CERITA UTUH KKN di Desa Mandiri Bagian 5, Cerita Mistis Mbah Buyut dan Widya yang Muntah Gumpalan Rambut

- 10 Mei 2022, 07:56 WIB
KKN di Desa Penari, Nur dijaga khodam leluhur, berikut 5 mimpi penanda seseorang dikawal khodam. /tangkapan layar Youtube MD Pictures
KKN di Desa Penari, Nur dijaga khodam leluhur, berikut 5 mimpi penanda seseorang dikawal khodam. /tangkapan layar Youtube MD Pictures /

 

KALBAR TERKINI - Semua yang mendengarkan cerita Wahyu hanya bisa menatap nanar, tidak ada yang berkomentar.

Si pemilik rumah akhirnya menyuruh mereka semua bubar dan masuk ke dalam rumah lagi, karena hari semakin larut.

Si pemilk rumah, berjanji akan menceritakan ini kepada Pak Prabu.

Baca Juga: CERITA UTUH KKN di Desa Penari Bagian 4, Siapa Pemilik Suara Lembut Pelantun Kidung Jawa dan Tingkah Aneh Nur

Namun ada satu hal, yang sengaja Wahyu tidak ceritakan, nanti, ia akan menjelaskan semuanya.

Namun malam itu, benar-benar malam yang gila, seolah-olah menjadi pembuka rangkaian kejadian yang akan mereka hadapi di sela tugas KKN mereka ke dalam situasi yang paling serius.

Semua orang sudah berkumpul, memenuhi panggilan Pak Prabu.

Beliau bertanya tentang bagaimana kronologi kejadian.

Baca Juga: CERITA UTUH KKN di Desa Penari Bagian 3, Sosok Pak Prabu yang Misterius dan Nisan Makam Ditutup Kain Hitam

Ayu mengaku tidak tahu, Widya mengatakan ia sedang mengejar Nur yang pergi keluar rumah, namun Nur mengatakan ia hanya pergi ke dapur untuk mencari air minum.

Semua penjelasan itu tidak membantu sama sekali, namun tampak dari raut muka Pak Prabu.

Ia lebih tertarik bagaimana Widya bisa menari bila latar belakangnya saja bahwa ia mengaku tidak pernah belajar menari sebelumnya

Hari itu, Pak Prabu meminta Widya, Ayu dan Wahyu, menemaninya. Nur pergi, ia masih harus mengerjakan proker individualnya.

Baca Juga: CERITA UTUH KKN di Desa Penari Bagian 3, Sosok Pak Prabu yang Misterius dan Nisan Makam Ditutup Kain Hitam

Dengan berbekal motor butut yang tempo hari digunakan untuk mengantar mereka masuk ke desa ini, kali ini digunakan untuk mengantar mereka ke rumah seseorang.

Wahyu dengan Widya, Pak Prabu berboncengan dengan Ayu.

Jalur yang mereka tempuh hampir sama dengan jalur yang tempo hari, anehnya, kali ini Widya merasakan sendiri.

Untuk sampai ke jalan raya tidak sampai 1 jam, malah tidak sampai 30 menit, lalu, bagaimana bisa ia merasakan waktu selambat itu pada malam ketika orang-orang desa menjemput.

Baca Juga: CERITA UTUH KKN Desa Penari Bagian 1, Tugas Akhir Kuliah yang Berakhir Tragis dan Hubungan Cinta Terlarang

Rumah yang Pak Prabu datangi, rupanya rumah seseorang.

Melintasi jalan besar, lalu masuk lagi ke sebuah jalan setapak buatan, Rumahnya bagus, malah bisa di bilang paling bagus dibandingkan rumah orang-orang desa, hanya saja, rumah itu berdiri di tengah sisi hutan belantara lain.

Berpagar batu bata merah, dengan banyak bambu kuning, rumah itu terlihat sangat tua, namun masih enak dipandang mata.

Di depan rumah, ada orang tua, kakek-kakek, sepuh, berdiri seperti sudah tau bahwa hari ini akan ada tamu yang berkunjung.

Baca Juga: CERITA UTUH KKN Desa Penari Bagian 2, Ibu Widya Tak Merestui KKN di Desa yang Terkenal Angker Itu

Tidak ada yang tahu nama kakek itu, namun Pak Prabu memanggilnya mbah Buyut.

Setelah Pak Prabu selesai menceritakan semuanya, wajah mbah Buyut tampak biasa saja, tidak tertarik sama sekali dengan cerita Pak Prabu yang padahal membuat semua anak-anak masih tidak habis pikir.

Sesekali memang mbah Buyut terlihat menatap Widya, terkesan mencuri pandang, namun ya begitu, hanya sekadar mencuri pandang saja, tidak lebih.

Dengan suara serak, mbah Buyut pergi ke dalam rumah, beliau kembali dengan 5 gelas kopi yang di hidangkan di depan mereka.

"Monggo (silahkan)," kata beliau, matanya memandang Widya.

Melihat itu, Widya menolak, mengatakan dirinya tidak pernah meminum kopi, namun senyuman ganjil mbah Buyut membuat Widya sungkan.

