KALBAR TERKINI - Pada 1968, di balik deru Perang Biafra di Nigeria, siang itu Ngozi Okonjo-Iweala tertatih-tatih. Sambil menahan lapar, tubuh ringkih Okonjo-Iweala menggendong adiknya. Perempuan 14 tahun ini bergegas menuju ke sebuah klinik.
Adiknya yang masih berusia tiga tahun, terkulai lemah di gendongannya. Malaria mengancam nyawanya. Melihat wajah sang adik kian memucat, Okonjo-Iweala semakin cemas. Tubuh mungilnya dipaksakan untuk segera tiba di klinik.
Ketika itu, tak ada orang lain yang bisa menolong sang adik selain dirinya sendiri. Ibunya sakit. Ayahnya yang berpangkat sersan, sedang bertugas di medan perang.
Setelah terseok-seok berjalan kaki sepanjang tiga mil, tiba di klinik. Nafas tersengal-sengal, berkeringat, tubuhnya lemas. Situasi yang serba sulit akibat perang membuat keluarganya menghemat makanan. Itu sebabnya kala itu badan Okonjo-Iweala lunglai.
Baca Juga: Teriakkan Dua Kalimat Syahadat, Tentara Pakistan Ledakkan Mortir, Tewas bersama Teroris
Okonjo-Iweala nyaris putus asa melihat 600 lebih pasien antre di klinik. Setelah tertegun sesaat melihat kondisi adiknya, Okonjo-Iweala pun menerobos kerumunan massa. Dia memanjat melalui jendela untuk menemui dokter. "Saya tahu, jika tidak mendapat bantuan, adik saya akan mati," kata Okonjo-Iweala.
Suntikan malaria menyelamatkan nyawa saudara perempuannya.
Ditempa Kerasnya Masa Kecil
Masa lalu yang sulit telah menempa mentalnya menjadi sekeras baja. Lahir di Niegeria, 13 Juni 1954, dalam usia 18 tahun, setelah melewati masa-masa yang serba susah dan perang perang berakhir, Okonjo-Iweala berangkat ke Amerika Serikat (AS), dan kuliah di Universitas Harvard.