Koboi akhirnya Murka, Jet Amerika Sikat Milisi Irak Dukungan Iran

- 26 Februari 2021, 18:47 WIB
KIBARKAN BENDERA -   Seorang anggota Hashd al-Shaabi mengibarkan bendera kelompok milisi Kataib Hezbollah sebagai protes atas serangan AS./REUTERS/  :
KIBARKAN BENDERA - Seorang anggota Hashd al-Shaabi mengibarkan bendera kelompok milisi Kataib Hezbollah sebagai protes atas serangan AS./REUTERS/ : /KALBAR TERKINI/OKTAVIANUS CORNELIS

BAGHDAD, SP - Jangan coba-coba mengganggu koboi Amerika Serikat. Jet-jet militer AS menyerang berbagai fasilitas kelompok milisi bersenjata Irak dukungan Iran di Suriah,  Kamis, 26 Februari 2021 malam.  Seorang perwira milisi mengklaim, serangan ini menewaskan seorang personelnya, sedangkan beberapa personel lainya terluka.

Dilansir Kalbar-Terkini.com dari The Associated  Press (AP), Jumat, 26 Februari 2021,

Departemen pertahanan AS, Pentagon, menyatakan bawa serangan itu merupakan pembalasan atas serangan roket terhadap pihaknya di Irak sejak awal bulan ini. Serangan ini menewaskan seorang kontraktor sipil AS, melukai seorang personel militernya, dan berapa anggota koalisi.

Perwira milisi ini  kepada AP menyatakan, serangan terhadap Kataeb Hezbollah atau Brigade Hizbullah telah menghantam kawasan di sepanjang perbatasan antara situs Boukamal, Suriah, yang menghadap Qaim di sisi Irak.

Baca Juga: Amerika Terancam Panik, Angkatan Laut Singapura-China Latihan Gabungan Maritim

Perwira ini berbicara dengan syarat namanya dihasiakan jangan karena dirinya tidak berwenang berbicara terkait serangan itu.  Kelompok pemantau perang Suriah mengklaim, serangan itu menghantam sebuah truk yang sedang memindahkan senjata ke pangkalan milisi dukungan  Iran di Boukamal.

 "Saya yakin dengan target yang kami kejar, dan kami tahu apa yang kami capai," tegas Menteri Pertahanan Lloyd Austin kepada wartawan yang terbang bersamanya dari Kalifornia ke Washington, AS, tak lama setelah serangan udara pada  Kamis malam waktu setempat. 

Serangan udara itu merupakan aksi militer pertama di masa pemerintahan  Joe Biden, yang dalam pekan-pekan pertama ini telah menekankan niatnya untuk lebih fokus pada tantangan yang ditimbulkan oleh China walaupun masih terjadi ancaman atas kepentingan-kepentingan AS di Timur Tengah. 

Keputusan Biden untuk menyerang di Suriah dipastikan bukan untuk memperluas keterlibatan AS di wilayah tersebut. Melainkan sekedar membela pasukannya di Irak. 

Pemantau  perang Suriah untuk hak asasi manusia, sebuah kelompok yang berbasis di Inggris  menyatakan bahwa serangan itu menargetkan pengiriman senjata yang dibawa oleh truk yang memasuki wilayah Suriah dari Irak.  

Baca Juga: Hubungkan Jalur Darat Indonesia-Malaysia, Kalbar Bakal Miliki Lima Terminal Internasional

Ditambahkan, terdapat 22 personel dari sebuah sebuah kelompok milisi di Irak. Sebagian besar di antara mereka adalah paramiliter Syiah. Namun, laporan tersebut tidak dapat diverifikasi secara independen. 

Menteri Pertahanan Austin menyatakan yakin bahwa AS telah melakukan pembalasan terhadap militan Syiah dengan serangan yang sama, mengacu pada serangan roket 15 Februari 2021 di Irak utara, yang menewaskan seorang kontraktor sipil dan melukai seorang personel AS, anggota layanan, dan personel koalisi lainnya. 

Austin mengaku sudah merekomendasikan tindakan itu kepada Presiden Biden.  "Sudah beberapa kali kami katakan bahwa kami akan menanggapi (serangan milisi) sesuai jadwal kami," kata Austin. "Kami telah memastikan bahwa kami memiliki target yang tepat." 