Yang akhirnya berbuntut ia meneguk kopi itu meski hanya satu tegukan saja.

Kopinya manis, ada aroma melati di dalamnya, yang awalnya Widya hanya mencoba-coba tanpa sadar, gelas kopi itu sudah kosong.

Tidak hanya Widya, semua orang ditegur agar mencicipi kopi buatan beliau, katanya tidak baik menolak pemberian tuan rumah. Semua akhirnya mencobanya.

Berikutnya, Wahyu dan Ayu kaget setengah mati, sampai harus menyemburkan kopi yang ia teguk, mimik wajahnya bingung.

Karena rasa kopinya tidak hanya pahit, tapi sangat pahit, sampai tidak bisa ditolerin masuk ke tenggorokan.

Anehnya, Pak Prabu meneguk kopi itu biasa saja. "Begini," kata mbah Buyut, beliau menggunakan bahasa Jawa halus sekali, sampai ucapannya kadang tidak bisa dipahami semua anak.

Ada kalimat penari dan penunggu, namun yang lainnya tidak dapat dicerna.

Ia menunjuk Widya tepat di depan wajahnya, mimik wajahnya sangat serius.

Pak Prabu mendengarkan dengan seksama, lalu berpamitan pulang.

Sebelum mereka pulang, mbah Buyut memberi kunir tepat di dahi Widya, katanya untuk menjaga Widya saja.

Kunjungan itu sama sekali tidak diketahui tujuannya.

Selama perjalanan, Pak Prabu bercerita, tentang kopi. Kopi yang dihidangkan mbah Buyut tadi adalah Kopi ireng yang diracik khusus untuk memanggil lelembut, demit dan sejenisnya.

Bukan kopi untuk manusia, mereka yang belum pernah mencobanya, pasti akan memuntahkannya.

Namun, bagi lelembut dan sebangsanya, kopi itu manis sekali.

Semua anak memandang Widya. Namun Pak Prabu segera mengatakan hal lain.

"Sepurane sing akeh nduk, sampeyan onok sing ngetut'i (mohon maaf ya nak, kamu, ada yang mengikuti)."

Selain mengatakan itu, Pak Prabu juga mengatakan bahwa tidak perlu takut, karena Widya tidak akan serta merta di apa-apakan, hanya diikuti saja.

Yang lebih penting, Widya tidak boleh dibiarkan sendirian, harus selalu ada yang menemaninya. Untuk itu, Pak Prabu punya gagasan.

Mulai malam ini, mereka akan tinggal dalam satu rumah, hanya dipisahkan oleh sekat dari bambu anyam, Pak Prabu hanya meminta satu hal, jangan melanggar etika dan norma saja.

Pertemuan itu juga diminta untuk tidak diceritakan ke siapapun lagi, bahkan Nur, Anton dan Bima.

Tempat tinggal mereka yang baru tepat ada di ujung, cukup besar, dan bekas rumah keluarga yang merantau.

Sekaligus hal ini menjawab pertanyaan kenapa jarang ditemui anak seumuran mereka di desa ini, rupanya, kebanyakan anak-anak yang sudah akil baligh pasti pergi merantau.

Di belakang rumah, ada watu item (batu kali) cukup besar, dengan beberapa pohon pisang dan dikelilingi daun tuntas.

Anton awalnya tidak setuju mereka pindah, karena atmoser rumahnya yang memang tidak enak dan itu bisa terlihat dari luar, namun ini, perintah dari Pak Prabu. Setelah kejadian itu, Ayu sedikit menghindari Widya.

Widya paham akan hal itu, namun Wahyu sebaliknya, ia mendekati Widya dan memberi semangat agar tidak mencerna mentah-mentah pesan orang tua itu.

Di sini Wahyu bercerita kejadian yang tidak ia ceritakan di malam kejadian itu.

"Wid, kancamu cah lanang iku, gak popo tah (Wid, temanmu yang cowok itu baik-baik saja kah)?"

"Maksud'e mas?"

"Cah iku, ben bengi metu Wid, emboh nang ndi, trus biasane balik-balik nek isuk, opo garap proker tapi kok bengi (temanmu itu, setiap larut malam keluar Wid, entah kemana, trus biasanya baru balik pagi, apa sedang mengerjakan prokernya tapi kok harus malam)?"

"Ra paham aku mas (gak ngerti aku mas)."

"Trus," kata Wahyu, "aku sering rungokno, cah iku ngomong dewe nang kamar (aku sering denger anak itu ngomong sendirian di dalam kamar)."

"Ra mungkin tah mas (gak mungkinlah mas)."

"Sumpah!! Gak iku tok, kadang, cah iku koyok ngguyu-ngguyu dewe, stress palingan (gak cuma itu, kadang dia tertawa sendirian, gila kali anak itu)."

"Bima iku religius mas, ra mungkin aneh-aneh (Bima itu religius, gak mungkin aneh-aneh)."

