Peneliti yang berfokus pada hubungan internasional Indonesia dan sejarah Perang Dingin ini mengakui parahnya dampak persaingan birokrasi itu.
Menurut Estey, persaingan birokrasi ini telah mencegah Indonesia untuk terus maju dengan rancangan undang-undang (UU) perlindungan data.
Masalahnya, terbukti bahwa frekuensi serangan siber di Indonesia terus meningkat.
Selama kuartal pertama 2022, target di Indonesia menghadapi lebih dari 11,8 juta serangan siber.
Menurut data perusahaan keamanan siber Kaspersky, terjadi peningkatan 22 persen dari periode yang sama pada 2021.
Sementara itu, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Indonesia mencatat, terjadi lebih dari 1,6 miliar 'lalu lintas anomali' pada 2021.
Juga dalam laporan tahunan BSSN yang dirilis pada 30 Maret 2022
Disebutkan, lebih dari 62 persen dari 'anomali' dikaitkan dengan malware diikuti aktivitas trojan dan upaya phishing.
Selain itu, Indonesia mengalami lebih banyak serangan ransomware pada 2021 dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya, menurut laporan Interpol.
Estey menilai, Pemerintah Indonesia belum menerapkan UU keamanan siber atau perlindungan data yang komprehensif.