KALBAR TERKINI - 'Melawan lupa'. Inilah kata yang setidaknya tepat bagi rakyat Filipina ketika mereka memilih Ferdinand 'Bingbong' Marcos Jr sebagai presiden.
Kemegahan dari pelantikan Bingbong pada Sabtu, 2 Juli 2022 di Manila, Ibukota Filipina, sangat kontras dengan nasib ayahnya pada 1986.
Kala itu, diktator Filipina, Ferdinand Emmanuel Edralin Marcos Sr alias Ferdinand Marcos, kabur tergesagesa dari Malacanang karena istana kepresidenan ini , diserbu oleh rakyat, yang jumlahnya mencapai jutaan berdemo di Metro Manila.
Baca Juga: Kartel Taiwan Kendalikan Asia Pasifik: Indonesia Pasar Empuk, Mayoritas Masuk lewat Kapal Nelayannya
Sang ibu, Imelda Marcos, juga panik sehingga tak sempat menyelamatkan sepatu-sepatu dan busana-busana mewahnya, karena harus segera dievakusi oleh helikopter militer AS ke Honolulu, Ibukota Negara Bagian Hawaii, AS.
Diktator Filipina ini akhirnya mengakhiri rezimnya yang berkuasa pada 30 Desember 1965-25 Februari 1986, yang taj lama kemudian kemudian disusul sobat dekatnya dari Indonesia, Presiden Soeharto.
Pada 1986, militer Filipina tak berdaya melawan gerakan dari kekuatan rakyat Filipina, populer dengan sebutan People Power, suatu revolusi damai, revolusi tanpa darah.
Baca Juga: Kartel Taiwan Kendalikan Asia Pasifik: Indonesia Pasar Empuk, Mayoritas Masuk lewat Kapal Nelayannya
Rakyat Filipina bersama para tokoh gereja Katolik, agama yang dominan di Filipina, ketika itu turun ke jalan-jalan.
Rezim Marcos pun terkejut, tak menyangka jika kematian senator dan tokoh oposisi Benigno 'Ninoy' Aquino Jr pada 21 Agustus 1983, sanggup memicu kemarahan rakyat.
Mantan wartawan Manila Time sini, dibantai setelah kembali dari pengasingan selama tiga tahun AS.
Dan, tiga tahun kemudian, Marcos ditumbangkan lewat suatu gerakan berjulukan Revolusi EDSA atau Revolusi Kekuatan Rakyat (People Power).