"Yo wes, takono Anton nek ra percoyo, bengi sak durunge aku eroh awakmu nari, Bima asline onok nang kunu, arek'e ndelok tekan cendelo, paham awakmu sak iki. Gendeng cah iku.

(ya sudah, tanya Anton kalau gak percaya, malam sebelum kejadian itu, Bima sebenarnya ada di kejadian, dia cuma lihat kamu dari jendela, paham kamu sekarang, gila itu anak)."

Widya diam lama, memproses kalimat itu, ia melihat Wahyu pergi dengan raut wajah kesal.

Malam semua anak sudah berkumpul, Nur ada di kamar, dia sedang sholat.

Widya di ruang tengah sendirian, sedangkan Ayu, Wahyu dan Anton ngobrol di teras rumah, Bima, ada pertemuan dengan Pak Prabu.

Sebelum suara kidung terdengar lagi, suaranya dari arah pawon (dapur) untuk mencapai pawon.

Widya melewati kamar, di sana Nur sedang bersujud, semakin lama, suaranya semakin terdengar dengan jelas.

Pawon rumah ini hanya ditutup dengan tirai, saat Widya menyibak tirai, ia melihat Nur, sedang meneguk air dari kendi, lengkap dengan mukenanya.

Widya mematung, diam, lama sekali, sampe Nur yang meneguk dari kendi melihatnya.

Mata mereka saling memandang satu sama lain.

"Lapo Wid (kenapa Wid)?" tanya Nur.

Widya masih diam, Nur pun mendekati Widya, sontak Widya langsung lari, dan melihat isi kamar, di sana, tidak ada Nur

"Onok opo toh asline (ada apa tah sebenarnya)?" tanya Nur yang sekarang di samping Widya, ia memegang bahu Widya.

Dingin, tangan Widya masih gemetaran, sampai semua anak melihat mereka kemudian mendekatinya.

"Lapo kok rame'ne (kenapa kok rame sekali)," tegur Ayu.

"Gak eroh, cah iki ket maeng dijak ngomong ra njawab-njawab (gak tau, anak ini ditanya dari tadi gak jawab-jawab)."

"Lapo Wid?" Wahyu mendekati

"Tanganmu kok gemeteran ngene, onok opo sih (tanganmu kenapa gemetaran begini, ada apa sih)?" tanya Anton.

"Nur, jupukno ngombe kunu loh, kok tambah meneng ae (Nur, ambilkan air gitu loh, kok malah diam saja)," tegur Anton.

Nur kembali dengan teko kendi yang tadi, dia memberikanya pada Widya, dan Widya kemudian meneguknya. Lalu, tiba-tiba Widya diam lagi membuat semua orang bingung.

Tangan kiri Widya masih memegang teko, sedangkan tangan kanannya, terangkat lalu masuk ke dalam mulut, di sana, Widya berusaha mengambil sesuatu, ada 2 sampai 3 helai rambut hitam, panjang, dan itu keluar dari dalam mulut Widya.

Semua yang menyaksikannya, beringsut mundur, kaget.

Begitu penutup tekonya dibuka, di dalamnya, ada segumpal rambut, benar-benar segumpal rambut dengan air di dalamnya.

Nur yang melihatnya langsung bereaksi. "Aku mau yo ngombe teko kunu, gak eroh aku onok barang ngunu'ne (tadi aku juga minum dari situ, gak tau ada begituannya)."

Widya muntah sejadi-jadinya. Saat keadaan tegang seperti itu, Anton tiba-tiba mengatakan, "awakmu diincer yo Wid, jare mbahku, nek onok rambut gak koro metu, iku biasane nek gak disantet yo diincer demit. (kamu diincar ya Wid, kata mbahku, kalau tiba-tiba muncul rambut, itu biasanya kalau gak disantet ya di incar makhluk halus)."

Nur, kemudian mengatakannya.

"Wid, opo penari iku jek ngetuti awakmu, soale ket wingi aku wes ra ndelok gok mburimu maneh (Wid, apa penari itu masih ngikutin kamu, soalnya dari kemarin aku belum lihat dia di belakangmu)."

Berhari-hari setelah pengakuan Nur itu, membuat Widya semakin was-was.

Ia jatuh sakit selama 3 hari, dan selama itu juga, Widya hanya terbaring di atas tikar kamar.

Nur tidak melanjutkan lagi ceritanya, karena katanya ia sudah salah mengatakannya, seharusnya ia menahan cerita itu.

Selama Widya terbaring sakit, ia seringkali ditinggal sendirian di dalam rumah itu, dan selama tinggal di rumah itu, ada satu kejadian yang tidak akan pernah Widya lupakan.

Semua dimulai ketika ia hanya berbaring di atas tikar. Ayu dan Nur berpamitan akan memulai proker mereka.

Anak-anak cowok juga memulai proker mereka masing-masing.

Seharusnya, tidak ada satupun orang di rumah itu. Namun, siang itu terdengar suara sesuatu yang dipukuli.

Hal itu menimbulkan rasa penasaran, suaranya seperti benturan antara lempengan yang keras.***

 

Editor: Slamet Bowo SBS

Sumber: Twitter @SimpleM81378523


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah