadap pelaku, maka berapa pun denda terhadap pembebasan bersyarat Matar pasti terbayar.

The Associated Press melaporkan, Minggu, 14 Agustus 2022, Rushdie dilepas dari ventilator, dan dapat berbicara sejak Sabtu.

Ini terjadi hanya sehari setelah Rushdie berulangkali ditikam dan dihajar bogem mentah ketika dia bersiap untuk memberikan kuliah di Chautauqua Institution.

Pusat pendidikan dan retret nirlaba ini berlokasi di utara Kota New York.

Rushdie tetap dirawat di rumah sakit dengan cedera serius. Rekannya sesama penulis, Aatish Taseer mentweet pada malam hari bahwa dia 'tidak menggunakan ventilator dan berbicara (dan bercanda)'.

Agen Rushdie, Andrew Wylie, membenarkan informasi itu, tanpa memberikan rincian lebih lanjut.

Mata mengaku tidak bersalah atas tuduhan percobaan pembunuhan dan penyerangan dalam apa yang disebut jaksa sebagai kejahatan 'terencana'.

Seorang pengacara untuk Matar telah mengajukan pembelaan atas namanya selama dakwaan di New York barat.

Tersangka muncul di pengadilan mengenakan jumpsuit hitam dan putih dan masker wajah putih, dengan tangan diborgol.

Seorang hakim memerintahkan agar Matar ditahan tanpa jaminan.

Perintah ini setelah Jaksa Wilayah Jason Schmidt menyatakan kepadanya bahwa Matar sengaja menempatkan dirinya dalam posisi untuk menyakiti Rushdie.

Matar juga disebut mendapatkan izin terlebih dahulu ke acara, dan tiba sehari lebih awal dengan membawa tanda pengenal palsu.

“Ini adalah serangan yang ditargetkan, tidak diprovokasi, dan tidak direncanakan sebelumnya terhadap Rushdie,” kata Schmidt.

Pembela umum Nathaniel Barone mengeluh bahwa pihak berwenang membutuhkan waktu terlalu lama untuk membawa Matar ke depan seorang hakim.

"Dia memiliki hak konstitusional untuk dianggap tidak bersalah," tambah Barone.

"Rushdie menderita kerusakan hati dan putus saraf di lengan dan mata," kata Wylie, Jumat malam.

Rushdie kemungkinan besar akan kehilangan matanya karena terluka.

Adapun serangan itu disambut dengan kejutan dan kemarahan dari sebagian besar masyarakat dunia.

Selain itu bermunculan tanggapan yang menghormati dan pujian untuk penulis pemenang penghargaan yang selama lebih dari 30 tahun menghadapi ancaman pembunuhan.

Kalangan penulis, aktivis, dan pejabat pemerintah mengutip keberanian Rushdie.

Juga terkait advokasi kebebasan berbicara yang sudah lama dilakukannya meskipun ada risiko untuk keselamatannya.

Penulis dan teman lama Rushdie, Ian McEwan, menyebutnya 'pembela inspirasional dari penulis dan jurnalis yang teraniaya di seluruh dunia'.

Aktor-penulis Kal Penn menyebutnya sebagai panutan 'untuk seluruh generasi seniman'.

Sementara Presiden AS Joe Biden pada Sabtu menyatakan bahwa dia dan ibu negara Jill Biden 'terkejut dan sedih' oleh serangan itu.

Menurut Biden, Rushdie melambangkan cita-cita yang esensial dan universal.

Hal ini terlihat dari wawasannya tentang kemanusiaan, dengan selera cerita yang tak tertandingi, dengan penolakannya untuk diintimidasi atau dibungkam.

"Kebenaran, keberanian, ketangguhan, dan kemampuan untuk berbagi ide tanpa rasa takut. Ini adalah blok bangunan dari setiap masyarakat yang bebas dan terbuka," kata Biden.

Rushdie, penduduk asli India yang sejak dburu telah tinggal di Inggris dan AS, dikenal dengan gaya prosa surealis dan satirnya.

Ini dimulai dengan novel pemenang Booker Prize 1981 berjudul 'Midnight's Children', di mana Rushdie mengkritik tajam perdana menteri India saat itu, Indra Gandhi.

'The Satanic Verses' mendapat ancaman pembunuhan dari kalangan Muslim setelah diterbitkan pada 1988.

Buku Rushdie telah dilarang dan dibakar di India, Pakistan dan di tempat lain sebelum Ayatollah Agung Iran, Ruhollah Khomeini mengeluarkan fatwa.

Fatwa atau dekrit ini yang menyerukan kematian Rushdie pada 1989.

Khomeini meninggal pada tahun yang sama, namun fatwa tersebut tetap berlaku.

Pemimpin tertinggi Iran saat ini, Khamenei, tidak pernah mengeluarkan fatwanya sendiri untuk mencabut dekrit tersebut.

Iran sendiri dalam beberapa tahun terakhir tidak berfokus kepada penulisnya.

Adapun penyelidik di AS sedang bekerja untuk menentukan apakah tersangka, yang lahir satu dekade setelah 'The Satanic Verses' diterbitkan, bertindak sendiri.

Jaksa Wilayah Schmidt menyinggung fatwa tersebut sebagai motif potensial dalam menentang jaminan.

Masih dari Teheran. Beberapa orang yang bersedia berbicara dengan The Associated Press, memuji serangan yang menargetkan penulis yang menodai iman Islam itu.

Di jalan-jalan ibukota Iran, gambar mendiang Ayatollah Ruhollah Khomeini masih 'mengintip' orang-orang yang lewat.

