Kasus Kepemilikan Kalimantan Utara Berlanjut, Mantan Jaksa Agung Malaysia Digugat

12 Oktober 2022, 08:54 WIB
Mantan Jaksa Agung Malaysia Tommy Thomas /Malaysia Today

PETALING JAYA, KALBAR TERKINI - Mantan Jaksa Agung Malaysia dituding menyalahgunakan jabatannya sebagai pejabat publik.

Hal ini karena Tommy Thomas salah menangani klaim keturunan Kesultanan Sulu terhadap pemerintah Malaysia atas wilayah Kalimantan Utara.

Tudingan ini tercantum dalam nota gugatan kepada Tommy Thomas, mantan pengacara negara itu, dilansir Kalbar-Terkini.com dari Free Malaysia Today (FMT), Senin, 10 Oktober 2022.

Karena dianggap salah menangani perkara gugatan tersebut, Malaysia mengalami kerugian 14,92 miliar dolar AS.

Baca Juga: Malaysia kian Kisruh, Banyak Negara Bagian Tolak Bubarkan Majelis Legislatif!

Dua wakil menteri Sabah termasuk di antara sembilan penggugat yang mengajukan gugatan terhadap Tommy.

Mereka menuntut deklarasi bahwa Thomas, penasihat hukum pemerintah antara Juni 2018 dan Februari 2020, telah menyalahgunakan jabatan publik.

Selain Jeffrey Kitingan dan Joachim Gunsalam, para penggugat lainnya adalah Menteri Sabah Jahid Jahim dan Ellron Angin.

Juga Asisten Menteri Negara Joniston Bangkuai, Abidin Madingkir, Robert Tawfik, Julita Mojungki, dan Flovia Ng.

Baca Juga: Dayak Malaysia Bangkit Melawan Model Politik Identitas Islam Melayu

Gugatan itu diajukan di Pengadilan Tinggi Kota Kinabalu pada 16 Agustus 2022.

Sedangkan surat-surat hukum diajukan kepada Thomas di firma hukumnya di Kuala Lumpur, awal Oktober 2022.

Dalam pernyataan gugatan yang dilihat oleh FMT, penggugat menginginkan Thomas menarik pernyataan yang merugikan.

Thomas juga dituntut tak boleh membuat pernyataan publik terkait putusan arbitrase, yang dikeluarkan arbiter Spanyol, Gonzalo Stampa.

Pada Februari 2022, pengadilan arbitrase Prancis mencatat keputusan Stampa.

Putusan itu yakni Malaysia harus membayar RM62,59 miliar (14,92 miliar dolar AS) kepada keturunan Sultan Sulu.

Hal ini karena Pemerintah Malaysia dinilai terbukti telah melanggar perjanjian tahun 1878.

Namun, Malaysia melawan putusan Stampa, yang pertama kali memulai kasus tersebut di Madrid, Ibukota Spanyol.

Perkara itu kemudian disidangkan di Paris, Ibukota Prancis.

Penggugat juga menuntut Thomas membayar 14,92 miliar dolar AS sebagai akibat dari tindakan atau kelambanannya.

Menurut gugatan itu, keturunan Sulu telah melayani pemberitahuan awal dengan niat memulai arbitrase pada November 2017.

Mereka kemudian mengajukan permohonan penunjukan yudisial untuk seorang arbiter di Pengadilan Tinggi Madrid, Februari 2018.

Pada November 2018, Malaysia tidak terwakili dalam permohonan tersebut.

Tapi, Pengadilan Tinggi Madris memutuskan bahwa Putrajaya telah melakukan wanprestasi atas permohonan tersebut.

Pada Mei 2019, pengadilan menunjuk Stampa sebagai arbiter tunggal.

Stampa kemudian mengeluarkan pemberitahuan ke Malaysia untuk menghadiri konferensi di Madrid pada 24 Oktober dan 25 Oktober 2019.

Penggugat menyatakan, Thomas gagal menanggapi pemberitahuan.

Thimas juga tidak menghadiri pertemuan untuk membela posisi Malaysia.

Selain itu Thomas telah memutuskan bahwa Malaysia tidak boleh mengambil bagian.

Malaysia juga diputuskan olehnya supaya tidak campur tangan dalam proses arbitrase untuk menantang yurisdiksi Stampa.

Menurut gugata, hal ini mengakibatkan Stampa mengabulkan klaim keturunan Sultan Sulu.

Menurut gugatan, Thomas menulis surat kepada pengacara keturunannya, Paul Cohen, 19 September 2019.

Isinya, sangat disesalkan bahwa pembayaran tahunan RM5.300 tahunan kepada ahli waris Sultan Sulu telah dihentikan sejak 2013.

Tetapi menurut Thomas, Malaysia 'mampu dan bersedia' membayar tunggakan.

Para penggugat, antara lain, berpendapat, kegagalan Thomas untuk menyatakan dengan benar posisi hukum Malaysia, menyebabkan kerugian negara 14,92 miliar dolar AS.

Gugatan menyebutkan, surat Thomas pada 19 September 2019 itu sangat cacat, dan sangat merugikan Malaysia.

Sementara Thomas sendiri disebut tidak menyadari bahwa arbitrase tersebut merupakan serangan terhadap kedaulatan negara.

Juga merupakan serangan terhadap hak-hak komersial negara di luar negeri.

Para penggugat juga menyatakan, Thomas mengeluarkan surat itu tanpa konsultasi.

Pun tanpa persetujuan yang layak dari Kabinet Malaysia saat itu.

Menurut gugatan, Thomas telah melakukan kesalahan dalam jabatan publik.

Ini karena Thomas gagalmengambil bagian dalam atau menghentikan proses arbitrase serta mengeluarkan surat pada 19 September 2019.

Perselisihan ini bermula pada Akta Penyerahan 1878 antara Sultan Sulu saat itu, Sultan Jamal Al Alam.

Pun hadir Baron de Overbeck, Maharaja Sabah saat itu, dan Alfred Dent dari British North Borneo Company.

Berdasarkan perjanjian, Jamal menyerahkan kedaulatan atas sebagian besar Sabah kepada Dent dan Overbeck.

Jamal setuju bahwa mereka dan ahli waris masa depan harus membayar kepada ahli waris Sultan Sulu senilai 5.000 dolar Meksiko setiap tahun.

Pada 1936, Sultan Sulu yang diakui secara resmi sebagai sultan terakhir, Jamalul Kiram II, meninggal tanpa ahli waris.

Maka, pembayaran untuk sementara dihentikan.

Hingga akhirnya, Ketua Pengadilan Tinggi Kalimantan Utara Charles F Macaskie menunjuk sembilan ahli waris pada 1939.

Malaysia mengambil alih pembayaran ini ketika menjadi penerus perjanjian setelah kemerdekaan Sabah dan pembentukan Malaysia pada 1963.

Belakangan, pembayaran – setara dengan RM5.300 setahun – berhenti pada 2013 setelah serangan oleh orang-orang bersenjata ke Lahad Datu, bersama pantai timur Sabah.***

Sumber: Free Malaysia Today

Editor: Slamet Bowo SBS

Sumber: Free Malaysia Today

Tags

Terkini

Terpopuler