JAHANAM!!! Partai Starm Kurs Bersikeras akan Bakar Massal Al Quran: Ikuti Seruan Rasmus Paludan!

20 April 2022, 22:16 WIB
Kerusuhan di Swedia akibat provokasi pembakaran Al-Qur'an oleh Rasmus Paludan. /@romaanbasit/Twitter/


STOCKHOLM, KALBAR TERKINI - Partai garis keras Swedia, Starm Kurs mengumumkan bakal kembali membakar Al Quran di wilayah-wilayah minoritas muslim di negara Skandinavia itu.

Rencana aksi itu untuk meniru perilaku brutal pendiri Starm Kurs, Rasmus Paludan, pengacara Denmark-Swedia, yang membakar dan (maaf) mengencingi Al Quran, yang dikenal anti-Islam dan provokator ulung di Denmark, tetangga Swedia.

Perilaku biadab dari politisi sayap kanan Swedia yang mendirikan Stram Kurs pada 2017 ini, juga hanya dianggap bukan masalah bagi kepolisian Denmark.

Baca Juga: Lars Vilks Pembuat Kartun Nabi Muhammad Tewas Kecelakaan di Swedia

Bahkan, perlawanan warga Muslim di Swedia yang masih mengamuk pada Selasa, 19 April 2022 malam ini, malah dianggap lelucon.

Masalahnya, hanya karena 'perbuatan' satu orang, para polisi disibukkan dengan aksi umat Islam itu. Polisi juga menyatakan, bahwa gelombang aksi itu bukanlah warga Muslim, melainkan para penjahat yang mencari 'kesempatan dalam kesempitan'.

Peristiwa itu berawal pada Jumat, 15 April 2022, ketika Paludan berbagi foto dengan 4.700 pengikut Instagram-nya yang memegang sebuah buku yang tampak dibakar di sudut-sudutnya. Judulnya berbunyi: 'Al-Qur’an Terbakar di Rinkeby'.

Baca Juga: Misteri Janin di Mumi Uskup Swedia: Ternyata Kisahnya Mengharukan

Dilansir Kalbar-Terkini.com dari The Local, 18 April 2022, kecaman terhadap Paludan dan hukum di Swedia ini, datang dari Tyge Trier, seorang pengacara yang berspesialisasi dalam kebebasan berbicara dan hak asasi manusia.

Mengutip wawancaranya dengan kantor berita Ritzau, Trier mengecam diskriminasi terkait kebebasan berbicara yang disediakan oleh konstitusi Denmark dan hukum Uni Eropa (UE).

Konstitusi Denmark dan UE tidak memberikan agitator hak untuk berulang kali melakukan tindakan, seperti membakar Alquran atau menyemprotkan air seni di atasnya.

Baca Juga: Jelang Polandia vs Swedia, Berebut Satu Tiket Piala Dunia 2022 Qatar Usai Tersingkirnya Rusia

"Beberapa kali kami melihat pemahaman bahwa jika Anda mengatakan ini tentang kebebasan berbicara, Anda memiliki hak untuk melakukan tindakan seperti ini, dan hak polisi untuk berada di sana," kata Trier.

“Tetapi, penilaian saya adalah bahwa tidak ada hak untuk (berulang kali) melakukan tindakan ini dalam waktu singkat di daerah padat penduduk di mana, misalnya, banyak Muslim yang taat tinggal,” lanjutnya.

Konstitusi Denmark dan Konvensi UE tentang Hak Asasi Manusia (HAM), memberikan kebebasan berbicara, dan kebebasan untuk berkumpul di tempat umum.

Tetapi, Trier menegaskan bahwa membiarkan ekspresi sepenuhnya tidak dibatasi adalah kesalahpahaman.

Pengacara ini mencatat serangkaian preseden dalam kasus-kasus dari Pengadilan HAM di Strasbourg, di mana hak atas kebebasan berbicara tidak diakui sebagai pembenaran atas kasus-kasus tertentu.

Dalam kasus-kasus homofobia, Islamofobia, atau penyangkalan Holocaust, dilarang diungkapkan di depan umum.

“Ini jelas merupakan wilayah hukum yang sangat sulit, karena beberapa elemen yang sangat penting dari Rule of Law sedang bermain,” kecam Trier.

“Tetapi, penilaian saya adalah bahwa polisi memiliki dasar hukum untuk mengatakan bahwa tindakan seperti itu [seperti pembakaran Alquran, red.] tidak diinginkan. Polisi mungkin telah berhati-hati di sini dan memberi (Paludan) tali panjang, ”katanya.

Trier menegaskan, Paludan tetap memiliki hak untuk menyebarluaskan pandangannya, terlepas dari ekstremitasnya.

Paludan juga telah menyebarkan pandangannya melalui saluran YouTube.

Pengacara tersebut menyatakan bahwa dia tidak mendukung pemberlakuan kembali undang-undang anti-penistaan agama Denmark, yang dihapus pada 2017.

“Kebebasan berbicara benar-benar penting bagi masyarakat kita. Tetapi, membakar Al-Qur’an di depan orang, misalnya di perumahan, dapat dibatasi secara hukum,” katanya.

Hingga Selasa ini, masih dari laporan The Local, Paludan bahkan merasa tak bersalah. Kelompoknya bahkan membalas aksi warga Muslim lewat aksi demo, yang menyebabkan kerusuhan di Swedia.

Paludan sebelumnya dilarang memasuki Swedia selama dua tahun. Namun larangan itu menjadi tidak berlaku setelah dikonfirmasi bahwa Paludan memiliki kewarganegaraan Swedia selain Denmark, karena kewarganegaraan salah satu orang tuanya.

Pada 2019, Paludan menjadi terkenal di Denmark melalui demonstrasi anti-Islam di daerah-daerah komunitas etnis minoritas yang cukup besar.

Ciri utama dari demonstrasi adalah pembakaran dan penodaan Alquran. Pada Kamis, 14 April 2022, pihak Paludan diberikan izin untuk mengadakan demonstrasi di lingkungan Skäggetorp di Linköping, di mana lebih dari 50 persen penduduknya lahir di luar negeri.

Kerusuhan dimulai di daerah itu sebelum demonstrasi. Rekaman dari tempat kejadian di Kota Linköping di pantai timur Swedia, menunjukkan sebuah mobil terbakar, dan puluhan orang bertopeng menyerang mobil polisi.

Tiga petugas polisi harus dibawa ke rumah sakit dan dua orang ditangkap. Kerusuhan terus meningkat selama akhir pekan pada Hari Paskah di Norrköping, Linköping dan Distrik Malmö di Rosengård, di mana sebuah sekolah dibakar.

Polisi menyatakan, petugas melukai tiga orang setelah melepaskan tembakan peringatan selama bentrokan pada Minggu.
Menurut Jonas Hysing, seorang komandan polisi, 26 petugasnya terluka, 20 kendaraan polisi rusak atau hancur, sementara 14 warga sipil terluka.

Sejauh ini, 26 orang telah ditangkap, dan secara keseluruhan, sekitar 200 orang terlibat dalam kerusuhan tersebut.

Menurut polisi, mereka yang terlibat memiliki hubungan dengan jaringan kriminal.

"Penjahat mengambil keuntungan dari situasi ini untuk menunjukkan kekerasan terhadap masyarakat, tanpa kaitan dengan demonstrasi," kata Kepala Polisi Nasional Swedia, Anders Thornberg dalam konferensi pers pada Senin.

“Ini adalah kejahatan yang sangat serius yang menargetkan masyarakat kita.

Ini lebih buruk dari kerusuhan kekerasan, dari sudut pandang saya. Ini adalah sesuatu yang lain. Ini bukan pemrotes tandingan biasa”, tambahnya.

Dalam sebuah wawancara dengan penyiar layanan publik, DR, Senin lalu, Kepala Persatuan Polisi Denmark (Politiforbundet) Claus Oxfeldt menyatakan bahwa situasinya 'mulai berkembang menjadi lelucon'.

“Maksud saya, kita menghabiskan banyak waktu untuk satu orang dan caranya bertindak dalam demokrasi,” lanjut Oxfeldt.

Sementara dari Jeddah, Arab Saudi, Arab News melaporkan bahwa negara-negara Arab dan Muslim mengecam keras rencana aksi kelompok Stram Kurs yang membakar salinan Al-Qur'an, buku paling suci dalam Islam, apalagi kejadian itu terjadi selama Bulan Ramadhan.

Bentrokan pecah di Norrkoping, Linkoping, Rinkeby, Malmo, Orebro, dan ibu kota Stockholm selama akhir pekan, ketika polisi berusaha mencegah terjadinya aksi pembakaran buku.

Arab Saudi mengutuk penyalahgunaan Al-Qur'an oleh kelompok itu dan menyebutnya sebagai hasutan terhadap Muslim.

Pemerintah Saudi sebaliknya juga menyerukan tentang pentingnya promosi budaya dialog, toleransi, dan koeksistensi agama, sebagaimana ditegaskan oleh Kementerian Luar Negeri Kerajaan Arab Saudi.

Kerajaan menekankan pentingnya meninggalkan kebencian, ekstremisme dan pengucilan.