Sebelumnya, juru bicara Pentagon John Kirby menyatakan, tindakan pihaknya terkait serangan-serangan itu, termasuk serangan terakhir roket ke  Kedubes AS di Zona Hijau di Kota Baghdad, akan dilakukan pihaknya lewat suatu 'tanggapan militer yang proporsional'. 

Tindakan ini diambil bersama langkah-langkah diplomatik, termasuk setelah berkonsultasi dengan mitra koalisi. "Operasi itu mengirimkan pesan yang jelas: Presiden Biden akan bertindak untuk melindungi personel Amerika dan koalisi," kata Kirby. 

Kirby menyatakan, serangan udara  AS menghancurkan banyak fasilitas di titik kontrol perbatasan yang digunakan oleh sejumlah kelompok militan yang didukung Iran, termasuk Kataeb Hezbollah dan Kataeb Sayyid al-Shuhada. 

Sementara itu, Mary Ellen O’Connell,  profesor di Sekolah Hukum Notre Dame, mengkritik serangan AS sebagai pelanggaran hukum internasional.

"Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa memperjelas bahwa penggunaan kekuatan militer di wilayah negara berdaulat asing adalah sah,(namun)  hanya sebagai tanggapan atas serangan bersenjata di negara pertahanan yang menjadi tanggung jawab negara sasaran. Tak satu pun dari elemen tersebut terpenuhi dalam serangan Suriah," katanya. 

Pejabat pemerintahan Biden mengutuk serangan roket pada 15 Februari 2021 di dekat Kota Irbil, wilayah semi-otonom yang dikelola Kurdi di Irak. Tapi, beberapa pejabat belum lama ini belum menentukan secara pasti pelakunya.  

Para pejabat mencatat bahwa di masa lalu, kelompok milisi Syiah dukungan Iran bertanggung jawab atas banyak serangan roket yang menargetkan AS. personel, atau fasilitas AS di Irak. 

Menurut Kirby pada Selasa, 23 Februari 2021,  Irak harus menyelidiki serangan 15 Februari itu. Sebab, para pejabat AS tidak bisa memastikan pelaku di balik serangan itu. Kelompok militan Syiah yang tidak banyak dikenal, menamakan diri Saraya Alwiya al-Dam (artinya dalam bahasa Arab:  Brigade Darah), mengaku bertanggung jawab atas serangan 15 Februari itu.   

Baca Juga: Situasi di Myanmar Berbalik, Warga pro-Junta Gunakan Pisau Serang Pendemo

Sepekan kemudian, serangan roket di Zona Hijau Baghdad, diduga kuat menargetkan Kompleks Kedutaan AS, tapi tidak ada yang terluka. Iran pekan ini mengklaim tidak memiliki hubungan dengan Penjaga Merah.  

Kelompok-kelompok yang didukung Iran telah terpecah secara signifikan sejak serangan AS yang menewaskan Jenderal Iran, Qassem Soleimani dan pemimpin milisi Irak, Abu Mahdi al-Muhandis di Baghdad, lebih setahun silam. Keduanya adalah kunci dalam memimpin dan mengendalikan beragam kelompok yang didukung Iran di Irak.

Sejak kematian mereka, milisi menjadi semakin sulit diatur. Beberapa, analis berpendapat, kelompok bersenjata telah terpecah sebagai taktik untuk mengklaim serangan dengan nama berbeda, untuk menutupi keterlibatan mereka. 

Frekuensi serangan kelompok milisi Syiah terhadap AS di Irak, berkurang sejak akhir tahun lalu menjelang pelantikan Biden. Sebelumnya,  Presiden Donald Trump menyalahkan kelompok yang didukung Iran karena melakukan beberapa serangan di Irak. Trump kala itu menyatakan, kematian kontraktor AS akan menjadi garis merah, dan memprovokasi AS untuk balik menyerang.

Pembunuhan terhadap kontraktor sipil AS pada Desember 2019 lewat  serangan roket di Kirkuk, telah  memicu pertarungan balas dendam di tanah Irak yang memuncak dengan pembunuhan terhadap komandan Iran, Soleimani, dan membawa Irak ke ambang perang proksi.*** 

 

Sumber: Associated  Press  

Editor: Oktavianus Cornelis


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x