Indonesia Jangan Lembek Ditekan Barat: Harus Damaikan Ukraina- Rusia di KTT G-20

- 11 April 2022, 15:32 WIB
Presiden Joko Widodo dan Presiden Vladimir Putin. Indonesia tidak setuju jika Presiden Rusia Vladimir Putin absen dalam KTT G20,
Presiden Joko Widodo dan Presiden Vladimir Putin. Indonesia tidak setuju jika Presiden Rusia Vladimir Putin absen dalam KTT G20, /Antara/Mikhail Klimentyev.

KALBAR TERKINI - Indonesia sebagai tuan rumah G-20 tak boleh menyerah atas tekanan Barat untuk mengeluarkan Rusia dari KTT G-20.

Indonesia harus tegas pula menghadapi ancaman boikot dari AS dan sekutunya, seperti Australia dan anggota Uni Rusia, jika Rusia tetap diundang.

Sebagaimana dulansir Kalbar-Terkini.com dari analisa The Conversation, Jumat, 8 April 2022, tuntutan tersebut, bukan pilihan yang masuk akal bagi Indonesia.

Baca Juga: Kiprah Maudy Ayunda di Acara Kenegaraan, Terakhir Dipilih Sebagai Jubir Presidensi G20 Indonesia

Jika Indonesia mengiyakan tuntutan Barat, maka bakal menciptakan keretakan yang tidak perlu antara Indonesia dan anggota G20 lainnya dari non-Barat, seperti Brasil dan China.

Setiap keretakan yang tidak perlu dapat mengganggu agenda keseluruhan KTT.

Langkah tersebut juga tidak sesuai dengan upaya Indonesia saat ini, untuk menjaga hubungan baik dengan Rusia dan Ukraina.

Baca Juga: Dipilih Sebagai Jubir Presidensi G20 Indonesia, Maudy Ayunda Sampaikan 3 Isu Prioritas

Perang Rusia-Ukraina telah berlangsung selama lebih dari sebulan sejak 24 Februari 2022, tanpa tanda-tanda akan segera berhenti.

Selama itu, masih dari The Conversation, negara-negara Barat telah mendukung Ukraina dengan persenjataan, sanksi ekonomi sepihak ke Rusia, dan pengusiran massal diplomat Rusia.

Presiden Joko 'Jokowi' Widodo, bagaimanapun, telah memutuskan untuk mengundang Rusia ke KTT G-20, karena Indonesia ingin tetap tidak memihak, dan menjaga hubungan baik dengan kedua pihak yang bertikai.

Baca Juga: Maudy Ayunda Jadi Jubir Presidensi G20 Indonesia, Ini Tugas yang Diembannya

Tanggapan ini telah mendorong negara-negara Barat untuk menuntut Ukraina diundang ke KTT, jika Rusia tetap dalam daftar hadir.

Hanya saja, preferensi Indonesia untuk mengambil peran dari agenda G-20, dan hanya fokus pada isu-isu ekonomi, yang secara bersamaaan telah mendapat dukungan dari China, juga tidak bijaksana.

Beberapa pakar ekonomi Indonesia berpendapat bahwa perang Rusia-Ukraina, kemungkinan akan menjadi topik yang tidak dapat dihindari dalam agenda KTT G-20.

Baca Juga: Maudy Ayunda Jadi Jubir Presidensi G20 Indonesia, Ini Tugas yang Diembannya

Pasalnya, perang antra Ukraina vs Rusia telah memperdalam krisis ekonomi global, terutama dengan memicu fluktuasi harga minyak, dan komoditas.

Lebih dari separuh negara anggota G20 juga dengan tegas bersekutu dengan salah satu pihak yang bertikai.

KTT G20 justru dapat menjadi momentum bagi Indonesia. Ini untuk menunjukkan kontribusi nyata bagi proses perdamaian dengan menjadi mediator antara Rusia dan Ukraina.

"Berikut dua alasan utama mengapa kita harus optimis Indonesia dapat menjadi perantara yang jujur untuk menengahi beberapa pembicaraan damai antara Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy," tulis The Conversation.