Juga diserukan promosi terkait upaya untuk mencegah pelanggaran terhadap semua kelompok agama dan tempat suci.

Aksi pihak Stram Kurs yang akan membakar lagi Al Quran, dikecam oleh Mesir, Iran, Irak, Yordania, Malaysia dan Qatar.

Keberatan juga diajukan oleh Organisasi Kerjasama Islam (OKI), Liga Dunia Muslim, dan Parlemen Arab, serta Badan Legislatif Liga Arab.

Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh Stram Kurs pada Minggu malam, Paludan mengklaim, rapat umum telah dibatalkan.

Ini karena alasnanya bahwa penyelenggara merasa polisi Swedia tidak dapat 'melindungi diri mereka sendiri dan saya'.

Usai membakar Al Quran, esoknya Paludan mengajak para pengikut media sosialnya untuk meniru tindakannya dengan sebuah postingan yang berbunyi: “Saatnya membakar Al-Qur’an.”

Meskipun masih merupakan kelompok pinggiran dalam politik negara-negara Skandinavia, Stram Kurs telah memperoleh daya tarik dalam beberapa tahun terakhir.

Terutama setelah krisis pengungsi Eropa 2015, ketika jutaan orang yang melarikan diri dari konflik dan ketidakstabilan di Timur Tengah, Afrika, dan Asia, mulai berdatangan ke tanah Eropa. .

Stram Kurs dan kelompok-kelompok sayap kanan lainnya, secara rutin berusaha untuk menimbulkan permusuhan terhadap Muslim, migran ekonomi dan pengungsi.

Mereka bahkan menyerukan deportasi massal kelompok-kelompok ini untuk, dengan kata-kata mereka, melestarikan identitas etnis asli Swedia.

Paludan, yang berniat mencalonkan diri dalam pemilihan legislatif Swedia pada September 2022, saat ini sedang berkeliling negara untuk mendapatkan dukungan untukpencalonannya, sering kali dengan sengaja berkampanye di daerah-daerah dengan komunitas Muslim yang besar.

Ini bukan pertama kalinya Paludan berusaha memprovokasi umat Islam dengan seruan untuk membakar Al-Qur'an di depan umum.

Pada November 2020, situs webnya mendesak para pendukung di Paris untuk berkumpul di Arc de Triomphe untuk 'membakar Al-Qur’an sebagai persiapan untuk pertemuan publik yang damai'.

Pada bulan yang sama, Paludan juga mendesak para pendukungnya untuk berkumpul di pinggiran Kota Brussel, Molenbeek, di mana para patriot Eropa akan membakar Al-Qur’an dengan penghinaan terang-terangan terhadap agama Islam.

Karena menghasut kebencian terhadap komunitas Muslim di akun media sosial Stram Kurs, Paludan dijatuhi hukuman satu bulan penjara pada 2020.

Tahun sebelumnya, Paludan dijatuhi hukuman percobaan karena rasisme, dan menghadapi 14 dakwaan, termasuk pencemaran nama baik dan mengemudi yang berbahaya.

Paludan juga bukan figur publik pertama yang menghasut kebencian dengan membakar Al-Qur’an.

Pada 2010, Terry Jones, seorang pendeta Florida dan pendiri Dove World Outreach Center nondenominasi, bersumpah untuk menandai ulang tahun kesembilan serangan 9/11 dengan membakar teks-teks Islam.

Pembakaran yang direncanakan menarik kecaman di seluruh dunia. Vatikan dan PBB bahkan mendesak Pastor Jones untuk tidak melanjutkannya.

David Petraeus, yang saat itu menjadi komandan Pasukan Bantuan Keamanan Internasional di Afghanistan, memperingatkan pembakaran itu dapat dimanfaatkan oleh Taliban dan kelompok ekstremis lainnya untuk menggalang dukungan atau mempromosikan tindakan terorisme di wilayah Barat.

“Ini adalah jenis tindakan yang digunakan Taliban dan dapat menyebabkan masalah yang signifikan. Tidak hanya di sini, tetapi di mana-mana di dunia kami terlibat dengan komunitas Islam,” kata Petraeus saat itu.

Setelah protes tersebut, Pendeta Jones tidak melanjutkan pembakaran massal pada peringatan 9/11.

Tapi, masih harus dilihat apakah kecaman serupa akan menghalangi pendukung Paludan dan Stram Kurs untuk melanjutkan pembakaran mereka sendiri.***

Sumber: The Local, Arab News

 

Editor: Slamet Bowo SBS

Sumber: Arab News The Local

Tags

Terkini

Terpopuler