Widya memang percaya terhadap hal-hal yang gaib, itu ada di dalam ajaran agamanya.
Namun baru kali ini ia merasakan langsung pengalaman itu, meski hanya sekadar suara.
Berbeda dengan Nur, temannya, ia mengaku melihat yang tidak seharusnya ia lihat.
Mungkin Nur lebih sensitif. Memang, sejak awal, Nur yang paling berbeda di antara yang lain, hanya dia seorang yang mengenakan jilbab, dibandingkan dengan Ayu dan dirinya sendiri.
Nur yang paling religius, karena setahu Widya sendiri, Nur jebolan pondok pesantren ternama di kota "J".
Terlepas dari itu semua, pengalaman KKN ini, tidak akan pernah dilupakan oleh semua rombongan ini.
"Nur," kata Widya masih menenangkan. "Nur bisa ndak, cerita ini ojok sampe nyebar yo gok arek2, kan gak enak, nek sampe kerungu ambi warga deso, opo maneh kita di sini iku tamu, insyaallah, kabeh lancar, nggih (Nur, bisa gak, cerita ini jangan sampai menyebar ke teman-teman.
Kan jadi gak enak, kalau sampai warga desa dengar, apalagi kita di sini itu sebagai tamu, insyaallah, semua akan baik-baik saja, ya)."
Nur mengangguk, meski enggan menjawab kalimat Widya, dan malam itu, tanpa terasa dilewati begitu saja.
Keesokan harinya, rombongan sudah berkumpul, sesuai janji Pak Prabu, hari ini, akan keliling desa, melihat semua proker yang sudah diajukan oleh Ayu tempo hari, sekaligus, meminta saran untuk proker individu yang harus dikerjakan oleh satu anak sendiri-sendiri.