CERITA UTUH KKN di Desa Penari Bagian 3, Sosok Pak Prabu yang Misterius dan Nisan Makam Ditutup Kain Hitam

- 9 Mei 2022, 16:48 WIB
Mana yang Lebih Seram, Cerita KKN di Desa Penari Versi Nur atau Versi Widya? Simak Ceritanya Disini / Instagram / @kknmovie
Mana yang Lebih Seram, Cerita KKN di Desa Penari Versi Nur atau Versi Widya? Simak Ceritanya Disini / Instagram / @kknmovie /


KALBAR TERKINI - Pak Prabu memperkenalkan diri, bercerita tentang sejarah desanya.

Di tengah ia bercerita, Widya pun bertanya kenapa desanya harus sepelosok ini.

Dengan tawa sumringah, Pak Prabu menjawab: "Pelosok yok nopo toh mbak, jarak ke dalan gede cuma setengah jam kok (pelosok bagaimana maksudnya mbak, bukannya jarak ke jalan besar hanya 30 menit)?"

Baca Juga: CERITA UTUH KKN Desa Penari Bagian 2, Ibu Widya Tak Merestui KKN di Desa yang Terkenal Angker Itu

Tatapan bingung Widya, disambut tatapan bertanya oleh semua temannya, seolah pertanyaannya kok membingungkan.

"Mbak'e paling pegel, wes, tak anter nang ndi sedoyo bakal tinggal (mbaknya mungkin capek, jadi, mari, tak antar ke tempat di mana nanti kalian tinggal)."

Di tengah kebingungan itu, Ayu menegur Widya.

"Maksudmu opo to Wid, takon koyok ngunu? Garai sungkan ae (Maksudnya bagaimana Wid, kok kamu tanya seperti itu, membuat situasi jadi sungkan)."

Baca Juga: LANJUTAN: Alur Cerita dan Link Baca Kisah Nyata KKN di Desa Penari Versi Nur Part 2, Nur Mulai Melihatnya

Di situ, Widya menyadari, ada yang salah.

Tempat menginap untuk laki-laki adalah rumah gubuk yang dulunya seringkali dipakai untuk posyandu, tapi sudah diubah sedemikian rupa, meski beralaskan tanah, tapi di dalamnya sudah ada bayang (ranjang tidur) beralaskan tikar.

Sedangkan untuk perempuan, menginap di salah satu rumah warga.

Di dalam kamar, Widya pun menjelaskan maksud ucapannya kepada Pak Prabu, karena sepanjang perjalanan, bila dirasakan oleh Widya sendiri, itu lebih dari satu jam.

Baca Juga: CERITA UTUH KKN Desa Penari Bagian 1, Tugas Akhir Kuliah yang Berakhir Tragis dan Hubungan Cinta Terlarang

Ayu membantah bahwa lama perjalanan tidak sampai selama itu. Anehnya, Nur memilih tidak ikut berdebat.

Nur, lebih memilih untuk diam. "Ngene, awakmu krungu ora, nang dalan alas mau, onok suara gamelan (gini, kamu dengar apa tidak , di jalan tadi, ada suara orang memainkan gamelan)?"

"Yo paling onok hajatan lah, opo maneh (ya palingan ada warga yang mengadakan hajatan, apalagi)."

Baca Juga: ALASAN Lokasi Asli KKN di Desa Penari Dirahasiakan, Benarkah Kental dengan Aroma Mistis? Ini Lokasi Syutingnya

Berbeda dengan Ayu, Nur menatap Widya dengan ngeri sembari berbicara lirih.

Nur yang seharusnya paling ceria di antara mereka berkata, "mbak, ra onok deso maneh nang kene, gak mungkin nek onok hajatan, nek jare wong biyen, krungu gamelan nang nggon kene, iku pertanda elek (mbak, tidak mungkin ada desa lain di sini, tidak mungkin ada acara di dekat sini, kalau kata orang jaman dulu, kalau dengar suara gamelan, itu pertanda buruk)

Mendengar itu, Ayu tersulut dan langsung menuding Nur sudah ngomong yang tidak-tidak.

"Nur, ra usah ngomong aneh-aneh kui, awakmu yo melok observasi nang kene ambek aku, mosok gorong sedino wes ngomong ra masuk akal ngunu (Nur, jangan ngomong sembarangan kamu, bukannya kamu ikut observasi di kampung ini sama aku, belum sehari kamu sudah ngomong yang gak masuk akal begini)."

Baca Juga: DUA VERSI Film KKN di Desa Penari, Versi Cut and Uncut versi Produser Manoj Punjabi, Berikut Perbedaannya

Ayu pergi, meninggalkan Widya dengan Nur. Saat itu, Nur mengatakan, "mbak, aku yo krungu suara gamelan iku (mbak, aku juga dengar suara gamelan itu).

Masalahe mbak, aku yo ndelok onok penari'ne nang dalan mau (masalahnya, aku juga lihat ada yang menari di jalan tadi)

"Astaghfirullah," kata Widya tidak percaya.

Nur menatap nanar Widya, air matanya sudah seperti memaksa keluar, Widya hanya memeluk dan mencoba menenangkannya.

Benar kata ibunya tempo hari.

"Banyu semilir mlayu nang etan." (air selalu mengalir ke arah timur) yang memiliki makna, bahwa timur adalah tempat di mana semua dikumpulkan menjadi satu, antara yang buruk dan yang paling buruk, dan kini, Widya harus tinggal di hutan paling timur.

