Akan tetapi, saat ini aku bagai tak punya muka walau sekedar ingin mencaritahu kabarnya.
Aku telah kotor. Aku telah hina. Garis takdir mengantarkan aku pada tempatku yang nyatanya memang mewarisi pekerjaan Ibu.
Ah, aku mulai menyesali.
Andai bisa memilih, aku lebih baik tidak terlahir di dunia ini daripada harus hidup dengan menanggung cibiran Anak haram, dan kini malah menyandang status wanita malam.
Hari berganti bulan, bahkan hampir berganti tahun. Aku semakin terbiasa dengan pekerjaan ini.
Tidak ada lagi pemberontakan, hanya sesekali merasa diri penuh dengan penyesalan.
"Luka, ada seseorang dari luar kota yang datang ingin membayarmu mahal," ujar Mami Asni masuk ke dalam kamarku.
"Atur saja tarifnya, Mi. Suruh dia langsung menemuiku di sini!" perintahku sembari melanjutkan mengoles make up tipis.
"Baiklah, sayang."