Bunuh 51 Jemaah saat Sholat Jumat, Brenton Tarrant Protes Disebut Teroris

23 April 2021, 18:01 WIB
PEMBUNUH MASSAL - Brenton Harrison Tarrant (30) asal Australia mengaku bersalah atas 51 dakwaan pembunuhan, 40 percobaan pembunuhan, dan satu dakwaan terorisme setelah penembakan di Christchurch, Selandia Baru, 15 Maret 2019./PHOTO: SKY NEWS/ /KALBAR TERKINI/OKTAVIANUS CORNELIS

WELLINGTON,  KALBAR TERKINI -   Masih ingat Brenton Harrison Tarrant, pria Australia  yang menembak mati 51 jemaah ketika sedang solat Jumat di dua masjid di Selandia Baru?  Walaupun sudah dihukum karena jelas bersalah, pembunuh yang menyiarkan langsung aksinya di Facebook ini, sempat keberatan atas statusnya sebagai teroris.

Toh Tarrant akhirnya menarik gugatan karena mengaku sangat menyesali perbuatannya setelah membunuh 51 jemaah ketika sedang Sholat Jumat di Masjid Al Noor dan Linwood Islamic Center di Selandia Baru, 15 Maret 2019.

Sebelumnya Tarrant  mengajukan gugatan yudisial atas penunjukannya sebagai entitas teroris dan aksesnya ke berita dan surat di penjara ke Pengadilan Tinggi Auckland. Upaya hukum dilakukannya kendati telah dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, tanpa kemungkinan dibebaskan atas serangan teror mematikan itu.

Baca Juga: Penyayang Keluarga dan jadi Ketua RT, Ini Sosok Letkol Laut (P) Heri Oktavian, Komandan KRI Nanggala-402

Dikutip Kalbar-Terkini.com dari  kantor berita Jerman Deutsche Presse Agantur(DPA), Jumat, 23 April 2021, Tarrant akhirnya  menarik gugatan hukum atas kondisi penjara dan status terorisnya. Hakim Geoffrey Venning sudah merilis memo tentang penarikan hugatan itu pada Jumat ini.

Isinya menyatakan, aplikasi informal telah ditarik oleh Tarrant. "Tuan Tarrant ingin menarik dua permohonan peninjauan kembali sebelumnya, yang dia rujuk dalam komunikasi awalnya ke pengadilan," kata Venning.

Tarrant mengaku bersalah pada Maret 2020 atas 51 dakwaan pembunuhan, 40 percobaan pembunuhan, dan dakwaan melakukan serangan teroris. Vonis  pada Agustus 2020 menandai pertama kalinya Selandia Baru mengeluarkan hukuman tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat, dan pertama kali seseorang dijatuhi hukuman karena melanggar Undang-undang Penindasan Terorisme Selandia Baru.

Baca Juga: Pimpin Sertijab Kadislog, Danlanud Supadio Ungkap Peran Strategis Jabatan Kadislog

Supremasi Kulit Putih

Dua penembakan massal berturut-turut dilakukan Tarrant selama Sholat Jumat, 15 Maret 2019. Serangan pertama di Masjid Al Noor,  pinggiran Riccarton pada pukul 1:40 siang, dan  dilanjutkan di Linwood Islamic Center, pukul 13:52.

Selain membunuh 51 orang, 40 terluka. Berasal dari kawasan Grafton, New South Wales, Australia.

Tarrant ditangkap tak lama kemudian. Dia digambarkan dalam laporan media sebagai seorang supremasi kulit putih. dan bagian dari alt-right.   

Sebelum serangan, dilansir dari Wikipedia, Tarrant  menerbitkan manifesto online lewat video dan manifesto yang kemudian dilarang di Selandia Baru dan Australia.

Setelah penyelidikan polisi, Tarrant didakwa dengan 51 pembunuhan, 40 percobaan pembunuhan, dan terlibat dalam aksi teroris.  

Tarrant awalnya mengaku tidak bersalah atas semua dakwaan, sehingga persidangan baru dimulai setahun kemudian, tepatnya pada 2 Juni 2020.  

Baca Juga: Mendikbud Nadiem Makarim Sowan ke PBNU, Pendiri NU Kembali Naskah Kamus Sejarah Indonesia

Pada 26 Maret 2020, Tarrant mengubah pengakuannya menjadi bersalah atas semua tuduhan, kemudian dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat pada 27 Agustus 2020.

Ini adalah pertama kalinya hukuman seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat dijatuhkan di Selandia Baru.   

Serangan itu dikaitkan dengan peningkatan supremasi kulit putih dan ekstremisme alt-right secara global,  yang diamati sejak sekitar 2015. Politisi dan pemimpin dunia mengutuknya, dan Perdana Menteri Jacinda Ardern menggambarkannya sebagai 'salah satu hari tergelap di Selandia Baru'. 

Pemerintah membentuk komisi penyelidikan kerajaan ke badan keamanannya. setelah penembakan, yang merupakan yang paling mematikan dalam sejarah Selandia Baru modern, dan terburuk yang pernah dilakukan oleh seorang warga negara Australia.  

Komisi menyerahkan laporannya kepada pemerintah pada 26 November 2020, yang rinciannya diumumkan pada 7 Desember 2020. 

Selandia Baru telah dianggap sebagai tempat yang aman dan toleran dengan tingkat kekerasan senjata yang rendah, dan dinobatkan sebagai negara paling damai kedua di dunia oleh Indeks Perdamaian Global pada 2019, tahun serangan terjadi.  

Serangan ini adalah penembakan massal pertama di negara itu sejak pembantaian Raurimu pada 1997. 

Sebelumnya,  penembakan massal yang paling mematikan di depan umum adalah pembantaian Aramoana pada 1990, yang menewaskan 13 orang.

Meskipun negara ini jarang dikaitkan dengan ekstrem kanan, para ahli berpendapat bahwa ekstremisme sayap kanan telah tumbuh di Selandia Baru.  

Sosiolog Paul Spoonley menyebut Christchurch sebagai sarang supremasi kulit putih,  dan gerakan nasionalis ekstrem, sebuah saran yang ditolak oleh anggota parlemen Christchurch, Gerry Brownlee. 

Australia, tempat asal Tarrant, juga mengalami peningkatan xenofobia, rasisme, dan Islamofobia. Dalam sensus 2018, lebih dari 57 ribu penduduk Selandia Baru melaporkan agama mereka sebagai Islam, sekitar 1,2 persen dari total populasi.  

Di Selandia Baru, Masjid Al Noor dibuka pada 1985 sebagai masjid pertama di Pulau Selatan.

Pusat Islam Linwood dibuka pada awal 2018.*** 

 

Sumber:  Deutsche Presse Agantur(DPA), Wikipedia

Editor: Oktavianus Cornelis

Tags

Terkini

Terpopuler