Cerita Nur dan Widya tentang suara gamelan di sepanjang perjalanan tadi, masih awalnya saja, ibarat sebuah kopi masih sampai di rasa yang paling manis, belum sampai di rasa yang paling pahit.

Widya memang percaya terhadap hal-hal yang gaib, itu ada di dalam ajaran agamanya.

Namun baru kali ini ia merasakan langsung pengalaman itu, meski hanya sekadar suara.

Berbeda dengan Nur, temannya, ia mengaku melihat yang tidak seharusnya ia lihat.

Mungkin Nur lebih sensitif. Memang, sejak awal, Nur yang paling berbeda di antara yang lain, hanya dia seorang yang mengenakan jilbab, dibandingkan dengan Ayu dan dirinya sendiri.

Nur yang paling religius, karena setahu Widya sendiri, Nur jebolan pondok pesantren ternama di kota "J".

Terlepas dari itu semua, pengalaman KKN ini, tidak akan pernah dilupakan oleh semua rombongan ini.

"Nur," kata Widya masih menenangkan. "Nur bisa ndak, cerita ini ojok sampe nyebar yo gok arek2, kan gak enak, nek sampe kerungu ambi warga deso, opo maneh kita di sini iku tamu, insyaallah, kabeh lancar, nggih (Nur, bisa gak, cerita ini jangan sampai menyebar ke teman-teman.

Kan jadi gak enak, kalau sampai warga desa dengar, apalagi kita di sini itu sebagai tamu, insyaallah, semua akan baik-baik saja, ya)."

Nur mengangguk, meski enggan menjawab kalimat Widya, dan malam itu, tanpa terasa dilewati begitu saja.

Keesokan harinya, rombongan sudah berkumpul, sesuai janji Pak Prabu, hari ini, akan keliling desa, melihat semua proker yang sudah diajukan oleh Ayu tempo hari, sekaligus, meminta saran untuk proker individu yang harus dikerjakan oleh satu anak sendiri-sendiri.

"Ngene iki, walaupun saya tinggal nang kene, aku yo pernah kuliah loh dek, sarjana lagi," kata Pak Prabu, bahasanya medok, campur-campur antara Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia,

Mendengar itu, Wahyu menimpali, "Iku lo, rungokno bapak'e, walaupun wong deso, gak lali kuliah (itu loh, dengarkan bapaknya, walaupun orang desa, tidak lupa kuliah)."

Wahyu melanjutkan, "bapak'e ambil apa dulu? Perhutanan ya?"

"Bukan," kata beliau santai, "pertanian."

"Lah ra onok sawah nang kene, piye toh pak (lah, di sini gak ada sawah, gimana sih pak)?"

"Ya, memangnya sampeyan pikir hanya karena ambil pertanian harus terjun ke sawah?"

Jawaban Pak Prabu sontak membuat tawa pecah. Widya melirik Nur, dia sudah bisa ceria lagi, melupakan sejenak kejadian semalam.

Sampailah, mereka di pemberhentian pertama. Sebuah pemakaman desa.

Aneh, itu yang pertama kali dipikirkan Widya, atau mungkin serombongan orang, di setiap nisan, ditutup oleh kain hitam.

Pemakamannya sendiri, dikelilingi pohon beringin dan di setiap pohon beringin, ada batu besar di sampingnya. Di sana, ada lengkap, sesajen di depannya.

Nur yang tadi ikut tertawa, tiba-tiba menjadi diam.

Ia menundukkan kepalanya, seolah tidak mau melihat sesuatu. Pagi itu tiba-tiba terasa gelap di dalam pikiran Widya.

"Ngapunten pak, niki nopo nggih kok... (mohon maaf pak, ini kenapa ya kok...)."

belum selesai Widya bicara, pak Prabu memotongnya.

"Saya tau, apa yang adik mau katakan, pasti mau tanya, kok patek (nisan)-nya, ditutupi pakai kain, gitu to?"

Widya mengangguk. rombongan menatap serius Pak Prabu, terkecuali Wahyu dan Anton. Terdengar mereka sayup tertawa kecil

"Ini itu namanya Sangkarso, kepercayaan orang sini."

"Jadi biar tahu, kalau ini loh pemakaman," terang Pak Prabu, yang jawabannya sama sekali tidak membuat serombongan anak puas, sampai-sampai Wahyu dan Anton walaupun pelan sengaja menyindir.

Namun Pak Prabu bisa mendengarnya.

"Wong pekok yo isok mbedakno kuburan karo lapangan pak (orang bodoh juga bisa membedakan kuburan dan lapangan bola pak)."

Pak Prabu yang awalnya tersenyum penuh dengan candaan, tiba-tiba diam, raut wajahnya berubah dan tak tertebak.

"Semoga saja, kalian tahu yang diomongkan ya."

Kalimat Pak Prabu seperti penekanan yang mengancam, setidaknya itu yang Widya rasakan.

Sontak, Bima langsung merespon dengan meminta maaf, namun Wahyu dan Anton memilih diam setelah mendengar respon Pak Prabu.

"Monggo pak, bisa lanjut ke tempat selanjutnya."

Tempat berikutnya adalah sinden (kolam, tempat air keluar dari tanah).

Pak Prabu mengatakan bahwa sinden ini bisa dijadikan Proker paling menjanjikan.

Tidak jauh dari sana ada sungai. Inginnya Pak Prabu, sinden dan sungai bisa dihubungkan, jadi semacam jalan air.***

 

Editor: Slamet Bowo SBS

Sumber: Berbagai Sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x