Ekonom Sebut Elit Anggap Masyarakat Adat Tebelakang, Faisal: UU Adat Sudah 10 Tahun

- 26 Februari 2021, 09:20 WIB
DAYAK - Kalangan tokoh adat Dayak mendukung pemindahan Ibu Kota NKRI ke Pulau Kalimantan selama kepentingan dan aspirasi masyarakatnya diperhatikan Jakarta./WIKIPEDIA/
DAYAK - Kalangan tokoh adat Dayak mendukung pemindahan Ibu Kota NKRI ke Pulau Kalimantan selama kepentingan dan aspirasi masyarakatnya diperhatikan Jakarta./WIKIPEDIA/ /

JAKARTA, KALBAR TERKINI – Kalangan elit di Indonesia menganggap masyarakat sebagai kelompok terbelakang, tidak modern dan tak paham teknologi.

Anggapan tersebut terlihat jelas dari keberpihakan elit yang masih minim. Contohnya dalam hal penetapan undang-undang masyarakat adat yang sudah berjalan 10 tahun.

“Buktinya Undang-Undang yang ada Cipta Kerja, yang draftnya dalam hitungan bulan sudah selesai, tapi ini sudah 10 tahun Undang-Undang Masyarakat Adat tidak ada," kata Ekonom Universitas Indonesia Faisal dalam webinar membahas Urgensi Undang-Undang Masyarakat Adat dalam Perspektif Ekonomi dan Pembangunan Berkelanjutan secara daring digelar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Jakarta, Kamis 25 Februari 2021.

Baca Juga: Transformasi Digital Sasar Jutaan UMKM, Presiden Ingin Ekonomi Kerakyatan Segera Bangkit

Padahal, menurut dia, masyarakat adat atau masyarakat asli hadir dan punya sistem sosial, sistem pengetahuan, kepercayaan yang tumbuh dan berkembang sebelum republik ini ada. Sehingga seperti di Kanada saja masyarakat adatnya diakui sebagai first nation.

"Oleh karena itu first nation harus dilindungi hak-haknya, harus didengar suaranya apapun yang menyentuh kepentingan mereka harus dikonsultasikan, ditanya maunya apa.

Ya kan di Kanada produsen minyak dan gas besar pipa-pipanya melewati masyarakat adat, ya masyarakat adatnya harus dihormati," kata Faisal seperti dilansir dari Antara, Jumat 26 Februari 2021.

Baca Juga: Sahamnya Terus Naik Tiga Pekan Terakhir, Dirut Bank Neo Comerence: Ini Bentuk Kepercayaan Masyarakat

Walau tetap masyarakat adatnya juga sering kalah di sana karena tergantung para partai yang berkuasa. Menurut Faisal, kalau partainya kebetulan probisnis memang masyarakat adatnya dikorbankan, dikasih ganti rugi.

Ia mengatakan harus ada tindakan afirmatif, karena kalau disuruh berkompetisi dengan korporasi tentu tidak seimbang.

Halaman:

Editor: Slamet Bowo Santoso

Sumber: Antara


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x