“Saya tidak tahu Salman Rushdie, tapi saya senang mendengar bahwa dia diserang karena menghina Islam,” kata Reza Amiri, seorang kurir berusia 27 tahun.

"Ini adalah nasib bagi siapa saja yang menghina kesucian," lanjutnya.

Namun, warga yang lain khawatir bahwa Iran dapat menjadi lebih terputus dari dunia, karena ketegangan tetap tinggi atas kesepakatan nuklirnya yang compang-camping.

“Saya merasa mereka yang melakukannya mencoba mengisolasi Iran,” kata Mahshid Barati, seorang guru geografi berusia 39 tahun.

“Ini akan berdampak negatif pada hubungan dengan banyak orang, bahkan Rusia dan China," tambahnya.

Khomeini, dalam kondisi kesehatan yang buruk pada tahun terakhir hidupnya setelah perang Iran-Irak pada dekade 1980-an.

Usai perang yang menghancurkan perekonomian Iran, Khomeini mengeluarkan fatwa tentang Rushdie pada 1989.

“Saya ingin memberi tahu semua Muslim pemberani di dunia bahwa penulis buku itu serta penerbit yang mengetahui isinya, dengan ini dijatuhi hukuman mati,” kata Khomeini pada Februari. 1989.

Lewat Radio Teheran, Khomeini menambahkan: "Siapa pun yang terbunuh, akan dianggap sebagai martir, dan langsung masuk surga."

Pada 3 Agustus 1989, Pemerintah Iran mencatat bahwa satu orang diidentifikasi terbunuh ketika mencoba melaksanakan fatwa.

Warga negara Lebanon, Mustafa Mahmoud Mazeh, tewas ketika sebuah bom buku yang dia bawa meledak sebelum waktunya di sebuah hotel di London.

Matar, pria yang menyerang Rushdie, lahir di AS dari orang tua Lebanon, yang beremigrasi dari desa selatan Yaroun, menurut Walikota Ali Tehfe.

Yaroun hanya berjarak beberapa kilometer dari Israel.

Pada masa lalu, militer Israel telah menembaki apa yang digambarkan sebagai posisi milisi Syiah yang didukung Iran, Hizbullah, di sekitar daerah itu.

Tetapi, Yayasan Khordad ke-15, tetap diam di awal minggu kerja.

Yayasan ini memberikan hadiah lebih dari tiga juta dolar AS bagi siapa saja yang bisa membunuh Rushdie.

Staf di sana menolak untuk segera berkomentar dengan alasan bahwa pejabat yayasan tak berada di kantor.

Yayasan tersebu biasanya berfokus pada pemberian bantuan kepada orang cacat dan orang lain yang terkena dampak perang.

Namanya mengacu pada protes 1963 terhadap mantan Syah Iran oleh para pendukung Khomeini.

Seperti yayasan lain, dikenal sebagai 'bonyad' di Iran yang didanai sebagian oleh aset yang disita dari masa Shah Iran, yayasan ini sering melayani kepentingan politik garis keras.

Para reformis di Iran sebenarnya ingin perlahan-lahan meliberalisasi teokrasi Syiah negara itu dari dalam.

Mereka menginginkan hubungan yang lebih baik dengan Barat, dan telah berusaha menjauhkan pemerintah negara itu dari dekrit tersebut.

Hal ini terungkap lewat pernyataan Menteri luar negeri di era presiden reformis Mohammad Khatami pada 1998.

Menurutnya, pemerintah melepaskan diri dari penghargaan apa pun yang telah ditawarkan dalam hal ini (fatwa), dan tidak mendukungnya.

Rushdie perlahan mulai muncul kembali ke kehidupan publik sekitar waktu itu.

Tetapi beberapa orang di Iran tidak pernah melupakan fatwa yang menentangnya.

Sabtu lalu, Mohammad Mahdi Movaghar, seorang warga Teheran berusia 34 tahun, mengaku memiliki 'perasaan yang baik' setelah Rushdie diserang.

“Menyenangkan. Mereka yang menghina hal-hal suci umat Islam, selain hukuman di akhirat, akan mendapatkan hukuman di dunia, dari orang Islam sendiri," katanya.

Namun, yang lain khawatir bahwa serangan itu – terlepas dari mengapa itu dilakukan – dapat melukai Iran.

Ini karena insiden itu terjadi ketika Iran mencoba untuk menegosiasikan kesepakatan nuklirnya dengan kekuatan dunia.

“Itu (penikaman Rushdie) akan membuat Iran lebih terisolasi,” kata mantan diplomat Iran, Mashallah Sefatzadeh.

Sementara fatwa dapat direvisi atau dicabut, Pemimpin Tertinggi Iran saat ini Ayatollah Ali Khamenei tidak pernah melakukannya.

“Keputusan yang dibuat tentang Salman Rushdie masih berlaku,” kata Khamenei pada 1989.

“Seperti yang telah saya katakan, ini adalah peluru yang ada targetnya. Ini telah ditembak. Suatu hari, cepat atau lambat, akan mencapai target," tegasnya.

Pada Februari 2017, Khamenei dengan singkat menjawab pertanyaan terkait.

“Apakah fatwa tentang kemurtadan pembohong terkutuk Salman Rushdie masih berlaku? Apa kewajiban seorang Muslim dalam hal ini?”

Khamenei pun menjawab: “Keputusan itu seperti yang dikeluarkan Imam Khomeini.”

Kemudian, seperti diyakini Khamenei lewat pernyataannya pada 1989, maka 'peluru' itu akhirnya mencapai target!***

Editor: Slamet Bowo SBS

Sumber: The Associated Press


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x