Pertama, Indonesia menganut prinsip politik luar negeri 'bebas aktif'. Hal ini didasarkan pada komitmen Indonesia, untuk menjaga perdamaian dan ketertiban dunia.

Berdasarkan prinsip dan komitmen tersebut, Indonesia lebih memilih untuk menghindari keterlibatan dalam konflik terbuka dengan negara-negara besar.

Indonesia juga menolak untuk bersekutu dengan satu pihak sambil memusuhi pihak lain.

Sikap ini merupakan aspek penting yang harus diadopsi Indonesia sebagai 'event organiser' G20. Hal ini akan memberikan Indonesia keuntungan diplomatik, kesempatan untuk menjadi mediator, dan membuktikan peran multilateral yang lebih kuat.

Keputusan Indonesia untuk memasukkan Rusia ke dalam daftar undangan G-20, akan menunjukkan kepada dunia bahwa komitmen non-blok Indonesia, tidak akan menyerah pada tekanan negara-negara besar.

Sebaliknya, Indonesia dapat menjadi kekuatan tengah yang strategis, dan mendapatkan kepercayaan dari pihak-pihak yang bertikai.

Indonesia belum memutuskan untuk mengundang Ukraina.

Tetapi, kemungkinan untuk memiliki Ukraina dan Rusia di KTT G20, dapat menjadi titik awal yang baik.

Jika kedua belah pihak setuju untuk bertemu di KTT, masih dari ulasan The Conversation, maka Indonesia dapat menggalang anggota G-20 lainnya, dengan sikap dan aspirasi yang sama, sebagai perantara yang jujur untuk memungkinkan pembicaraan damai.

Indonesia memiliki rekam jejak yang baik dalam memediasi konflik regional.

Lina Alexandra, peneliti senior dari lembaga think tank Center for Strategic and International Studies yang berbasis di Jakarta, menulis hal tu dalam makalahnya.

Dalam tulisannya, Lina menyebut bahwa pada 1988-1991, Indonesia memainkan peran penting dalam menghentikan konflik bersenjata di Kamboja, dan mengakhiri pendudukan Vietnam di Kamboja.

Alexandra juga menyebut, Indonesia bertindak sebagai perantara yang jujur untuk memfasilitasi upaya perdamaian konflik antara Filipina dan kelompok separatis Front Pembebasan Nasional Moro, sejak 1970-an-1990-an.

Pada 1993, Indonesia memimpin Organisasi Konferensi Islam (OKI), dan menjadi tuan rumah putaran kedua pembicaraan eksplorasi informal di Cipanas, Jawa Barat.

Perundingan tersebut menghasilkan 'Pernyataan Kesepahaman', yang membuat Pemerintah Filipina dan Front Pembebasan Nasional Moro menandatangani perjanjian damai pada 1996.

Indonesia dapat mengulangi kesuksesan itu, menjadi fasilitator perdamaian yang layak dan strategis antara Rusia dan Ukraina selama kepresidenan G-20-nya.

Dengan menjadi broker yang jujur, Indonesia juga dapat membuktikan kemampuannya dalam menjaga ketertiban internasional, dan meningkatkan citra internasionalnya.

Turki, China, dan Israel juga berlomba-lomba menjadi mediator konflik Rusia-Ukraina. Namun, sebagai tuan rumah KTT G-20, Indonesia memegang tiket emas untuk itu.

Indonesia perlu melihat perang Rusia-Ukraina di KTT G-20, sebagai kesempatan untuk memfasilitasi perdamaian daripada ancaman yang dapat mengganggu rencana Kepresidenan G20.

Jika Indonesia dapat membawa hasil strategis yang mengarah ke kesepakatan damai, seperti yang telah berhasil dilakukan sebelumnya, itu akan menjadi poin yang baik bagi Indonesia untuk meningkatkan citra dan daya tawarnya di kancah internasional.***

Editor: Slamet Bowo SBS

Sumber: The Conservation


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah