Tempat menginap untuk laki-laki adalah rumah gubuk yang dulunya seringkali dipakai untuk posyandu, tapi sudah diubah sedemikian rupa, meski beralaskan tanah, tapi di dalamnya sudah ada bayang (ranjang tidur) beralaskan tikar.
Sedangkan untuk perempuan, menginap di salah satu rumah warga.
Di dalam kamar, Widya pun menjelaskan maksud ucapannya kepada Pak Prabu, karena sepanjang perjalanan, bila dirasakan oleh Widya sendiri, itu lebih dari satu jam.
Ayu membantah bahwa lama perjalanan tidak sampai selama itu. Anehnya, Nur memilih tidak ikut berdebat.
Nur, lebih memilih untuk diam. "Ngene, awakmu krungu ora, nang dalan alas mau, onok suara gamelan (gini, kamu dengar apa tidak , di jalan tadi, ada suara orang memainkan gamelan)?"
"Yo paling onok hajatan lah, opo maneh (ya palingan ada warga yang mengadakan hajatan, apalagi)."
Berbeda dengan Ayu, Nur menatap Widya dengan ngeri sembari berbicara lirih.
Nur yang seharusnya paling ceria di antara mereka berkata, "mbak, ra onok deso maneh nang kene, gak mungkin nek onok hajatan, nek jare wong biyen, krungu gamelan nang nggon kene, iku pertanda elek (mbak, tidak mungkin ada desa lain di sini, tidak mungkin ada acara di dekat sini, kalau kata orang jaman dulu, kalau dengar suara gamelan, itu pertanda buruk)